Mohon tunggu...
Athiya Dyah Respati
Athiya Dyah Respati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa 23107030012/UIN Sunan Kalijaga

Penikmat karya seni, budaya, dan sastra

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Harmoni di Balik Huru-Hara Babarsari, "Gotham City" Yogyakarta

11 Juni 2024   22:11 Diperbarui: 11 Juni 2024   22:27 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi klub sepakbola Lingkup Babarsari Harmonis, sumber : AI microsoft designer

"Babarsari ini kan sekarang menjadi pusat kota banyak tempat kuliah berdiri disini. Oleh karena itu menjadi sentra kegiatan, ibarat ada gula pasti dikerubungin semut. Begitupun dengan Babarsari jadi banyak pendatang dengan beragam karakter dan kebiasaan yang dibawa dari daerah masing-masing. Belum lagi adanya  senior-senior atau kelompok satu daerah yang membuat mereka merasa punya backingan," imbuh Sukidi

Selaras dengan itu, menurut Robert Muggah, "Percepatan Pembangunan di satu kota yang tidak diatur sedemikian rupa bisa menciptakan efek disorganisasi dan ruang kekerasan berkembang."

Para perantau yang datang untuk melanjutkan pendidikan maupun bekerja dari berbagai daerah di Indonesia menjadikan Babarsari sebagai kawasan heterogen yang menyebabkan seringnya terjadi kerusuhan. Dikutip dari video youtube Narasi pada 5 Juli 2022 Drs Soepraopto, Sosiolog kriminalitas dosen purna UGM menyampaikan, "Karena kawasan Babarsari ini berpenduduk sangat heterogen dalam hal agama, suku bangsa, ras, dan tempat asal. Kondisi ini telah membuat kawasan ini menjadi rawan konflik."

Sedangkan kenakalan remaja terjadi, salah satunya karena terdapat fasilitas ataupun tempat-tempat yang mendukung.

"Banyaknya kafe, karaoke, dan tempat-tempat hiburan yang malah beberapa menjual minuman keras dan berpotensi menimbulkan kenakalan remaja seperti mabuk-mabukan, Sedangkan, kos-kos yang dijadikan tempat kegiatan pergaulan bebas atau hal semacamnya biasanya adalah kos maupun hotel yang jauh dari rumah warga atupun lingkungan masyarakat yang dibeli oleh investor atau orang asing sehingga kurang pengawasan. Walau, sebenarnya dari pihak masyarakat dan kepolisian selalu bekerja sama untuk patroli maupun melakukan penggerebekan di tempat ilegal semacam itu, " tutur Agus, Ketua RT 19 Babarsari.

Bagi warga lokal Babarsari, kehadiran para perantau ini sudah diterima dan dianggap biasa, bahkan warga RT 17 dan RT 19 punya cara tersendiri dalam mencegah kerusuhan dan menangani kenakalan remaja  yang dilakukan oleh perantau atau pendatang.

 "Kami memperlakukan mereka sama seperti orang lokal, mereka sudah anggap tempat ini seperti tempat asal sendiri. Jadi kami pun memperlakukan mereka sama kayak warga asli di sini. Kami mengajak mereka kerja bakti bersama dan mereka sangat antusias, tidak semua dari mereka sama seperti yang diberitakan di luar sana. Mereka juga banyak yang solidaritas. Perkara mereka suka membawa parang itu karena kebiasaan dan budaya di tempat asalnya. Biasanya, kalau kita beri nasihat mereka mau mendengarkan dan menyesuaikan diri sama kebiasaan warga lokal," ungkap Sukidi.

ilustrasi warga lokal dan perantau meski berbeda suku/ras tetap bekerja sama kerja bakti, sumber : AI microsoft designer
ilustrasi warga lokal dan perantau meski berbeda suku/ras tetap bekerja sama kerja bakti, sumber : AI microsoft designer

Ari, seorang tokoh masyarakat yang juga menjadi pemilik salah satu kos di Babarsari berpendapat, "Kalau saya sendiri, ketika menerima orang luar sebagai anak kos wajib dimintakan nomer telepon dari orang tua/wali/keluarga yang bisa dihubungi sehingga jika terjadi sesuatu bisa dilaporkan kepada keluarga yang bersangkutan. Namun itu tidak hanya untuk melakukan laporan ketika ada kenakalan remaja tetapi juga dilakukan apabila ada yang harus dihubungi ketika sakit atau terjadi kecelakaan dan kematian. Karena mereka yang mengekos di tempat saya sudah menjadi tanggung jawab saya,"

Tokoh masyarakat Babarsari mencegah terjadinya hal-hal buruk yang tidak diinginkan dengan melakukan pengarahan dan perjanjian terkait peraturan yang ada.

"Dari awal kami melakukan sosialisasi dan perjanjian terkait aturan yang ada di kampung dan membuat konsekuensi sesuai kehendak mereka masing-masing, jadi ketika melakukan kenakalan yang otomatis melanggar aturan mereka sudah paham konsekuensi. Paling buruk dari konsekuensi adalah diusir dari desa. Contoh kasus, ketika dari mereka ada yang mabuk, setelah sadar, warga lokal mendekati dengan baik-baik dan memberikan nasehat dan konsekuensi berdasarkan perjanjian yang sudah dilakukan sebelumnya. Kami memberikan kebebasan namun tetap mengekang sesuai aturan berlaku, " ujar Agus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun