Memasuki fase akhir penerimaan siswa baru tahun 2019, isu tentang "Sistem Zonasi Sekolah" masih melangit dalam opini pakar, pengamat, birokrat, dan masyarakat khususnya wali siswa yang skeptis tentang sederet peraturan baru Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Isu ini penuh sesak di berbagai unggahan platform media sosial, surat kabar dan merangkak menjadi headline news.Â
Banyak orang yang menghujani gugatan dengan penuh kejengkelan, ada juga sebagian orang menafsirkan pola itu tanpa keraguan berharap lahir perubahan. Quo Vadis itu menampilkan kemiripan dan memaksa kita untuk membaca ulang buku Bryan Magee yang berjudul "The Story of Philosophy" pada halaman 22.
Kita seakan sedang menyaksikan karya klasik dalam suatu adegan Awan (423 SM) atau "The Clouds" dalam bahasa Yunani Kouno "Nephelai" karya Aristophanes (masa hidupnya sekitar tahun 448-380 SM). Pada karya itu, Socrates sedang diinterogasi, terlihat Ia ditaruh dalam keranjang di atas kepala orang-orang Athena.
Pada karya itu, Socrates membuka alam pikiran, mengajari dan membangun prinsip-prinsip dialektika, mempertanyakan segalanya sambil menelanjangi ketidaktahuan orang muda Athena tentang negara (Bertrand Russel dalam Rochiati Wiriaatmadja, 2015: 5).Â
Cara semacam itu ternyata menyebabkan dirinya dianggap sebagai sumber pengaruh yang subversif, sehingga kaum Sophis menuduh Socrates telah merusak jiwa orang muda Athena. Jadilah Socrates tokoh yang sangat kontroversial, dicintai sekaligus dibenci.
Lalu apa korelasi karya klasik itu dengan sistem zonasi saat ini? penyebabnya adalah pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memukul gong sebagaimana terkandung dalam Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tentang PPDB. Akibatnya, publik dibuat geger oleh sistem baru itu.Â
Publik semakin kalut setelah digulirkan dan diimplementasikan 3 tahun belakangan pada sekolah-sekolah mulai jenjang dasar sampai menengah atas di Indonesia.Â
Argumentasi teoritis, praksis bahkan yuridis nyaris tidak mendapatkan ruang kesepahaman untuk meredam gejolak catatan penyelenggaraan yang sedang berlangsung. Sistem zonasi sedang diinterogasi sebagaimana penggalan sejarah hidup Socrates, oleh karena menata jalan pembaharuan dan perubahan.
Sungguh ironis, ketika bangsa ini sedang menghimpun modal sosial penuh optimisme untuk menjadi pemeran utama dalam percaturan global dengan bonus demografi pada satu abad kemerdekaannya tahun 2045 mendatang.
 Tetapi, nampaknya masyarakat kita mengalami distrust terhadap gagasan besar sistem zonasi sekolah yang bermandikan perdebatan, menguras energi dan pikiran, bahkan berujung penolakan.