Para Dewa di Jonggring Salaka bingung, tidak ada satupun yang sanggup untuk mengalahkan musuh para dewa yang satu ini. Prabu Mahesa Sura yang didampingi oleh Patihnya yaitu Lembu Suro, adalah 2 kerbau bule penguasa berbadan manusia dan berkepala kerbau yang berani menentang para Dewa dan meminta Dewi Tara untuk dijadikan istri. "wah nampaknya kerbau yang satu ini gak tahu aturan", demikian betara Indra mengeluh kepada rekan sesam Dewa nya", kan sudah tahu kerbau, mana ada yang tahu aturan. Jadi yang salah bukan kerbauya, tapi Dewanya", Sang Dewa Bayu yang agak ceplas-ceplos menjawab dengan entengnya. Akhirnya rapat para Dewa itu berbuah kebingungan dan memutuskan harus dipilih jagonya para Dewa.
Setelah berunding beberapa saat ahirnya Betara Guru turun ke dunia untuk membawa misi menemui seorang pertapa yang rajin dan tekun tapanya. Misi dari Betara Guru adalah mengangkat pertapa itu menjadi jagonya Dewa dan juga menuruhnkan ilmu panjang umur yaitu Pancasona. Dengan ilmu Pancasona itu seseorang akan dikaruniai kesaktian tidak bisa mati dengan senjata apapun kecuali badannya tidak menyentuh bumi. Disamping itu ilmu pancasona ini adalah ilmu yang berfungsi untuk bisa menjaga kewibawaan seorang pimpinan. Memang sebenarnya para dewa sendiri banyak yang tidak setuju dengan pemberian ilmu Pancasona kepada siapapun, tetapi mereka tidak bisa menolak karena ini sudah merupan tuntunan alam. "Wah bagaimana jadinya kalau ilmu itu turun kepada orang yang berwatak jahat?...:, demikian pertanyaan dibenak mereka semua. Tetapi karena tidak ada pilihan lain maka hal ini harus dilakukan. Sebelum memutuskan siapa jago pilihan,para Dewa ini melihat kitab-kitab manusia yang linuwih dan ketemulah mereka dengan SERAT (RAMALAN) JANGKA JAYA BAYA.Dalam ramalan Jayabaya, seoarang raja Kediri yang yang mampu menjangkau kejadian ribuan tahun itu disebutka bahwa tanah yang subur makmur ini akan di jajah ketika ada kerbau bule nyebrang sungai bengawan dan kemudian akan dibebaskan oleh Prabu Gung Gumatoro, seorang ksatriya yang gagah perkasa dengan suara seperti Guntur menggelegar. Akhirnya di bulan Yoni, setalah dilakukan rapat yang maraton didalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kesaktian (BPUPKI), diputuskan bahwa Betara Guru sendiri hrus turun ke Madyapada untuk menemui seorang ksatria mudabernama Soebali.
Betara Guru atau Sang Hyang Jagatnatha turun ke madyapada untuk menurunkan ajian dan ideologi PANCASONA yang mempunyai manfaat manusia yang menguasainya tidak bisa mati kalau masih menginjak bumi. Demikian Soebali, seoarang pemuda yang berubah menjadi kera dan topo ngalong mendapatkan ajian dan ideologi PANCASONA ini untuk mengalahkan sang kerbau bule yaitu Maheso Suro dan Lembu Suro. Betara guru sangat yakin bahwa Soebali ini orang yang dicari untuk mengalahkan sang kjerbau bule yang sudah menjajah Guakiskenda selama 350 bulan lamanya. Soebali seorang ksatria berwajah kera dengan sifat pemberani dan suara menggelegar dipercaya para Dewa untuk mengusirsi kerbau bule. Dengan senang hati Soebali pun menerima tanggung jawab ini karena selama bertapa dia hanya bias duduk bersemedi sambil menyeleseaikan tulisan-tulisannya yang cukup menantang seperti “Gua Kiskenda Menggugat”.Tulisan-tulisan ini yang mebuat dirinya tidak disukai oleh ayahnya yaityu Resi Gutama sehingga Soebalipun menerima konsekwensi dihukum buang dari tanah kelahirannya sendiri.
Setelah mendengar titah dari betara Guru Soebalipun mengajak saudara seperjuangannya yaitu Soegriwa, seorang ksatria yang terkenal sopan dalamperangai, disiplin dalam waktu dan tekun dalam agama.”Soegriwa, sekarang sudah saatnya kita mesti bersatu untuk membeaskan si kerbau bule itu”, demikian Soebali memulaipembicaraan yang hangat. Memang Soegriwa ini bernasib sama dengan Soebali, sebagai seorang ksatria muda sudah banyak makan asam garamnya pengasingan dari resi Gutama. Dalam pembicaraan itu disepakati untuk membuat koalisi meruntuhkan kerbau bule Maheso Suro dan Lembu Suro.Inilah saat-saat yang dinamakan “DWI TUNGGAL”.
Demikianlah Dwi Tunggal itu kemudian melakukan “Maacht forming”,yang berarti pengumpulan masa dan juga”Maacht Awending”, yang berarti Pengerahan massa. “Wah pokoknya rakyat mesti dilibatkan adi Soegriwa”, demikian celetuk Soebali ketika itu. Setelah rakyat Guakiskenda bersatu kemudian mereka membawa seluruh rakyat Guakiskendauntuk melakukan Revolusi. Spoebali memdapat bagian bertarung dengan maheso Suro dan Lembu Suro sedangkan Soegriwa mendapat bagian menutup jalan pelarian keduanya jika sudah kalah berperang. Yah, revolusi Guakiskenda ini memang memakan banyak jiwa dan harta benda. Revolusi memang terkadang membuat semua jadi menderita. Tetapi rakyat Guakiskenda yang sudah terbiasa hidup dijajah tidakmau balik kelam yang terhina. “merdeka atau mati”, demikian teriak rakyat Guakiskenda.Akhirnya dalam revolusi ini si kerbau bule Maheso Suro dan Lembu Suro gugur di medan perang. Darah mereka mengalir dua warna yaitu merah dan putih.
Memang setelah mengusir para penjajah dari Guakiskenda itu timbul lagi problem dalam mendapatkan Dewi tara yang dijanjikan ini. Soebali yang memang berwatak ceplas-ceplos langsung menagih hal ini kepada para Dewa, sedangkan Soegriwa lebih memilih menunggu titah para Dewa. Hal ini yang menjadikan pertentangan antara keduanya memuncak. “kawin tidak ada persiapan, itu kurang baik Soebali”, demikian cetus Soegriwa. “Tapi kalau ngikuti persiapan, ya ndak kawin-kawin juga”,teriak Soebali.
Pertentangan itu dikemudian hari dimanfaatkan oleh Rahwana, seorang raja raksasa yang sangat menginginkan Ajian dan ideologi PANCASONA yang merupakan kesaktian para Dewa. Rahwana ini pandai mengadu domba Dwi Tunggal Soebali dan Soegriwa. Mereka berdua di adu domba. Soebali akhirnya mengalah, demi keutuhan guakiskenda dia rela melepaskan ajian dan ideologi PANCASONA. “Kutitipkan Negeri ini padamu”, demikian wasiat Soebali yang terakhir. Soegriwa pun menangis, tetapi dan ideologi PANCASONA sudah terlanjur digenggaman Rahwana yang serakah.Rakyat Alengka dikerahkan membangun negerinya, tidak ada kata bertanya dan mengkritik, semuanya di berangus. Bahkan surat-surat kabar yang berani bersuara harus menerima kenyataan pahit yaitu bredel.
Sekali lagi Para Dewa kebingungan melihat akibat ajian dan ideologi PANCASONA yang disalah gunakan. Oleh karena itu Rahwana mesti diruntuhkan dan para Dewa haruys mencari jago baruyang mampunyai keberanian dan watajk yang lurus. Jagoan itu ternyata jatuh pada Sri Rama, seorang putra Ayodyayang berkelana tidak menentu rimbanya. Memang ajian dan ideologi PANCASONA ini dengan segala kelebihannya mampu menjadi alat untuk merebut kekuasaan dari tangan penguasa yang jahat, tetapi kalau disalah gunakan juga akan membuat si pemilik itu akan seperti Rahwana.
Oleh karena itu di bulan Yoni, sambil mengingat riwayat lahirnya ajian dan Ideologi PANCASONA ini kita sama-sama merenung baik untuk para wayang yang sedang ada di kotak dan lagi beristirahat dengan nyenyakmaupun para dalangnya yang akan memainkannnya di malam hari, pintar-pintarlah memilih judul atau lakon. Lakon ajian dan ideologi PANCASONA ini akan membuat para wayang itu bergembira dan juga berduka, demikian juga si Tuan rumah yang mendatangkan pagelaran wayang kulit bias mendapat berkah atau juga mendapat celaka. Oleh karena lakon ajian dan ideologi PANCASONA ini akan membuat jaman Panca roba, suatu jaman yang dipenuhi oleh ketidak menentuan. Selamat memgingat kembali lahirnya ajian dan ideologi PANCASONA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H