Golput (golongan putih) merupakan salah satu bentuk perlawanan Diam terhadap praktik politik dari orang-orang yang kecewa terhadap penyelenggaraan negara dengan cara tidak memilih partai atau legislator (dalam pemilu legislatif), atau Presiden (dalam pemilu Presiden) bahkan kepala daerah (dalam pilkada).Â
Istilah golput (golongan putih) sudah lama menghiasi kancah politik-demokrasi di negeri ini.
Secara historis, istilah "putih" dipakai untuk memposisikan diri sebagai sesuatu yang netral dan tidak partisan dalam politik partai yang penuh warna.
Bahkan, sampai saat ini warna masih sangat melekat dalam entitas sebuah partai. Sehingga warna putih dipilih sebagai sebuah representasi politik yang tidak berwarna.
Membangun Partisipasi Politik
Demokrasi politik yang hari ini berlaku sangat meniscayakan adanya partisipasi pemilih.
Partisipasi ini kemudian terkonversi menjadi suara politik yang mampu memberi legitimasi terhadap calon yang dipilihnya. Sehingga kualitas demokrasi dalam hal ini berbanding lurus dengan kuantitas partisipasi.
Golput dalam hal ini adalah angka deviasi yang secara tidak langsung menggerogoti kualitas demokrasi partisipatif tersebut.
Sehingga, secara tersirat bangsa ini harus mampu berjuang melawan tingginya ancaman golput.
Sebenarnya ada beberapa kemungkinan tentang kecenderungan tingginya angka golput ini.
Pertama, ada semacam apatisme politik yang menjangkiti para pemilih. Apatisme ini boleh jadi disebabkan oleh ketidakmampuan parpol dalam menghasilkan pemimpin yang berkualitas.
Banyaknya kader parpol yang terlibat korupsi adalah kristalisasi dari bobroknya kualitas demokrasi-politik.