Perubahan sosial budaya yang cepat itu menyebabkan sebagian orang kehilangan pegangan iman, kebingunan menemukan jati diri, orientasi dan tujuan hidup, dampaknya dapat mempengaruhi keharmonisan dan kebahagiaan pribadi atau keluarga serta kelompok sosial. Selain itu juga terjadi Westernisasi yaitu mengadaptasi gaya hidup barat, meniru-niru dan mengambil alih cara hidup “ke barat-baratan”, meniru pola hidup, gaya ber-pakaian, cara berbicara, adat sopan santun, pola-pola bergaul, pola berpesta, pola makan/minum dan seringkali ditambah dengan sikap merendahkan bahasa daerah berbicara dengan bahasa penuh ungkapan-ungkapan; ilmiah populer, Inggris, Belanda, Jerman, dll, sedangkan bahasa batak sendiri di abaikan atau orang yang menggunakan bahasa suku dianggap kolot, kurang gaul dan tidak modern. Bahkan ada sebagian orang Batak merasa bangga kalau di bilang “Ndang suman halak Batak”. Sikap ini mencerminkan kurangnya kebanggaan mempertahankan “jati dirinya” sebagai orang Batak dan lebih bangga mengenakan jati diri orang asing di luar Batak. Hal ini akan mengakibatkan kehilangan jati diri yang sesungguhnya serta pudarnya nilai-nilai luhur yang terkandung dalam adat batak itu sendiri.
Selain itu lompatan kemajuan daya intelek manusia semakin dasyat, hal ini dapat di ikuti melalui kemampuan menciptakan alat-alat super canggih. Ilmu pengetahuan makin maju dan berkembang membuat manusia semakin berpikir rasional/ilmiah dan meninggalkan cara-cara berpikir tradisional. Lebih banyak dasar logika daripada perasaan. Kecanggihan teknologi dewasa ini dapat membuat sebagian manusia memiliki kecenderungan untuk mengecilkan arti kehadiran Tuhan dalam hidupnya.
Fungsionalitas rasional menjadi paling utama, mengakibatkan relativisme nilai dan keyakinan. Derajat atau tingkat pendidikan wanita juga meningkat, hubungan suami isteri dalam perkawinan bersifat sejajar dan isteri tidak lagi merasa diri lebih rendah dari suami. Hal ini mempunyai pengaruh fungsi dan peranan wanita dalam keluarga dapat berubah.
Pola hidup dari sosial religius cenderung berubah ke arah individualistik dan privatistik; fokus pada hak dan kebahagiaan pribadi/kebebasan mencari nikmat pribadi selama tidak mengganggu orang lain. Sifat gotong royong mulai memudar. Hal-hal yang berbau mitos, mistis, magis dan tradisi-tradisi kuno mulai diabaikan, orang cenderung bersikap dan bertindak atas dasar rasional, efisien, efektif dan produktif. Sebagian tuntutan adat tradisional yang dianggap tidak efektif dan efisien mulai di tinggalkan.
Sebagai contoh di kalangan batak, dahulu setiap pihak boru mengundang hula-hula untuk suatu acara adat, harus didatangi langsung ke rumahnya kalau tidak, itu dianggap suatu sikap kurang hormat dan merendahkan posisi hula-hula nya, namun masa kini, cukup menghubungi via telephone, sudah menjadi biasa dan maklum atas dasar efisiensi waktu. Demikian juga ulaon “paulak une” sehabis adat nagok, mambukka tujung sesudah acara adat kematian, hanya bersifat simbolis saja.
Fenomena lain yang dapat di amati adalah pemberian ulos dalam adat perkawinan, sudah sering di gantikan dalam bentuk uang, kecuali ulos tertentu ”namarhadohoan” atas dasar pertimbangan manfaat. Tradisi tujuh bulanan“manaruhon aekni unte dohot tolorni manuk”(suatu tradisi kuno untuk tujuh bulan kehamilan pertama), sudah mulai di tinggalkan.
Penulis juga suka mengamati pelaksanaan adat batak saat pesta-pesta maupun adat kematian; pada waktu raja adat/raja parhata dengan gaya ortodok berpedoman pada tradisi lama yang cenderung panjang, rumit dan bertele-tele, sering mendapat protes dari generasi yang lebih moderen baik secara langsung dan terbuka ataupun melalui persungutan, dengan berkata: “jangan terlalu di buat rumit, panjang, bertele-tele, diper-simple saja”. Semua ini mengindikasikan bahwa sifat kemoderenan akan cenderung menggeser pola-pola tradisional lama dan rumit ke arah cara-cara baru yang lebih simple dan efisien.
Perubahan ini sering menimbulkan pertentangan antara kelompok yang berpikir ortodok karena tetap berpegang pada pola-pola tradisional lama, dengan kelompok moderen yang cenderung menginginkan sesuatu lebih simple, efektif, efisien dan rasional.
Radikalisasi kemoderenan juga mempengaruhi Gaya hidup ke arah konsumerisme dan hedonisme (hidup berkesenangan). Hasrat ini makin kuat dorongan mewujudkannya karena rangsangan iklan-iklan melalui media audio visual, reklame yang telah meresapi hampir semua tempat dan situasi hidup masyarakat.
Penawaran penawaran memukau yang menawarkan berbagai fasilitas kemewahan hidup, baik barang maupun makanan seringkali membuat sebagian orang tidak mampu mengendalikan keinginan untuk memilikinya walaupun bukan yang dibutuhan, melainkan lebih pada nikmat pembelinya atau demi status, harga diri, gengsi yang di kira akan di perolehnya melalui konsumsi tinggi itu.
Sikap ini dapat terlihat melalui komunitas “wanita sosialita” yang mempamerkan kemewahan barang-barang dan perhiasan, serta menjadikannya simbol-simbol “status tertentu. Hidup sederhana, sifat menahan keinginan, penuh pengurbanan, menanggung penderitaan, kerelaan untuk melepaskan nikmat pribadi demi cita-cita luhur, kurang mendapat tempat dalam budaya itu. Namun sebaliknya berkembang dalam sikap yang semakin mengkorupsikan moralitas, ethos kerja, nilai kewajaran, sopan santun pergaulan dan seluruh sistem nilai luhur di masyarakat. Bekerja yang rajin, jujur, ulet, bertanggung jawab, dianggap jalan lambat, maka lebih cenderung mengambil jalan pintas cepat. Padahal nilai-nilai paling luhur hanya dapat dicapai melalui iman, integritas dan moral, kejujuran, pengurbanan, memberi daripada menerima dan kesediaan untuk menderita, serta berjuang dalam kehidupan.