Pasang - Surut Konsep Peradaban
Setelah sempat diabaikan sejak sekitar 1960-an dan 70-an, penggunaan "peradaban" sebagai suatu konsep, sudut pandang, mode, atau satuan dalam pembahasan sejarah telah menunjukkan tanda-tanda kembalinya di kalangan para sejarawan dan cendekiawan pada umumnya. Memudar dan kembalinya penggunaan peradaban sebagai satuan sejarah itu setidaknya dapat kita lacak pada kehidupan wakil terbesarnya pada abad ke-20, Arnold Joseph Toynbee, dan sejumlah karya sejarah, atau yang berkenaan dengan sejarah, yang terbit sekitar dua atau tiga dekade terakhir ini.
Di antara para cendekiawan abad ke-20, Toynbee adalah sejarawan dan analis peradaban terbesar. Dia dianggap lebih hebat dalam segi gaya dan pengetahuan dibandingkan Oswald Spengler, pesaing terdekatnya. Pengaruhnya mencapai puncaknya pada pertengahan 1950-an. Dia diundang oleh tokoh-tokoh penting dan universitas-universitas di berbagai belahan dunia. Kuliah umumnya dihadiri oleh ratusan, ribuan, bahkan puluhan ribu orang. Meski begitu, pada tahun 50-an, sejumlah tokoh berpengaruh dalam disiplin ilmu sejarah mulai menyerang Toynbee yang dalam dekade-dekade berikutnya. Seiring dengan itu, pandangan yang menganalisis sejarah melalui sudut pandang peradaban menjadi kurang populer. Baik dalam bacaan bebas maupun buku-buku sekolah, pembelajaran sejarah menjadi lebih lekat dikaitkan dengan tatanan negara-bangsa, suatu satuan yang sejatinya mencakup lebih kecil daripada apa yang mampu dinaungi oleh konsep peradaban.
Memanglah dapat dibantah bahwa "peradaban" tidaklah pernah benar-benar hilang dalam kajian sejarah, atau berlanjut dalam berbagai bentuk dan istilah yang berbeda, kadang kala dengan makna-makna yang berlainan. Tidak diragukan lagi, kita dapatlah menunjuk sejumlah karya sejarah dalam lima puluh tahunan terakhir yang memunculkan peradaban dalam judul dan substansinya. Atau mungkin juga kita dapat menganggap tanda-tanda kembalinya konsep peradaban dalam kajian sejarah baru-baru ini sebagai marginal dan sementara, tidak mungkin mengubah iklim ketidakpercayaan dan penghinaan yang telah mengelilinginya selama lima dekade dan lebih.
Namun, penulis ingin menganggap bahwa konsep peradaban sekali lagi menerima perhatian berkelanjutan dari para sarjana, dan bahwa ia juga menarik publik yang lebih luas. Setidaknya terdapat beberapa alasan mengapa hal itu terjadi dalam beberapa dekade terakhir. Selain itu, jelaslah bahwa penggunaan konsep peradaban sebagai satuan sejarah itu teramat penting bagi bidang sejarah yang hendak ditekuni oleh penulis, yaitu sejarah segala hal yang berkaitan dengan din Islam, di mana din Islam itu telah dengan sendirinya memiliki makna sebagai peradaban. Dalam pada itulah, penulis merasa penting untuk menggali bagaimana peradaban itu menjadi satuan dalam pembahasan sejarah.
"Itulah hari-hari (kemenangan dan kekalahan, kemajuan dan kemunduran, kebangkitan dan keruntuhan, kejayaan dan kehancuran), Kami pergilirkan di antara manusia. Jika kalian terluka, telah terluka pula kaum-kaum sebelum kalian. Telah berlalu sebelum kalian sunah-sunah (kaidah dan metode jalannya sejarah). Maka berjalanlah kamu di muka bumi (ambillah pandangan dalam perspektif ruang) dan lihatlah akibat perbuatan orang-orang terdahulu atau orang-orang yang mendustakan (lakukanlah rasionalisasi-observasi-empiris dalam perspektif waktu)."
Penelitian "Profesor L.W.H Hull" (1950) dalam buku monumentalnya, "History and Philosophy of science" mengungkapkan, siklus pergumulan antara agama, filsafat, dan ilmu, yang kemudian melahirkan corak peradabannya masing-masing, terjadi setiap "enam abad". Pergumulan itu dikaitkan dengan hubungan dialektis antara "Timur dan Barat". Profesor Hull mulai mengkaji enam abad SM sampai abad pertama Masehi.
Periode kebangkitan Filsafat Yunani (Abad 6 SM - 0 M) ditandai dengan lahir dan berkembangnya pemikiran tokoh-tokoh filsafat Yunani yang amat tersohor seperti Tales (ahli filsafat, astronomi, dan geometrika), Pytagoras (geometrika dan aritmatika), Aristoteles (ahli filsafat, ilmu empiris, yang juga dikenal sebagai pendiri Mazhab Alexandria, yang lebih menekankan pendekatan induktif), Plato (ahli filsafat, ilmu-ilmu rasional, yang lebih dikenal dengan pendiri Mazhab Atena, yang lebih menekankan pendekatan deduktif). Periode ini para filosof menenggelamkan peran dan popularitas pemimpin politik dan pemimpin agama, yang umumnya lahir dan berkembang di Timur. Perlu diingat bahwa semua agama besar, seperti Hindu, Buddha, Konghucu, Tao, Yahudi, Nasrani, dan Islam lahir di Timur. Tidak ada agama besar yang lahir di Barat. Katolik dan Protestan yang besar di Barat itu baru belakangan. Kristen berkembang di Barat setelah 600 tahun Nabi Isa (Yesus Kristus) wafat. (detiknews, Prof Dr Nasaruddin Umar - Makna Al-Masyriq dan Al-Maghrib).
Periode Kebangkitan Yesus (Abad 0 M - 6 M) Setelah masa kerasulan Yesus yang berhasil menentang otoritas Romawi, Pada abad ini terjadi persaingan sengit antara "Kristen (Athanasius) dan Filsafat (Arius)" dimasa pemerintahan Konstantine, merosotnya pengaruh dan popularitas para filosof dan menguatnya peran penguasa yang sekaligus sebagai penguasa gereja. Mereka mengatasnamakan diri sebagai wakil Tuhan di bumi. Dengan demikian, otoritas, dan penentu kebenaran berada di tangan Raja (Romawi). Dalam periode ini hampir tidak ditemukan tokoh pemikir dan filsafat. Sebaliknya tercatat sejumlah raja yang sangat full power.
Di masa itu orang-orang tidak berani berfikir dan mengkaji ilmu pengetahuan, karena bisa saja berarti malapetaka baginya, terutama jika teori dan hasil pemikirannya berbeda, apalagi bertentangan dengan pendapat gereja. Tidak sedikit pemikir dan ilmuwan berkorban karena mereka mencoba memperkenalkan kebenaran di luar gereja. Akibatnya muncullah zaman kegelapan di mana tidak ada lagi keberanian untuk melakukan pengkajian dan aktifitas ilmu pengetahuan. Kondisi obyektif seperti ini menurut Marshall G.S. Hodgson dalam "The Venture of Islam", yang kemudian disebut dengan "zaman jahiliyah" dan sekaligus menjadi background lahirnya peradaban Islam.
Periode kebangkitan Islam (6 M - 13 M) Periode ini dikenal sebagai abad kegelapan Kristen Eropa atau abad pertengahan sebagai akibat dominannya raja yang mengambil alih otoritas gereja. Setelah masa kerasulan Muhammad saw, bermunculan para ahli muslim dalam bidang filsafat dan ilmu, dengan buku - buku monumental mereka, yaitu: Hanafi, Maliki, Hambali dan Safi'i sebagai ahli-ahli hukum. Al Kindi ahli filsafat, Al Farabi ahli astronomi dan matematika, Al Khawarizmi penemu aljabar (algoritma), Ibnu Sina penulis The Canon Of Medicine; Anzel dan ahli penemu pendaratan planet. Al Ghazaly penemu puncak sintesis antara iman, intelektual atau filsafat, empirik, mistik atau sufisme, dalam buku monumentalnya Ihya Ulumuddin. Ibn Rusyd ahli filsafat dan fisika, kedokteran dan hukum dengan pendekatan empiris. Ibn Khaldun ahli filsafat sejarah, sosiologi, politik dan ekonomi, sosial dan kenegaraan. Sampai terjadinya perang salib yang mengakibatkan kekalahan umat islam, merajalela bangsa Eropa atas bangsa - bangsa dan negara - negara lainnya. Sehingga berdampak kemunduran umat islam.
Periode kebangkitan Eropa (14 M - 20 M) Abad ini dikenal dengan kehancuran Kristen atau kemunduran Islam, atau abad filsafat Yunani ke dua atau abad pemikiran. Filsafat Yunani andalan "empirisme Aritoteles dan andalan Rasionalisme Plato", bangkit kembali mewarnai peradaban Eropa dan dunia dewasa ini. Pemberontakan - pemberontakan yang dilakukan oleh ilmuwan Yunani kuno memberi semangat yang demikian khusus bagi ilmuwan Renaissance Eropa untuk menentang agama.
Munculnya Gerrad Van Cremona yang menyalin buku Ibn Sina "The Canon Of Medicine". Franciscan Roger Bacon, Copernicus, Galileo, Isac Newton, John Lock, Rousseau, Emanuel Kant, Darwin, Huxley dan Haeckel. Semua tokoh ilmuwan renaissance tersebut menentang "otoritas gereja dan otoritas penguasa". Gerakan anti agama terus berjalan sampai munculnya Karl Marx dan Friedrich Engels (keduanya penganut filsafat dialektika Materialisme sebagaimana tampak dalam buku Manifesto Komunis).
Kembalinya Peradaban sebagai Sudut Pandang Sejarah
Karya Samuel Huntington, The Clash of Civilization and the Remaking of the World Order (1997), menandai kembalinya ketertarikan terhadap peradaban. Menurut Huntington, sejarah manusia merupakan sejarah peradaban-peradaban. Senada dengan Toynbee, ia menganggap bahwa peradaban yang ada merupakan turunan dari agama-agama besar di dunia. Huntington mencoba untuk menekankan garis-garis patahan yang membagi dan terus memisahkan peradaban-peradaban besar dunia itu. Dia secara khusus risau dengan hal-hal yang memisahkan peradaban Barat dari peradaban-peradaban Asia, khususnya variasi Sinic dan Japonic dan dari peradaban Islam, di periode kontemporer ini. Premisnya bahwa peradaban Barat memandang peradaban Asia dan Islam sebagai penantang terhadap dominasi historisnya, di mana Islam dianggapnya sebagai penantang terbesar saat ini. Namun semakin ke belakang, sikap awas terhadap peradaban penantang itu tampaknya lebih terpusat ke arah Tiongkok.
Buku Niall Ferguson, Civilization: The West and the Rest (2011), secara jelas melanjutkan tema Huntington itu. Bahkan, sub-judulnya sendiri diambil dari judul salah satu bab Huntington, yaitu bab ke-8 "The West and the Rest: Intercivilizational Issues". Buku Anthony Pagden, World sat War: The 2,500-Year Struggle between East and West (2008) juga memiliki tema yang serupa dengan unsur kombat yang lebih mencolok, menggarisbawahi secara nyata lawan Barat sebagai Timur. Mode yang sama juga kita dapati pada buku Ian Morris, Why the West Rules -- For Now (2011), yang berorientasi pada sebab-sebab kemajuan Barat dan prospek masa depan dari hegemoni mereka.
Kita dapat melihat bahwa analisis berbasis peradaban dalam buku-buku itu didorong oleh pertanyaan-pertanyaan mengenai kondisi masa kini dan masa depan Barat yang dihadapkan dengan peradaban-peradaban penantangnya. Selain itu, muncul pula buku-buku dengan penekanan yang lain dalam analisis berbasis peradaban, yaitu suatu pandangan tentang tantangan yang lebih mendalam, tidak hanya terhadap peradaban Barat itu, tapi juga semua yang mungkin kita pikirkan sebagai peradaban. Pergumulan dan Perdebatan dialektis dunia Timur dan Barat bukan hanya terjadi pada abad modern, melainkan juga sudah muncul sejak dahulu kala. Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu.
Fakta-fakta dan Prediksi Masa Depan
Periode Kebangkitan Revolusi Globalisasi (21 M - 26 M) Abad ke-21 didahului dengan penemuan teknologi, penjelajahan antariksa, perang dingin dan postmodernisme. Semakin banyaknya otomatisasi pekerjaan menggunakan internet, robot, maupun AI (Artificial Intelligence) atau abad globalisasi, artinya kehidupan manusia mengalami perubahan-perubahan yang fundamental yang berbeda dengan tata kehidupan dalam abad sebelumnya.
Tuntutan-tuntutan yang serba baru tersebut meminta berbagai terobosan dalam berfikir, penyusunan konsep, dan tindakan-tindakan. Dengan kata lain diperlukan suatu paradigma baru dalam menghadapi tantangan-tantangan yang baru, demikian kata filsuf Hans Kng. Menurut Kng apabila tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi dengan menggunakan paradigm lama, maka segala usaha akan menemui kegagalan. Tantangan yang baru menuntut proses terobosan pemikiran (breakthrough thinking process) apabila yang diinginkan adalah output yang bermutu yang dapat bersaing dengan hasil karya dalam dunia yang serba terbuka (Tilaar, 1998:245)
Adalah Yuval Noah Harari, menyampaikan bahwa ancaman yang paling mematikan yang akan dan telah hadir adalah teknologi (terutama algoritma dan Artificial Intelligence (AI), Algoritma menjadi ancaman yang serius bagi peradaban manusia (baca; Homo Deus). Menurut Harari, manusia sesungguhnya memang sudah dikendalikan oleh algoritma itu sendiri.
Pemikiran dan pengetahuan manusia mulai sedikit demi sedikit dikendalikan oleh Google (Googlisme, Agama Baru Penganut Google) agama ini memang mempunyai tuhan bernama Google, mesin pencarian yang sangat terkenal itu. Mereka bahkan punya ruang khusus yakni Gereja Google atau Church of Google yang berbentuk digital. Gereja ini sudah bisa diakses melaluihttp://churchofgoogle.org/.(Sumber:https://m.mediaindonesia.com/weekend/215581/googlisme-agama-baru-penganut-google)
Pikiran manusia dikendalikan oleh algoritma Facebook, YouTube, Instagram dan Twitter. Hasrat, keinginan dan dorongan manusia sudah dipengaruhi oleh marketplace online seperti Amazon, Lazada, Alibaba dst. Dalam pengambilan keputusan, manusia juga sudah dikendalikan misalnya dalam pemakaian Google Maps dimana selama perjalanan kita akan diberi hasil keputusan berdasarkan algoritma tersebut. Walau manusia masih dapat menggunakan kesadarannya saat menggunakan media atau aplikasi tersebut, tetapi ia berada dalam sebuah ruang di mana keputusan dikendalikan oleh sesuatu yang berada di luar dirinya. Yang mengkhawatirkan dari kehadiran lingkungan algoritma ini adalah ketika segala keputusan yang seharusnya dipilih oleh manusia bebas menjadi ditentukan hasil pemutusan algoritma. Contoh lain misalnya, dalam memilih pasangan, algoritma akan menyarankan calon pasangan dengan kemungkinan-kemungkinan yang disesuaikan kepada satu sama lain melalui kriteria-kriteria tambahan, bukan melalui perasaan atau panggilan lainnya. Seluruh algoritma ini juga menjadi semakin berkuasa dalam media sosial. Di samping itu Harari juga mengatakan bahwa manusia adalah algoritma itu sendiri. Ia mencoba menggambarkan susunan tubuh manusia yang terdiri algoritma-algoritma (kode DNA) yang menggerakan tubuh manusia berdasarkan kesadaran manusia itu sendiri. Sebelum dikendalikan oleh algorithma (baca; 21 Lessons for the 21st Century)
Ada tiga ancaman yang memiliki propabilitas menghancurkan bumi, diantaranya: perang nuklir, keruntuhan ekologi, dan disrupsi teknologi. Apabila ancaman-ancaman ini terjadi secara bersamaan maka kerusakannya akan membentuk suatu krisis eksistensial yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam permasalahan ini, sentimen nasionalis atau agamis tidak dapat berperan banyak sehingga muncul probabilitas baru misalnya: mungkin kah manusia mulai menggunakan tradisi agama universal untuk membantunya menyatukan dunia? Ribuan tahun lalu, agama semitik seperti Kristen dan Islam telah memiliki pandangan global dan tertarik pada pernyataan-pernyataan besar kehidupan (melalui kitab).
Bahwa manusia (Homo Sapiens) telah meningkatkan kualitas hidupnya dengan mengorbankan alam dan bahkan manusia lainnya (Homo Homini Lupus). Bahkan kini manusia sudah berani menciptakan manusia lain bahkan sesuatu yang memiliki kemampuan diatas manusia yaitu Artificial Intelligence (AI). Berdasarkan analisis dari Yuval Noah Harari, kedepannya akan terdapat perbedaan kelas yang sangat besar berdasarkan teknologi yang mereka gunakan.
Abad 21 sudah bermunculan para martir, kedatangan mereka banyak menyuarakan tentang revolusi dan mengajak untuk berpikir secara kritis dalam menghadapi corak kehidupan ke depan. Sosok kehadirannya di tengah masyarakat acap kali menjadi berbincang kendati kehadiran nya selalu ada pemidanaan serta diskriminasi yang pernah dan sedang dihadapinya oleh otoritas penguasa dan berhadapan dengan kekuatan adidaya dunia, seperti kisah Socrates dan para martir pendahulu yang dituduh menyebarkan agama baru, meracuni pikiran para pemuda dan melawan dewa-dewa, sehingga kehadiran nya menjadi sinyal akan kebangkitan renaissance jilid ke 2.
Sinyal selanjutnya, muncul dari redaksi kitab suci tentang nubuatan kemunculan agen pembaharu. Dalam Islam, istilah pembaruan dikenal dengan tajdid. Para mujaddid (pelaku pembaru) lahir sebagai reaksi atau tanggapan terhadap tantangan-tantangan internal maupun eksternal yang menyangkut keyakinan dan urusan sosial umat, yang mewarnai corak kehidupan ke depan.
Pada abad ke 20, Prof Stephen Oppenheimer memiliki keyakinan bahwa induk dari semua peradaban di muka bumi berasal dari bumi Nusantara yang kini bernama Indonesia. Keyakinannya itu telah dituangkannya dengan rapi dalam buku "Eden of the East" yang terbit tahun 1999. Prof Oppenheimer menyakinkah bahwa Indonesia "Mother of Human Civilization", hal tersebut senada di ungkapan oleh Prof. Arysio Santos, Ph.D. yang melakukan penelitian selama 30 tahun dan menulis buku "Atlantis The Lost Continent Finally Found", Â memastikan kepada dunia bahwa situs Atlantis adalah Indonesia. Ciri-ciri Atlantis yang dicatat Plato dalam dua dialognya berjudul Timaeus dan Critias, secara mengejutkan sangat cocok dengan kondisi geografis Indonesia. Atlantis adalah negeri tropis berlimpah mineral dan kekayaan hayati.
Menurut Arnold J. Toynbee, perubahan dalam sejarah aktivitas manusia sebagai jawaban(respon) terhadap Challange atau perubahan yang terjadi di dalam kehidupan umat manusia, yang harus dipecahkan oleh manusia itu sendiri. Peradaban adalah suatu gerakan atau proses, bukan suatu kondisi; suatu perjalanan, bukan pelabuhan. Civilization is a movement not a condition, a voyage not a harbour. Sebab kelahiran suatu peradaban bukanlah tunggal, melainkan jamak; ia bukan entitas, melainkan suatu relasi (baca; A Study of History, 1972)
Ketika peradaban dan kebudayaan sudah berkembang dan maju, dimungkinkan bahwa kreativitas aktor perubahan itu yang telah menjadi pimpinan masyarakat mandek. Sayangnya, minoritas yang dulu kreatif kemudian menguasai masyarakat itu, biasanya akan mempertahankan kekuasaannya, sering dikenal dengan mempertahankan status quo. Mandeknya kreativitas dan menguatnya hasrat menggenggam kekuasaan ini nantinya akan memunculkan disintegrasi. Dalam kondisi ini, disintegrasi mulai terjadi dan muncullah sempalan-sempalan (skisma) dan kelahiran kembali (palingenesis). Selanjutnya, kelahiran kembali berarti tantangan baru bagi pelaku peradaban. Maka, sejarah akan berjalan berulang dengan mengikuti pola ini.
Begitulah momentum psikologis manusia, yang secara inheren tidak mungkin untuk diberi bobot dan diukur sehingga sulit untuk diestimasi secara sains, merupakan faktor paling utama yang memutuskan isu-isu yang terjadi selama perjumpaan/interaksi tersebut. Dengan demikian, kuantitas yang banyak, bobot yang besar, kecerdasan yang tinggi, atau ketajaman strategi tidak dapat menjamin kemenangan. Maka, dapatlah kita berkeras bahwa, "Tuhan tidak selalu berada di kubu yang banyak/besar/kuat," atau juga "Tuhan menolong mereka yang menolong diri mereka sendiri," atau juga "Percayalah pada Tuhan."
Dan, sekali lagi, segala perhitungan itu tiada dapat secara eksak dikalkulasikan, tapi mesti mempertimbangkan suatu aspek metafisik, baik itu mitologi maupun din yang sejati. Demikian pula bahwa kuantitas, bobot, dan ukuran jumlah atau kemampuan tidaklah selalu menjamin kemenangan. Hal ini senada dengan ajaran konsep, "Betapa banyak terjadi golongan yang sedikit/kecil mengalahkan golongan yang banyak/kuat dengan izin Allah." Maka, semua ritme ini meski tidak dapat diprediksi secara eksak dapatlah digantungkan dan disandarkan secara spiritual pada Dzat Yang Maha Esa Yang Menguasai Seluruh Perputaran Sejarah.
Jelaslah bahwa "peradaban" saat ini, sebagaimana di masa lalu, tengah dipanggil kembali guna melakukan kerja-kerja besar dalam penulisan sejarah, sekaligus perencanaan untuk masa depan. Penggunaan peradaban sebagai satuan sejarah ini mungkin sebagian masih tidak jelas, sebagian lagi ideo-sinkretis, dan sebagian lagi terkesan acak. Jika memang ada kebangkitan konsep itu, kita membutuhkan suatu peta tentangnya guna merumuskan makna dan penerapannya. Jalan yang paling baik dalam melakukannya barangkali dengan melihat, betapa pun singkatnya, pada sejarah konsep itu, guna menggali penggunaannya selama ini. Itu akan membantu kita mendudukkan penggunaan konsep tersebut di masa kini dalam bermacam tradisi penggunaan yang ada. Itu akan memungkinkan kita untuk melihat bagaimana para cendekiawan besar di masa lalu, seperti Ibnu Khaldun, Arnold Toynbee dan Oswald Spengler, berpijak pada konsep peradaban itu dan kontribusi apa yang mereka berikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H