Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Nomor 20 Tahun 2003 bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bertujuan untuk mengembangkan potensi (literasi) peserta didik (siswa) agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pendidikan sebagai salah satu hal yang terpenting dalam kehidupan manusia, karena melalui pendidikan dapat menciptakan manusia yang berpotensi, kreatif, dan memiliki ide cemerlang sebagai bekal untuk memperoleh masa depan yang lebih baik (Warami, 2016).
- FAKTA DAN PROBLEMATIKA
Menurut UNESCO (2012) dalam Warami (2016) bahwa minat baca masyarakat Indonesia baru mencapai 0,001, di mana dari 1000 penduduk Indonesia, hanya satu orang yang memiliki minat baca (kemendikbud.go.id), serta PERMENDIKBUD Nomor 23 Tahun 20015 yang mengungkap tentang penumbuhan budi pekerti yang mencakup gerakan literasi sekolah (GLS) dengan mewajibkan siswa membaca buku nonpelajaran selama 10-15 menit sebelum pelajaran di mulai. Selain itu, menurut Supiadi (2016:2) gerakan literasi sekolah bertujuan menciptakan lingkungan sekolah yang menjadi lingkungan pembelajar sepanjang hayat dengan membudayakan akivitas membaca dan menulis.Untuk mendukung prinsip dasar dari gerakan literasi di atas, diperlukan adanya sistem pendidikan nasional yang baik.
Menurut Supiadi (2016:3-4) menyebutkan bahwa sekolah sebagai tempat menimba ilmu belum sepenuhnya menumbuhkan budaya membaca dan menulis (literasi) sebagai bagian dari pengembangan diri peserta didik (siswa). Hal tersebut terlihat ketika bel 'loceng' berbunyi, peserta didik sebagian besar akan memilih kantin sekolah sebagai tempat untuk menghaiskan waktu istirahat dari pada diperpustakaan. Pilihan peserta didik (siswa) Â dalam menghabiskan waktu istirahat di kantin daripada perpustakaan menunjukan, bahwa kegiatan membaca belum menjadi suatu hal yang menarik bagi peserta didik. Lebih lanjut, sekolah sebagai bagian utama dalam penumbuhan budaya membaca, tidak semua mampu menyediakan sarana dan prasarana untuk menciptakan lingkungan ramah baca bagi peserta didik (siswa). Selain itu, sangat sedikit sekolah yang mengapresiasi kegiatan membaca sebagai bagian dari prestasi peserta didik. Tidak hanya dalam hal membaca, dalam hal menulis, sekolah juga belum dapat memfasilitasi ruang kreasi peserta didik untuk menungkan ide dalam bentuk tulisan di lingkungan sekolah. Mading sekolah yang sepi dari goresan tinta kreatif peserta didik dalam mengembangkan kreasi tulis-menulis, menjadi saksi bisu lemahnya budaya menulis di sekolah.
Kondisi lain yang turut mempengaruhi lambannya budaya membaca dan menulis adalah faktor guru. Menurut Supiadi (2016:4-5) bahwa guru biasanya hanya terfokus pada buku guru sebagai pegangan dalam mengajar dan menerangkan materi dengan menuliskannya di papan tulis atau menerangkannya secara lisan. Hal tersebut terjadi karena guru beranggapan bahwa buku pegangan yang digunakan dalam pembelajaran adalah satu-satunya sumber belajar. Guru sebagai figur yang patut dicontoh dan ditiru juga belum memberi banyak contoh dalam kegiatan membaca dan menulis (literasi). Guru lebih banyak menghabiskan waktu di ruang kelas atau ruang guru daripada membaca di perpustakaan sekolah. Guru juga sangat sedikit memproduksi karya tulis seperti, PTK (Penelitian Tindakan Kelas), opini, artikel, jurnal, buku pengayaan, dan atau buku umum. Hal tersebut menunjukan, bahwa di dalam diri seorang guru, budaya membaca dan menulis (literasi) belum menjadi bagian dari aktivitas untuk merawat nalar.
- DESKRIPSI GERAKAN LITERASI
III.1 Literasi
Literasi yang dalam bahasa Inggrisnya literacy berasal dari bahasa Latin littera (huruf) yang pengertiannya melibatkan penguasaan sistem-sistem tulisan dan konvensi-konvensi yang  menyertainya. Namun demikian, literasi utamanya berhubungan dengan bahasa dan bagaimana bahasa itu digunakan. Adapun sistem bahasa tulis itu sifatnya sekunder. Manakala berbicara mengenai bahasa, tentunya tidak lepas dari pembicaraan mengenai budaya karena bahasa itu sendiri merupakan bagian dari budaya. Literasi adalah kemampuan berkomunikasi (menyampaikan dan menerima informasi) melalui bahasa. Bahasa dalah media komunikasi yang diciptakan manusia; bahasa memiliki makna, aturan dan struktur (bdk.Suciati, dkk., 2015:4; Warami, 2016).
III.2 Prinsip Pendidikan Literasi
Menurut Kern (2000) dalam Warami (2016) terdapat tujuh prinsip pendidikan literasi, yaitu: (1) Literasi melibatkan interpretasi. Penulis/pembicara dan pembaca/pendengar berpartisipasi dalam tindak interpretasi, yakni: penulis/pembicara menginterpretasikan dunia (peristiwa, pengalaman, gagasan, perasaan, dan lain-lain), dan pembaca/pendengar kemudian mengiterpretasikan interpretasi penulis/ pembicara dalam bentuk konsepsinya sendiri tentang dunia; (2) Literasi melibatkan kolaborasi. Terdapat kerjasama antara dua pihak yakni penulis/ pembicara dan membaca/ pendengar. Kerjasama yang dimaksud itu dalam upaya mencapai suatu pemahaman bersama. Penulis/pembicara memutuskan apa yang harus ditulis/dikatakan atau yang tidak perlu ditulis/ dikatakan berdasarkan pemahaman mereka terhadap pembaca/pendengarnya. Sementara pembaca/pendengar mencurahkan motivasi, pengetahuan, dan pengalaman mereka agar dapat membuat teks penulis bermakna; (3) Literasi melibatkan konvensi Orang-orang membaca dan menulis atau menyimak dan berbicara itu ditentukan oleh konvensi/kesepakatan kultural (tidak universal) yang berkembang melalui penggunaan dan dimodifikasi untuk tujuan-tujuan individual. Konvensi disini mencakup aturan-aturan bahasa baik lisan maupun tertulis; (4) Literasi melibatkan pengetahuan kultural. Membaca dan menulis atau menyimak dan berbicara berfungsi dalam sistem-sistem sikap, keyakinan, kebiasaan, cita-cita, dan nilai tertentu, sehingga orang-orang yang berada di luar suatu sistem budaya itu rentan/beresiko salah dipahami oleh orang-orang yang berada dalam sistem budaya tersebut; (5) Literasi melibatkan pemecahan masalah. Karena kata-kata selalu melekat pada konteks linguistik dan situasi yang melingkupinya, maka tindak menyimak, berbicara, membaca, dan menulis itu melibatkan upaya membayangkan hubungan-hubungan di antara kata-kata, frase-frase, kalimat-kalimat, unit-unit makna, teks-teks, dan dunia-dunia. Upaya membayangkan/memikirkan/mempertimbangkan ini merupakan suatu bentuk pemecahan masalah; (6) Literasi melibatkan refleksi dan refleksi diri. Pembaca/pendengar dan penulis/ pembicara memikirkan bahasa dan hubungan-hubungannya dengan dunia dan diri mereka sendiri. Setelah mereka berada dalam situasi komunikasi mereka memikirkan apa yang telah mereka katakan, bagaimana mengatakannya, dan mengapa mengatakan hal tersebut; dan (7) Literasi melibatkan penggunaan bahasa. Literasi tidaklah sebatas pada sistem-sistem bahasa (lisan/tertulis) melainkan mensyaratkan pengetahuan tentang bagaimana bahasa itu digunakan baik dalam konteks lisan maupun tertulis untuk menciptakan sebuah wacana/ diskursus.
- Â
III.3 Literasi Dasar
Kemampuan literasi dasar adalah titik awal dari proses melek huruf dan mencakup empat aspek, yaitu mendengar, mengucap, membaca, dan menulis. Keempat aspek tersebut dijabarkan menjadi (1) mendengar. Teknis: mencakup pengetahuan kesadaran bunyi, yaitu pengetahuan mengenai bunyi bahasa (struktur bahasa berdasarkan bunyi seperti bunyi huruf, bunyi suatu kalimat sesuai dengan tanda bacanya, bunyi kata, dan seterusnya; Pemahaman: mencakup kemampuan untuk mengerti apa yang didengar; (2) mengucap. Teknis: mencakup kemampuan untuk berbicara dengan baik pelafalan, ekspresi, intonasi, dan volume suara; Pemahaman: mencakup kemampuan untuk mengkomunikasikan pemikiran dengan baik dalam bentuk ucapan, misalnya mampu memilih kata yang tepat, menyusun kalimat dengan baik dan runut dalam berbicara; (3) membaca. Teknis: mencakup pengetahuan kesadaran cetak seperti mengetahui arah dan membaca teks yang tercetak, jenis huruf besar atau kecil dan penempatannya, struktur bahasa yang tercetak yaitu, kalimat, kata, suku kata, tanda baca, dan lain-lain, dan kemampuan merangkai huruf yang tercetak (membaca rangkaian huruf menjadi kata) dengan baik; Pemahaman: mencakup kemampuan untuk mengerti apa yang dibaca; dan (4) menulis. Teknis: mencakup kemampuan untuk menuliskan secara benar unsur-unsur dan struktur bahasa; Pemahaman: mencakup kemampuan untuk memahami bahwa suatu pemikiran simbol yang memiliki peraturan. Salah satu tanda awal yang menunjukkan bahwa anak usia dini memahami hal ini, adalah mereka dapat mengekspresikan pemikiran mereka melalui 'peniruan tulisan' yang biasa jadi mengikuti ataupun tidak mengikuti aturan-aturan dasar dalam sistem bahasa (Suciati, dkk., 2015:1; ; Warami 2016).).
III.4 Komponen Literasi