Mohon tunggu...
Mansar Hugo
Mansar Hugo Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Gerakan Literasi Menuju Manusia Cerdas, Perspektif Kritis Pendidikan Guru di Wilayah 3T

3 Desember 2018   21:17 Diperbarui: 3 Desember 2018   21:25 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Nomor 20 Tahun 2003 bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bertujuan untuk mengembangkan potensi (literasi) peserta didik (siswa) agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pendidikan sebagai salah satu hal yang terpenting dalam kehidupan manusia, karena melalui pendidikan dapat menciptakan manusia yang berpotensi, kreatif, dan memiliki ide cemerlang sebagai bekal untuk memperoleh masa depan yang lebih baik (Warami, 2016).

  • FAKTA DAN PROBLEMATIKA

Menurut UNESCO (2012) dalam Warami (2016) bahwa minat baca masyarakat Indonesia baru mencapai 0,001, di mana dari 1000 penduduk Indonesia, hanya satu orang yang memiliki minat baca (kemendikbud.go.id), serta PERMENDIKBUD Nomor 23 Tahun 20015 yang mengungkap tentang penumbuhan budi pekerti yang mencakup gerakan literasi sekolah (GLS) dengan mewajibkan siswa membaca buku nonpelajaran selama 10-15 menit sebelum pelajaran di mulai. Selain itu, menurut Supiadi (2016:2) gerakan literasi sekolah bertujuan menciptakan lingkungan sekolah yang menjadi lingkungan pembelajar sepanjang hayat dengan membudayakan akivitas membaca dan menulis.Untuk mendukung prinsip dasar dari gerakan literasi di atas, diperlukan adanya sistem pendidikan nasional yang baik.

Menurut Supiadi (2016:3-4) menyebutkan bahwa sekolah sebagai tempat menimba ilmu belum sepenuhnya menumbuhkan budaya membaca dan menulis (literasi) sebagai bagian dari pengembangan diri peserta didik (siswa). Hal tersebut terlihat ketika bel 'loceng' berbunyi, peserta didik sebagian besar akan memilih kantin sekolah sebagai tempat untuk menghaiskan waktu istirahat dari pada diperpustakaan. Pilihan peserta didik (siswa)  dalam menghabiskan waktu istirahat di kantin daripada perpustakaan menunjukan, bahwa kegiatan membaca belum menjadi suatu hal yang menarik bagi peserta didik. Lebih lanjut, sekolah sebagai bagian utama dalam penumbuhan budaya membaca, tidak semua mampu menyediakan sarana dan prasarana untuk menciptakan lingkungan ramah baca bagi peserta didik (siswa). Selain itu, sangat sedikit sekolah yang mengapresiasi kegiatan membaca sebagai bagian dari prestasi peserta didik. Tidak hanya dalam hal membaca, dalam hal menulis, sekolah juga belum dapat memfasilitasi ruang kreasi peserta didik untuk menungkan ide dalam bentuk tulisan di lingkungan sekolah. Mading sekolah yang sepi dari goresan tinta kreatif peserta didik dalam mengembangkan kreasi tulis-menulis, menjadi saksi bisu lemahnya budaya menulis di sekolah.

Kondisi lain yang turut mempengaruhi lambannya budaya membaca dan menulis adalah faktor guru. Menurut Supiadi (2016:4-5) bahwa guru biasanya hanya terfokus pada buku guru sebagai pegangan dalam mengajar dan menerangkan materi dengan menuliskannya di papan tulis atau menerangkannya secara lisan. Hal tersebut terjadi karena guru beranggapan bahwa buku pegangan yang digunakan dalam pembelajaran adalah satu-satunya sumber belajar. Guru sebagai figur yang patut dicontoh dan ditiru juga belum memberi banyak contoh dalam kegiatan membaca dan menulis (literasi). Guru lebih banyak menghabiskan waktu di ruang kelas atau ruang guru daripada membaca di perpustakaan sekolah. Guru juga sangat sedikit memproduksi karya tulis seperti, PTK (Penelitian Tindakan Kelas), opini, artikel, jurnal, buku pengayaan, dan atau buku umum. Hal tersebut menunjukan, bahwa di dalam diri seorang guru, budaya membaca dan menulis (literasi) belum menjadi bagian dari aktivitas untuk merawat nalar.

  • DESKRIPSI GERAKAN LITERASI

III.1 Literasi

Literasi yang dalam bahasa Inggrisnya literacy berasal dari bahasa Latin littera (huruf) yang pengertiannya melibatkan penguasaan sistem-sistem tulisan dan konvensi-konvensi yang  menyertainya. Namun demikian, literasi utamanya berhubungan dengan bahasa dan bagaimana bahasa itu digunakan. Adapun sistem bahasa tulis itu sifatnya sekunder. Manakala berbicara mengenai bahasa, tentunya tidak lepas dari pembicaraan mengenai budaya karena bahasa itu sendiri merupakan bagian dari budaya. Literasi adalah kemampuan berkomunikasi (menyampaikan dan menerima informasi) melalui bahasa. Bahasa dalah media komunikasi yang diciptakan manusia; bahasa memiliki makna, aturan dan struktur (bdk.Suciati, dkk., 2015:4; Warami, 2016).

III.2 Prinsip Pendidikan Literasi

Menurut Kern (2000) dalam Warami (2016) terdapat tujuh prinsip pendidikan literasi, yaitu: (1) Literasi melibatkan interpretasi. Penulis/pembicara dan pembaca/pendengar berpartisipasi dalam tindak interpretasi, yakni: penulis/pembicara menginterpretasikan dunia (peristiwa, pengalaman, gagasan, perasaan, dan lain-lain), dan pembaca/pendengar kemudian mengiterpretasikan interpretasi penulis/ pembicara dalam bentuk konsepsinya sendiri tentang dunia; (2) Literasi melibatkan kolaborasi. Terdapat kerjasama antara dua pihak yakni penulis/ pembicara dan membaca/ pendengar. Kerjasama yang dimaksud itu dalam upaya mencapai suatu pemahaman bersama. Penulis/pembicara memutuskan apa yang harus ditulis/dikatakan atau yang tidak perlu ditulis/ dikatakan berdasarkan pemahaman mereka terhadap pembaca/pendengarnya. Sementara pembaca/pendengar mencurahkan motivasi, pengetahuan, dan pengalaman mereka agar dapat membuat teks penulis bermakna; (3) Literasi melibatkan konvensi Orang-orang membaca dan menulis atau menyimak dan berbicara itu ditentukan oleh konvensi/kesepakatan kultural (tidak universal) yang berkembang melalui penggunaan dan dimodifikasi untuk tujuan-tujuan individual. Konvensi disini mencakup aturan-aturan bahasa baik lisan maupun tertulis; (4) Literasi melibatkan pengetahuan kultural. Membaca dan menulis atau menyimak dan berbicara berfungsi dalam sistem-sistem sikap, keyakinan, kebiasaan, cita-cita, dan nilai tertentu, sehingga orang-orang yang berada di luar suatu sistem budaya itu rentan/beresiko salah dipahami oleh orang-orang yang berada dalam sistem budaya tersebut; (5) Literasi melibatkan pemecahan masalah. Karena kata-kata selalu melekat pada konteks linguistik dan situasi yang melingkupinya, maka tindak menyimak, berbicara, membaca, dan menulis itu melibatkan upaya membayangkan hubungan-hubungan di antara kata-kata, frase-frase, kalimat-kalimat, unit-unit makna, teks-teks, dan dunia-dunia. Upaya membayangkan/memikirkan/mempertimbangkan ini merupakan suatu bentuk pemecahan masalah; (6) Literasi melibatkan refleksi dan refleksi diri. Pembaca/pendengar dan penulis/ pembicara memikirkan bahasa dan hubungan-hubungannya dengan dunia dan diri mereka sendiri. Setelah mereka berada dalam situasi komunikasi mereka memikirkan apa yang telah mereka katakan, bagaimana mengatakannya, dan mengapa mengatakan hal tersebut; dan (7) Literasi melibatkan penggunaan bahasa. Literasi tidaklah sebatas pada sistem-sistem bahasa (lisan/tertulis) melainkan mensyaratkan pengetahuan tentang bagaimana bahasa itu digunakan baik dalam konteks lisan maupun tertulis untuk menciptakan sebuah wacana/ diskursus.

  •  

III.3 Literasi Dasar

Kemampuan literasi dasar adalah titik awal dari proses melek huruf dan mencakup empat aspek, yaitu mendengar, mengucap, membaca, dan menulis. Keempat aspek tersebut dijabarkan menjadi (1) mendengar. Teknis: mencakup pengetahuan kesadaran bunyi, yaitu pengetahuan mengenai bunyi bahasa (struktur bahasa berdasarkan bunyi seperti bunyi huruf, bunyi suatu kalimat sesuai dengan tanda bacanya, bunyi kata, dan seterusnya; Pemahaman: mencakup kemampuan untuk mengerti apa yang didengar; (2) mengucap. Teknis: mencakup kemampuan untuk berbicara dengan baik pelafalan, ekspresi, intonasi, dan volume suara; Pemahaman: mencakup kemampuan untuk mengkomunikasikan pemikiran dengan baik dalam bentuk ucapan, misalnya mampu memilih kata yang tepat, menyusun kalimat dengan baik dan runut dalam berbicara; (3) membaca. Teknis: mencakup pengetahuan kesadaran cetak seperti mengetahui arah dan membaca teks yang tercetak, jenis huruf besar atau kecil dan penempatannya, struktur bahasa yang tercetak yaitu, kalimat, kata, suku kata, tanda baca, dan lain-lain, dan kemampuan merangkai huruf yang tercetak (membaca rangkaian huruf menjadi kata) dengan baik; Pemahaman: mencakup kemampuan untuk mengerti apa yang dibaca; dan (4) menulis. Teknis: mencakup kemampuan untuk menuliskan secara benar unsur-unsur dan struktur bahasa; Pemahaman: mencakup kemampuan untuk memahami bahwa suatu pemikiran simbol yang memiliki peraturan. Salah satu tanda awal yang menunjukkan bahwa anak usia dini memahami hal ini, adalah mereka dapat mengekspresikan pemikiran mereka melalui 'peniruan tulisan' yang biasa jadi mengikuti ataupun tidak mengikuti aturan-aturan dasar dalam sistem bahasa (Suciati, dkk., 2015:1; ; Warami 2016).).

III.4 Komponen Literasi

Dalam pengajaran literasi, ada 6 (enam) komponen literasi yang dapat membantu sehingga tujuan pengajaran literasi itu dapat tercapai. Keenam komponen itu dapat diuraikan sebagai berikut: (1) pengetahuan alfabet, yakni pengetahuan tentang huruf-huruf yang ada dalam alfabet (nama, bentuk, dan bunyi), (2) kesadaran cetak, yakni pengetahuan tentang bentuk dan fungsi dari tulisan, (3) fonologi, yakni pengetahuan tentang bunyi-bunyi bahasa: bunyi bahasa memiliki struktur dan makna, (4) fonik, yakni pengetahuan tentang bagaimana simbol-simbol bunyi (huruf) dan bunyi yang diwakilkannya 'bekerja sama' melalui aturan dan struktur dalam bahasa tersebut sehingga bahasa terucap dapat ditulis, dan bahasa tulis dapat diucap, (5) pemahaman, yakni pengetahuan tentang cara-cara memahami bacaan, dan (6) kosa kata, yakni pengetahuan tentang makna-makna kata serta aturan dan komposisinya dalam kalimat (Suciati, dkk., 2015:5; Warami 2016).

  • BACA-TULIS (MEMBACA-MENULIS) KELAS AWAL

Menurut Warami (2016) bahwa membaca-menulis permulaan merupakan program pembelajaran yang diorientasikan kepada kemampuan membaca dan menulis permulaan di kelas-kelas awal pada saat anak-anak mulai memasuki bangku sekolah. Pada tahap awal anak memasuki bangku di kelas 1 sekolah dasar, Membaca dan menulis permulaan merupakan menu utama. Kemampuan membaca permulaan lebih diorientasikan pada kemampuan membaca tingkat dasar, yakni kemampuan melek huruf. Tujuannya agar anak-anak dapat mengubah dan melafalkan lambang-lambang tertulis menjadi bunyi-bunyi bermakna. Pada tahap ini sangat dimungkinkan anak-anak dapat melafalkan lambing-lambang huruf yang dibacanya tanpa diikuti oleh pemahaman terhadap lambang bunyi-bunyi tersebut. Kemudian kemampuan menulis permulaan tidak jauh berbeda dengan kemampuan membaca permulaan. Pada tingkat dasar/permulaan, pembelajaran menulis lebih diorientasikan pada kemampuan yang bersifat mekanik. Anak-anak dilatih untuk dapat menuliskan (mirip dengan kemampuan melukis atau menggambar) lambang-lambang tulis yang jika dirangkaikan dalam sebuah struktur, lambang-lambang itu menjadi bermakna. Selanjutnya dengan kemampuan dasar ini, secara perlahan-lahan anak-anak digiring pada kemampuan menuangkan gagasan, pikiran, perasaan, ke dalam bentuk bahasa tulis melalui lambang-lambang tulis yang sudah dikuasainya.

  • PENUTUP

Kemampuan untuk mengidentifikasi, menentukan, menemukan, mengevaluasi, menciptakan secara efektif dan terorganisasi, menggunakan dan mengomuniksikan informasi untuk mengatasi berbagai persoalan merupakan prinsip dasar dari gerakan literasi. Kemampuan-kemampuan itu perlu dimiliki tiap individu (siswa) sebagai syarat untuk berpartisipasi dalam masyarakat dan itu menjadi bagian dari hak dasar manusia menyangkut pembelajaran sepanjang hayat.

DAFTAR RUJUKAN

Kemendikbud. 2016a. Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah. Jakarta: Dirjen Dikdasmen Kemendikbud.

Kemendikbud. 2016b. Model Penguatan Literasi dalam Pembelajaran. Jakarta: Dirjen Dikdasmen Kemendikbud.

Suciati, Ati, dkk. 2015a. Mengembangkan Literasi Dasar Pelatihan: Panduan Peserta. Jayapura: UNICEF-DFAT-DIKNAS-Yayasan Credo.

_______________. 2015b. Paket Pemahaman. Jayapura: UNICEF-DFAT-DIKNAS-Yayasan Credo.

_______________. 2015c. Kebun Huruf. Jayapura: UNICEF-DFAT-DIKNAS-Yayasan Credo.

Supiandi. 2016. "Mengembangkan Budaya Literasi di Sekolah dengan Program Kata" dalam Makalah Simposium Guru Tahun 2016 oleh Kemendikbud. Toboali: Majelis Dikmen Kab. Bangka Selatan.

Warami, Habel. 2016. "Penguatan Pengajaran Baca Tulis Kelas Awal di SD Negeri Warawaf Distrik Warsa Kabupaten Biak Numfor Provinsi Papua" dalam Jurnal TRITON PENDIDIKAN: Media Kajian Pendidikan dan Pengajaran Bahasa. Volume 01, Nomor 02, Oktober 2016. Manokwari: Jurusan Pendidikan Bhs.Indonesia FKIP UNIPA dan APBL Papua Barat.

[1] Disampaikan pada kegiatan pembekalan mahasiswa KKN-PPL FKIP UNIPA pada 26 Januari 2018

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun