Mohon tunggu...
Immanuel A. N.
Immanuel A. N. Mohon Tunggu... -

Hypnotherapist, History Lover, Writer, and Soccer Maniac.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Manfaatkan Apa Yang Anda Miliki

7 Maret 2013   06:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:11 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Even when life just gives you shit, you still have chance to turn it into a benefit.” Para petualang alam yang mengunjungi pegunungan Himalaya, pasti pernah bertemu dengan mamalia berbulu lebat dan panjang ini. Namanya Yak, dia adalah sejenis sapi yang habitatnya berada di wilayah Tibet, Nepal dan Bhutan (wilayah sekitar Himalaya). Baik yang liar dan yang sudah diternak, Yak memiliki ciri yang sama yaitu bulu tebal panjang yang melindunginya dari udara dingin, berwarna hitam, coklat atau pun putih. Saat ini Yak liar masuk kategori binatang yang rentan punah. Populasinya mulai terancam berkurang drastis jika terus diburu dan tidak ada upaya untuk melidungi dan mengembangbiakkannya secara sistematis. Alasannya tidak lain karena hewan ini merupakan bagian dari tradisi kehidupan masyarakat di pegunungan Himalaya. Bagi mereka, Yak punya peran multifungsi: alat transporasi, pakaian, makanan, bahan bakar dan bahkan obat-obatan. Pakaian dan tenda masyarakat sekitar dibuat dari bulu-bulu panjang Yak yang dirajut untuk menghadapi dingin yang menusuk. Selain itu kulitnya dapat juga dibuatkan menjadi jaket, sepatu bot, dan alas tidur. Dagingnya diolah menjadi banyak variasi menu makanan, walaupun sebagian suku-suku di Tibet adalah vegetarian. Sebenarnya sebagian besar masyarakat di sana memandang Yak lebih bermanfaat dalam keadaan hidup daripada mati. Yak dapat dipelihara menjadi hewan domestik untuk dimanfaatkan membajak sawah, menjadi kendaraan untuk mengangkat barang-barang melewati medan sulit di daerah pegunungan. Dengan tetap dalam keadaan hidup Yak dapat menghasilkan susu. Susu berwarna merah muda ini dapat diolah jadi mentega rasa masam. Jika mentega ini dicampur dengan Chai, teh hitam khas Nepal dan garam, maka jadilah minuman bergizi yang sangat kaya protein dan lemak, cocok sekali untuk menghangatkan tubuh di tengah cuaca dingin. Karena di dataran tinggi Himalaya tidak ada pepohonan. Untuk mendapatkan panas atau untuk memasak orang-orang Tibet memiliki sebuah solusi inovatif. Kotoran Yak mereka kumpulkan, mencampurnya hingga menjadi gumpalan, gumpalan yang sedikit lembek, lalu melemparkannya ke dinding-dinding rumah batu mereka, dan membiarkan hingga mengering. Lempengan-lempengan kotoran ini kemudian ditumpuk di atas atap rumah yang datar, menunggu giliran menjadi bahan bakar untuk menghangatkan rumah dan memasak makanan. Nampaknya, tidak ada yang terbuang sia-sia dari Yak. Bahkan kotorannya pun masih bisa dimanfaatkan. Ini lah gambaran sederhana dari sebuah fakta kehidupan manusia sebagai mahluk sempurna ciptaan Tuhan. Manusia tidak dilahirkan dengan perangkat organ, sistem tubuh yang spesifik disiapkan untuk menghadapi alam tertentu. Berbeda dengan Yak, seorang manusia Tibet tetap dapat hidup jika dia dipindahkan / berpindah ke sebuah tempat di tepi laut. Tapi, apa yang akan terjadi jika seekor Yak dipindahkan ke sebuah pantai di Hawaii? Bisa kita bayangkan sendiri, pada akhirnya perlengkapan penunjang hidupnya yang sudah ada sejak lahir tidak lagi bermanfaat. Jadi apa yang membedakan keduanya, manusia Tibet dan Yak? Iya, AKAL! Manusia punya potensi menjadi seperti apa saja tergantung cara dia memanfaatkan akalnya. Manusia dapat memanfaatkan apa saja, bahkan seonggok tahi kerbau sekalipun, karena dia menggunakan akalnya. Hidup manusia akan menjadi begitu kaya, penuh warna dan dinamis hanya ketika dia mulai berpikir, berimajinasi dan mewujudkannya. Sedangkan pada binatang ada sebuah kemutlakan bentuk fisik dan sistem tubuh yang mempengaruhinya menjalani pola hidup yang statis. Karena akal yang menjadi pembeda antara kita dan hewan, akal pula lah yang harus kita gunakan untuk berimajinasi mengubah nasib. Tindakan pasrah terhadap nasib sangat disayangkan mengingat apa yang terjadi pada hewan ketika mereka “tidak mau” berpikir, hidup apa adanya, dan berprinsip yang penting bisa makan. Manusia dengan pola pikir seperti itu akan selalu menjadi pihak yang selalu dimanfaatkan demi terwujudnya mimpi orang lain. Mulailah membedakan diri dari hewan dengan berimajinasi apa yang ingin dicapai, buat rencana kerja, dan bekerja untuk mewujudkannya. Ketika kita punya keberanian untuk melakukannya, Tuhan melalui hukum-hukumNya yang tersimpan di alam semesta ini, langsung bergerak mendukung daya kreasi kita. (ian)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun