Mohon tunggu...
Adamry Muis
Adamry Muis Mohon Tunggu... -

I'm still nothing... try to be something..

Selanjutnya

Tutup

Politik

Saatnya Merestorasi Identitas Kebangsaan

10 Juli 2010   18:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:57 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala, selalu dipuja puja bangsa"
.

Begitulah beberapa penggal bait sebuah lagu nasional bangsa kita, yang pada hari ini dendangannya masih sering terdengar di seantero negeri ini. Lagu yang merupakan cerminan kekuatan bangsa dan citra bangsa Indonesia di mata dunia. Jika dimaknai lebih dalam lagi,bait per-bait dalam lagu tersebut, memperlihatkan gambaran bangsa Indonesia yang begitu sangat memesona sehingga melahirkan rasa bangga bagi para “Manusia Indonesia“. Indonesia pun digambarkan sebagai bangsa yang dipuja serta dihormati oleh bangsa lain, dan ini bukan merupakan klaim satu pihak tapi ini adalah suatu fakta yang telah menjadi bagian dari long history bangsa Indonesia.

Namun, pertanyaan yang lahir kemudian adalah Masih relefankah jika lagu tersebut dijadikan indikator dalam memandang bangsa kita pada hari ini ?. Masihkah kita memposisikan Indonesia sebagai pusaka yang kita jaga kejayaannya dalam keabadian ? dan masihkah bangsa ini dipuja dan dihormati oleh bangsa luar ?. Dan jawabannya adalah ternyata hal tersebut justru bertolak belakang dengan realitas saat ini, dimana bangsa kita tak henti hentinya digerogoti permasalahan. entah itu kasus Bank Century yang belum jelas endingnya sampai hari ini, Penanganan para Koruptor , Hingga maraknya Makelar Kasus yang bertebaran di Instansi instansi pemerintahan.
Sehingga wajarlah saya kira jika seorang Ardy M Massardi meluncurkan puisinya dengan judul “Negeri para bedebah” yang cenderung profokatif dan mengupas sisi sisi gelap potret kebirokrasiaan Indonesia yang memang benar terjadi, atau bahkan sering kita saksikan dengan mata kepala sendiri. Dan yang lebih parah lagi jika salah satu dari kita termasuk dalam kategori “Bedebah” Tersebut.

Hal seperti ini secara tidak langsung justru semakin mengaburkan “Identitas kita dalam berbangsa dan bernegara”. Sejatinya Identitas merupakan sesuatu yang tidak hanya menjadi ciri khas, tapi juga merupakan bentuk kongkrit perilaku bangsa yang jauh dari gejala patologi sosial. Gejala yang selalu menghinggapi setiap sudut negeri kita saat ini. Sanggupkah kita jika identitas bangsa kita adalah Negara yang kaya akan patologi sosial ?. Kerisauan seperti inipun yang dirasakan oleh salah satu guru bangsa yaitu Buya Syafii Maarif yang diungkapkan dalam bukunya Islam dalam bingkai KeIndonesiaan dan kemanusian : “Ada semacam kerisauan dalam batin saya tentang Indonesia yang belum juga berhasil mewujudkan janji kemerdekaan yang pernah diucapkan oleh para pemimpin sejak puluhan tahun yang lalu, hal itulah yang mendorong saya menulis suatu refleksi sejarah dalam sebuah karya tulis” hal ini pun mempertegas bahwa bangsa ini memang masih “sedang” berada dalam pencarian jati diri dan seorang Buya’ Syafii adalah salah seorang yang peduli akan nasib bangsa ini..

Sebenarnya Identitas kebangsaan adalah sesuatu yang sakral yang wajib untuk dimiliki oleh suatu bangsa, namun jangan sampai lahir sebuah identitas yang keliru, dalam artian bahwa apa yang menjadi identitas adalah patologi patologi sosial, yang tidak memberikan sumbangsih yang berharga sama sekali bagi sebuah negara, malah memberikan sebaliknya. Dan hal ini pulalah yang jangan sampai terjadi di bangsa kita. Kita tidak mengharapkan bangsa ini hanya terbaca dari dekonstruksi dekonstruksi masalah yang ada didalamnya. Tapi terbaca karena adanya dominasi dominasi fakta kebenaran.
Pengokohan ideologi nasional, langkah awal menuju Indonesia sesungguhnya.

Harus kita akui memang bahwa untuk melahirkan identitas kebangsaan haruslah ada kesamaan frame berkebangsaan para element yang ada dalam suatu bangsa. Maka tidak salahlah ketika seorang HM. Nasharuddin Anshory menjadikan pengokohan ideology sebagai suatu langkah awal untuk meretas ideology kebangsaan. HM. Nashruddin Anshory Ch pun memetakan langkah untuk mengokohkan ideologi nasional ke dalam 4 hal. Yaitu : Pandangan hidup, Moral Pancasila, Kewajiban moral dan Kewajiban tindakan moral.3 Keempat elemen tersebut menurut beliau adalah nafas dari pengokohan ideologi bangsa. Jadi pemetaannya adalah mengokohkan ideologi dengan mempersatukan pandangan hidup tentang arah gerak bangsa, mengamalkan nilai moral yang terkandung dalam setiap sila dalam Pancasila, bertanggung jawab terhadap kewajiban moral dalam bertindak sebagai warga negara yang baik.

Memang apa yang dicetuskan oleh seorang HM Nashruddin Anshory Ch hanyalah sebuah rangkaian rangkaian pola yang tak berfungsi jika kita sebagai warga negara yang baik tidak melanjutkannya dalam sebuah tindakan nyata. Dan ketika ideologi nasional telah nampak, maka tidak akan ada halangan yang berarti untuk lahirnya identitas kebangsaan.
Dan sebagai pandangan akhir, sudah saatnya kita melakukan restorasi dalam hal pengokohan ideologi terlebih dahulu, karena kokohnya ideologi bangsa kita akan bertindak lanjut kepada pengokohan identitas kebangsaan. Sehingga pun pada akhirnya, sebuah manifesto dapat dikumandangkan untuk diperdengarkan keseantero dunia, bahwa “inilah Indonesia”, bukan opini publik yang selama ini kita dengar bahawa “inikah Indonesia ?”

(Ruang pelahir Inspirasi_ Rumah ide Insan Cipta_ Malang 23 Mei 2010)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun