Teruntuk Bunda Tersayang.
Bunda, Abang tahu hanya bunda yang benar-benar tulus menyayangi dan mengasihi abang. Didunia ini hanya bunda yang tulus, ketulusan bunda tidak dapat abang temui dari ayah sekalipun, apalagi mereka teman-temanku yang selalu datang menjenguk Abang. Abang sudah tahu bahwa mereka datang menjenguk karena dibayar oleh ayah. Abang juga sudah tahu bahwa ayah meminta Abang untuk tinggal di vila ini dengan segala fasilitas yang memanjakan hanya agar Abang terhindar dari peradilan yang sesungguhnya. Peradilan yang bisa membuat dia malu karena anaknya masuk penjara. Tapi untuk bunda ketahui, di sini anakmu ini sungguh merasa sangat terpenjara. Tersiksa oleh rasa kesepian dan rasa bersalah yang sangat tinggi.
Bunda, 30 hari sudah abang di sini terpenjara dalam pelarian di sebuah vila yang sangat mewah. Selama 30 hari Abang hanya bisa merenung. Dalam renungan dan lamunan Abang selalu terbayang wajah mereka berdua yang sudah Abang habisi nyawanya hanya karena rasa cemburu.
Semua bermula gara-gara Ayah yang memaksa ku untuk sekolah keluar kota, sehingga Abang harus menjalin hubungan jauh dengan Mirna. Abang mendengar kabar dari seorang kawan bahwa sejak Abang tinggal di luar kota, Mirna sering bertemu secara diam-diam dengan seorang pria. Abang sangat tersiksa dengan jarak yang jauh dan berita tentang Mirna dan laki-laki simpanannya.
Hingga saat libur tiba sebulan yang lalu, Abang meminta Bunda dan Ayah untuk melamar Mirna. Ayah dan Bunda pun menyetujuinya. Segera Abang menyampaikan berita gembira ini kepada Mirna dan Mirna pun dengan tanpa dosa menjawab, "Saya akan menceritakan dan meminta persetujuannya dulu". Abang sedikit terbakar, Gila.... bahkan untuk meminang Mirna laki-laki itu dilibatkan untuk dimintai persetujuan.
Abang berusaha untuk tetap tenang, sampai di sore hari Abang mendapat kabar bahwa Mirna menyelinap keluar rumah dan menumpang angkutan umum untuk menuju ke arah luar kota. Segera abang menyusul dan mengikuti arah Mirna. Dan Abang bisa jumpai Mirna turun dari sebuah angkutan kota sedikit setelah melewati batas kota. Lokasi yang tepat seperti apa yang selama ini kawan Abang ceritakan. Bahwa Mirna sering berjumpa dengan seorang laki-laki di sebuah rumah tua di pinggir kota.
Saat itu Abang tidak menghampirinya, Abang mengikutinya diam-diam dan memastikan apakah benar Mirna masuk ke rumah itu. Dan ternyata benar, tanpa mengetuk pintu Mirna sambil menengok kanan dan kiri seakan memastikan tidak ada yang melihatnya, lalu Mirna masuk ke rumah tersebut. Dalam pikiran Abang, pasti dia sangat akrab dengan pemilik rumah. Semakin kencang degup jantung Abang, darah semakin tinggi naik dikepala. Tapi abang tetap bertahan untuk tetap sabar.
Setelah dipastikan dia masuk ke dalam rumah tua tersebut, segera Abang memarkirkan motor agak jauh dari rumah tua itu dan juga agak tersembunyi. Abang berjalan kaki menyelinap menghampiri rumah tersebut. Dari celah jendela Abang melihat dia berbincang dengan seorang laki-laki, entah apa yang mereka bicarakan. Tetapi yang membuat Abang semakin emosi adalah bayangan laki-laki yang abang lihat sangat akrab dengan keseharian Abang. Dia seperti salah satu kawan Abang yang baru gabung di tempat biasa Abang nongkrong beberapa bulan sebelum Abang keluar kota. Dia seorang preman yang sering membantu Abang dan kawan-kawan saat terjadi keributan di jalanan. Emosi Abang tak tertahan lagi mengingat semua kebaikan Abang yang memanjakan dia, sampai tega dia mengambil hati Mirna, dan bagaimana bisa Mirna terpikat oleh seorang preman yang bahkan untuk makan pun mengandalkan kebaikan kami.
Sesaat setelah mereka berbincang mereka berdiri dan saling menghampiri. Bunda, anakmu ini tak kuasa lagi menahan emosi melihat kejadian berikutnya. Mirna berdiri dari tempat duduknya, lalu laki-laki itu mendekati Mirna, lalu mengecup kening Mirna. Belum sampai darah Abang ke atas kepala selanjutnya abang harus menyaksikan hal lebih menyesakkan. Setelah laki-laki itu mengecup kening Mirna dengan mesra, Mirna menyandarkan kepala di dada laki-laki itu lalu mereka berpelukan dengan mesra.
Melihat kejadian itu Abang sudah kehilangan akal sehat lalu dengan emosi yang sangat tinggi Abang mendobrak pintu dan masuk ke dalam rumah tersebut. Dengan berteriak Abang memaki Mirna dan lelaki tadi. " Dasar bajingan tak tau diuntung, preman jalanan tak tahu budi. Ternyata benar berita yang selama ini aku dengar, tapi sungguh aku tidak menyangka kalau laki-laki yang diceritakan kawan-kawan adalah kamu. Dasar bajingan".
Mereka pun kaget tetapi tidak melepas pelukan mereka. Mereka saling memandang lalu melihat Abang sambil tersenyum geli. Senyuman yang dapat membuat Abang muntah. Sambil melepas pelukannya, Mirna berusaha menceritakan sesuatu "Marwan, ketahuilah ini adalah kakakku yang pernah .....".