Mohon tunggu...
Melda Imanuela
Melda Imanuela Mohon Tunggu... Penulis - Founder Kaukus Perempuan Merdeka (KPM)

Trainer, Education, Gender and Financial Advisor

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mendoakan Para Pemuja-Mu

26 Oktober 2018   20:50 Diperbarui: 28 Oktober 2018   10:07 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejak Negara Republik Indonesia ini merdeka, para pendiri bangsa mencantumkan kalimat Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan pada lambang negara Garuda Pancasila.

Sebagai semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia, konsep Bhineka Tunggal Ika bukan hanya perbedaan agama dan kepercayaan menjadi fokus, tetapi pengertiannya lebih luas. Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan Negara memiliki cakupan lebih luas, seperti perbedaan suku, bangsa, budaya (adat-istiadat), beda pulau, dan tentunya agama dan kepercayaan yang menuju persatuan dan kesatuan Negara.

Negeri ini, Republik Indonesia, bukanlah milik suatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik suatu kelompok etnis, bukan juga milik suatu adat-istiadat tertentu, tapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke! (Sukarno)

Indonesia sedang dirundung problem mentalitas. Problem mentalitas ibarat gunung es. Dimana mentalitas dan spirit politik dalam bernegara yang tidak sehat. Berkembangnya masyarakat paham pragmatis yang dipupuk oleh Orde Baru dimana pembangunan tidak dibarengi dengan peningkatan sumber daya manusia yakni pendidikan karakter bangsa. 

Sejalan dengan sosiolog Emile Durkheim yang menyebutkan istilah "modal sosial". Modal sosial untuk menyatakan ikatan sosial antar manusia didalam sebuah masyarakat sangat penting untuk membentuk kohesivitas sosial dalam tujuan hidup masyarakat. Ia merupakan sebuah kekuatan untuk mencapai tujuan hidup bersama yang tidak mungkin dicapai secara personal. 

Jika ditarik kembali melihat Indonesia dimasa kini yang memiliki modal sosial yang majemuk seharusnya menjadi kekuatan bangsa, ironisnya modal sosial semakin merapuh dengan terkikisnya toleransi, saling percaya dan SARA juga hoax. Maka sejogyanya semakin tinggi modal sosial berbanding lurus dengan makin efisien menjalankan kehidupan bermasyarakat. Modal sosial ini bisa jadi kekuatan juga bisa jadi konflik jika tidak dirawat dengan nilai-nilai Pancasila sebagai pererat persatuan dan kesatuan bangsa itu sendiri.

Jadi teringat perkataan Buya Syafi'i Maarif yaitu Agama jangan dijadikan kendaraan politik, agama memang tidak bisa dipisahkan dengan politik. Tapi seharusnya agama menjadi panduan moral politik. 

Kita hidup di tanah air Indonesia yang selama ini  bisa hidup saling berdampingan, penuh toleransi dan rukun antar umat beragama.  Akhir-akhir ini negeri ini memanas karena menyoal agama dan beragama.  Agama sekarang menjadi candu masyarakat. Bukankah sejatinya Agama jangan sampai menjauh dari kemanusiaan (Gusdur).

Agama saya sangat sederhana,

Mengapa kini menjadi kaku?

Agama saya adalah kebaikan,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun