Jalan Malioboro, pusat wisata di Yogyakarta yang namanya sudah tersohor hingga internasional. Oleh karena itu, Â ada ungkapan yang mengatakan bahwa belum ke Yogyakarta jika belum berkunjung ke Malioboro. Â
Melansir dari Kompas.com, Sejarawan Inggris, Peter Carey, dalam bukunya "Asal Usul Nama Yogyakarta-Malioboro", mengutip pernyataan Tichelaar yang menerangkan bahwa penamaan Malioboro diperkirakan berkaitan dengan bahasa Sanskerta, yakni "malya" yang berati "untaian bunga". Kemudian disempurnakan dengan kata "mlyabhara"Â yang bermakna "dihiasi untaian bunga".
Ini berkaitan dengan konsep seremoni. Carey menyebut jalan tersebut sebagai "rajamarga" atau jalan kerajaan atau jalan raya seremonial. Malioboro yang membentang lurus dan membelah kota digunakan sebagai tempat masuknya para tamu, seperti Gubernur Jenderal, pejabat tinggi sipil dan militer eropa yang berkunjung ke Keraton sertatempat diadakannya perayaan-perayaan.
Selain sebagai pusat wisata, Malioboro termasuk ke dalam bagian sumbu filosofis Yogyakarta, menghubungkan Tugu Pal Putih atau Golong Gilig, Keraton Yogyakarta, dan Panggung Krapyak.Â
Jalan Malioboro yang membentang dari utara hingga ke selatan sebagai penghubung menuju Pesanggarahan Gerjitawati yang disebut Ayogya atau Ayodhya, yang kini menjadi istana Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Dikutip dari artikel Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat berjudul "Sumbu Filosofi Yogyakarta, Pengejawantahan Asal dan Tujuan Hidup" menjelaskan, perjalanan dari Panggung Krapyak menuju keraton yang dihubungkan jalan Malioboro menggambarkan siklus hidup manusia konsep Sangkan Paraning Dumadi. Konsep ini memaknai perjalanan dari dalam kandungan, lahir, anak-anak, beranjak dewasa, menikah, sampai memiliki anak.
Dari Tugu Golong Gilig ke arah selatan menuju keraton yang juga terhubung dengan jalan Malioboro melambangkan golonging cipta, rasa, lan karsa untuk menghadap Sang Khalik (bersatunya seluruh kehendak untuk menghadap Sang Pencipta).Â
Warna putih dipilih untuk melambangkan kesucian hati yang harus menjadi dasar bagi upaya itu. Gambaran manusia kembali menghadap Sang Khalik meninggalkan dunia yang fana menuju alam akhirat yang baka.
Dari penjelasan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Malioboro juga dapat berarti penggunaan "obor"Â penerang, sesuai ajaran para wali. Jadi jalan Malioboro yang temasuk dalam sumbu filosofis Yogyakarta ini melambangkan keseimbangan dan keselarasan perjalanan hidup dan hubungan manusia baik terhadap sesama maupun dengan Tuhan Yang Maha Esa.
. . .