Pernyataan Jokowi yang menyatakan bahwa seorang presiden boleh kampanye dapat menjadi sumber kontroversi yang patut diperinci. Meskipun pemimpin memiliki hak untuk berkomunikasi dengan publik, penting untuk mempertimbangkan dampaknya terhadap netralitas institusi. Pernyataan tersebut memunculkan kekhawatiran terkait potensi penyalahgunaan kekuasaan dan mencampuradukkan peran antara kepemimpinan negara dan upaya kampanye politik. Sebuah pandangan kritis diperlukan untuk memastikan bahwa integritas dan independensi lembaga presiden tetap terjaga, tanpa terjerat dalam dinamika politik yang merugikan stabilitas dan keadilan dalam sistem politik. Adanya campur tangan presiden dalam kampanye dapat menciptakan ketidaksetaraan persaingan, merusak integritas pemilihan umum, dan merugikan proses demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang berkeadilan.
Meskipun ada argumen yang mendukung keterlibatan presiden dalam kampanye sebagai bentuk keterbukaan dan keterlibatan langsung dengan rakyat, namun pandangan ini juga memunculkan beberapa kekhawatiran. Pertama, melanggar pasal 281,282, dan 283 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Presiden yang mengikuti kampanye pemilu secara langsung melanggar Pasal 281 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal ini dengan jelas menyebutkan bahwa keikutsertaan Presiden dalam kampanye memerlukan kewajiban cuti di luar tanggungan negara dan larangan penggunaan fasilitas jabatan, kecuali fasilitas pengamanan sesuai peraturan perundang-undangan.
Poin (1) huruf a dan b Pasal 281 memberikan petunjuk jelas bahwa penggunaan fasilitas jabatan oleh Presiden harus dihindari selama kampanye, kecuali untuk keperluan pengamanan yang diatur dalam peraturan. Presiden juga diwajibkan menjalani cuti di luar tanggungan negara selama kampanye, menandakan bahwa keberlanjutan tugas penyelenggaraan negara harus dipertimbangkan.
Pasal 282 melarang pejabat negara, termasuk Presiden, untuk membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu selama masa kampanye. Dalam konteks ini, keikutsertaan Presiden dalam kampanye dapat dianggap sebagai tindakan yang menguntungkan peserta tertentu.
Selanjutnya, Pasal 283 (1) melarang pejabat negara, termasuk Presiden, untuk melakukan kegiatan yang bersifat memihak kepada peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye. Hal ini mencakup pertemuan, ajakan, imbauan, seruan, atau pemberian barang kepada aparatur sipil negara dan masyarakat.
Dengan merinci ketentuan-ketentuan ini, dapat disimpulkan bahwa keikutsertaan Presiden dalam kampanye dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap UU No 7 Tahun 2017. Didasarkan pada kewajiban cuti, larangan penggunaan fasilitas jabatan, serta larangan melakukan kegiatan yang memihak peserta pemilu sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 281, 282, dan 283.
Kedua, kehadiran presiden dalam kampanye dapat mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan dan penggunaan sumber daya negara untuk kepentingan politis. Hal ini dapat menciptakan ketidaksetaraan dalam persaingan politik, memberikan keuntungan yang tidak adil bagi petahana, dan merusak integritas demokrasi.
Kehadiran presiden dalam kampanye berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan dan penggunaan sumber daya negara untuk kepentingan politis yang dapat merugikan prinsip demokrasi dan integritas pemerintahan. Ketika seorang presiden terlibat langsung dalam kampanye politik, ada risiko bahwa posisi dan kekuasaannya akan dimanfaatkan untuk memengaruhi pemilih. Hal ini dapat menciptakan ketidaksetaraan dalam kompetisi politik, merugikan keseimbangan yang seharusnya ada antara kandidat.
Presiden memiliki platform dan daya tarik media yang besar, sehingga kehadirannya dapat mendominasi cakupan berita dan meredam suara kandidat lain. Hal ini dapat merugikan prinsip persaingan yang sehat dalam politik demokratis, di mana semua kandidat seharusnya memiliki kesempatan yang setara untuk menyampaikan visi dan gagasan mereka kepada pemilih.
Penggunaan waktu presiden untuk kampanye politik dapat mengurangi fokus pada tugas-tugas pemerintahan yang seharusnya menjadi prioritas utama. Negara membutuhkan kepemimpinan yang efektif untuk menangani berbagai isu dan tantangan yang dihadapi, dan kehadiran presiden dalam kampanye dapat mengalihkan perhatian dari tanggung jawab utamanya sebagai pemimpin negara.