Pada tanggal 20 April 2018 pukul 9.00 -11.00 wib sebanyak 19 (sembilan belas) aktivis perempuan telah diterima oleh Presiden Joko Widodo di Istana Presiden Bogor untuk membahas persoalan-persoalan perempuan yang perlu segera di respon oleh Presiden. Salah satu masalah penting yang dibahas dalam pertemuan dengan Presiden tersebut adalah Perkawinan Anak.Â
Kelompok perempuan telah menyampaikan Draft Perppu Perubahan UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Draft tentang Rancangan Peraturan Pemerintah yang disusun oleh Dian Kartikasari, Indry Oktaviani, Misiyah, Rita Serena Kalibonso, Kencana Indrishwari, Supriyadi W Eddyono dan Maemunah.
Proses penyusunan dan konsultasi Perppu tersebut difasilitasi oleh Deputi Tumbuh Kembang Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Mewakili Tim Perumus, Indry Oktaviani (Koalisi Perempuan Indonesia) berkesempatan menyerahkan Draft Perppu dan Draft PP kepada Presiden Joko Widodo.
Dalam dialog tersebut, Presiden menyatakan komitmennya akan segera menerbitkan Perppu untuk mencegah Perkawinan Anak, dan meminta Menteri KPPPA dan Menteri Koordinator PMK segera menindaklanjutinya. Aktivis Perempuan yang diterima Presiden Joko Widodo di Istana Presiden di Bogor untuk membahas Issue perempuan antara lain : Zumrotin (Yayasan Kesehatan Perempuan), Ruby Kholifah (AMAN Indonesia), Misiyah (KAPAL Perempuan), Aditiana Dewi Eridani (Rahima),  Musliha (Rumah Sahabat Perempuan),  Naila (LBH Masyarakat), Musriyah (Sekolah Perempuan), Ani Rufaedah (Working Group oN Women and PCVE), Indry Oktaviany (Koalisi Perempuan Indonesia),  Nurhidayah (Perempuan Nelayan/Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia),  Lusia Palulungan (Yayasan Bhakti Makassar), Henny Supolo (Yayasan Cahaya Guru), Nindy Sitepu (CISDI), Siti Maemunah (Sajogyo Institute), Rita Kolibonso (Gerakan Peduli Perempuan Indonesia), Mira Kusumarini (CSAVE-Civil Society Against Extremism), Yuda Irlang , Ansipol, Zulyani Evi, Migrant CARE, Fitria Villa Sahara ( Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga.
Ibu Rasminah menikah di usia 13 tahun karena dijodohkan oleh orang tuanya. Rasminah dipaksa menikah oleh orang tuanya selepas lulus SD. Di usia 13 tahun, ia harus menikah untuk pertama kalinya. Dua tahun, ia bercerai dan kembali menikah. Pernikahan ketiga pun tak berapa lama. Ia kini menikah dengan pria yang menjadi usia keempat.
Rasminah mengalami nestapa akibat dari kawin pada usia anak  dari pengalaman tersebut mendorong dan menginisiasi Rasminah dan teman-temannya untuk menggugat UU Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan berharap 9 hakim konstitusi menaikkan usia minimal menikah perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun bersama Koalisi Perempuan Indonesia. Rasminah berharap agar dimasa depan tidak ada lagi anak-anak Jaman Now yang menikah diusia anak.Â
Perkawinan anak berdampak dan menjadi korbannya adalah perempuan dan anak, yakni:Â
1. Pendididikan terputusÂ
2. Kekerasan dan pelecehan seksual (KDRT)
3. Eksploitasi anak
4. Malnutrisi bayi
5. Angka Perceraian AnakÂ
6. Angka kematian Ibu meningkat
Masa anak-anak adalah masa bahagia yakni bermain dan belajar. Masa anak-anak bukan untuk dikawinkan menjadi penting usia 19 tahun kebawah dalam pengawasan orang tua. Disinilah pola asuh (parenting) orang tua yang berbasis Hak Anak.Â
Dukungan semua pihak sangat dibutuhkan demi terwujudnya pengesahan Perppu Pencegahan Perkawinan Anak yang menjadi indikator jaminan negara terhadap pemenuhan hak perempuan, hak anak dan penghapusan kekerasan seksual yang berbasis gender.Â
#katakanstopperkawinananak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H