Indonesia akan punya PLTSa Thermal di 7 kota yaitu: Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, dan Kota Makassar. Sayangnya, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah ini dinilai tidak sesuai dengan prinsip pengelolaan sampah berkelanjutan, yang mengedepankan pertimbangan kesehatan manusia dan lingkungan serta kehati-hatian dini dalam penentuan teknologi.
Ide untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah ini datang dari Pemerintah Kota Bandung yang dihadapkan pada permasalahan berupa tidak tersedianya lagi ruang di kota Bandung untuk membuang sampah sebagai tempat pembuangan akhir (TPA). Untuk itu, salah satu solusi yang dapat diambil adalah dengan memangkas volume sampah yang dihasilkan oleh penduduk Bandung setiap harinya, yang jumlahnya mencapai 2785 m3 per hari. Pemangkasan itu dapat dilakukan dengan cara mengubah sampah tersebut menjadi abu dengan membakarnya.
Ada dua alternatif proses pengolahan sampah menjadi energi. Pertama, melalui proses biologis yang menghasilkan biogas. Kedua, melalui proses thermal yang menghasilkan panas. Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang akan dibangun di 7 kota tersebut, menggunakan proses thermal (pembakaran) sebagai proses konversinya. Inilah yang ditentang oleh para pegiat lingkungan.
Pada dasarnya konsep PLTSa Bandung sendiri setali tiga uang dengan konsep 'waste-to-energy' (WTE) di kota-kota di negara maju dunia. Dalam konsep WTE, energi bukanlah 'outcome' utama yang diharapkan, melainkan pereduksian volume sampah itu sendiri. Hal ini dikemukakan Tim FS (feasibility study) dalam definisinya mengenai PLTSa. Jadi, untuk mereduksi sampah, PLTSa akan menggunakan pemusnah sampah (incinerator) modern yang dilengkapi dengan peralatan kendali pembakaran dan sistem monitor emisi gas buang yang terus-menerus, yang nantinya akan menghasilkan energi listrik. Jadi, PLTSa adalah insinerator pemusnah sampah yang hasil pembakarannya dikonversi menjadi tenaga uap untuk menggerakkan generator pembangkit listrik.
Berdasarkan hasil studi kelayakan di Kota Bandung tersebut, dari sekitar 2785 m3 sampah yang dihasilkan penduduk Bandung setiap harinya, sekitar 25,22% adalah sampah yang masih bisa didaur ulang, sedangkan 74,78% sisanya adalah sampah yang dapat digunakan sebagai sumber energi, karena sebagian besar komposisi sampah di Bandung adalah sampah organik (42% berat, atau 58% volume). Juga diperlihatkan bahwa sebagian besar sampah di kota Bandung, kandungan utamanya adalah 'volatile matter', yang akan menguap ketika volume sampah direduksi dengan cara dibakar. Inilah alasan yang mendasari dibangunnya PLTSa.
Lalu dimana letak kontroversinya?
Teknologi thermal yang digunakan oleh PLTSa tersebut meliputi gasifikasi, insinerator, dan pirolisis yang sebetulnya merupakan teknologi kotor (dirty technology) dan tidak sesuai dengan pendekatan zero waste yang sebenarnya. Teknologi thermal beresiko membahayakan kesehatan masyarakat dan lingkungan. Prinsip kehati-hatian dini seharusnya diterapkan sebelum memutuskan pilihan teknologi baru. Meningkatkan kesehatan masyarakat menjadi mandat UU Pengelolaan Sampah No.18 tahun 2008 dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No.32 tahun 2009. Kajian lingkungan secara menyeluruh wajib dilakukan untuk proyek yang berisiko menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat. Adopsi teknologi kotor ini memang masih diterapkan di berbagai negara, namun sudah mulai ditinggalkan.
Pembangunan PLTSa ini dianggap tak sejalan dengan hasil Konvensi Stockholm, Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim (Perjanjian Paris COPÂ21), dan Konvensi HakÂ-Hak Anak. Selain sejumlah konvensi tersebut, pembangunan PLTSa juga berpotensi menabrak UU Pengelolaan Sampah, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Kesehatan, UU Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, UU Sumber Daya Air, UU Pangan, UU Perlindungan Konsumen, UU Perlindungan Anak, UU Persaingan Usaha, Peraturan Pemerintah tentang Pengadaan Barang dan Jasa, beserta seluruh peraturan turunannya.
Pengolahan sampah dengan teknologi thermal, terlebih dengan insinerator, gasifikasi, dan pirolisis akan meningkatkan lepasan dan sebaran senyawa dan bahan berbahaya beracun yang terkandung di dalam sampah, seperti klorin dan berbagai logam berat. Dengan penggunaan teknologi ini, lepasan dan sebaran B3/toksik ke udara, air, dan tanah akan meningkat pesat.
Diantara emisi WTE, terdapat kandungan dioksin dan furan, yang bersifat carcinogenic (pemicu kanker) dan sudah disepakati dalam kesepakatan global untuk dicegah dan dikurangi lepasannya. Sebagai negara yang menyetujui Konvensi Stockholm tentang Pencemar Organik yang bersifat persisten, sebagaimana diratifikasi dengan UU No. 19 Tahun 2009, Indonesia memiliki kewajiban untuk mengurangi dan/atau menghentikan lepasan dioksin dan furan dari produksi yang tidak disengaja. Dioksin biasanya terbentuk dari pembakaran yang tidak sempurna. Efek dioksin bagi manusia bisa fatal.Â
Saat ini pengukuran dan monitoring dioksin sangat mahal dan susah dilakukan. Para pakar lingkungan dan publik meragukan tingkat keamanan (safety) dari PLTSa ini. Baku mutu emisi dari fasilitas insinerator baru dikeluarkan oleh Kementerian KLHK pada bulan Juli 2016 dan menyatakan bahwa pemeriksaan dioksin hanya cukup dilakukan setiap 5 tahun sekali. Meskipun baku mutu yang ditetapkan cukup ketat, tetapi arahan untuk pemeriksaan emisi dioksin hanya setiap 5 tahun sekali membuat Indonesia kelihatan tidak serius melindungi kesehatan masyarakat dan lingkungan. Oleh sebab itu, pembangunan PLTSa berpotensi mendapatkan gugatan dari warga karena terlanggarnya hak mereka atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 28 UUD 1945).
Membakar sampah organik sama dengan membakar air. Instalasi pembakaran sampah hanya akan menjadi pembangkit listrik tenaga batubara yang kotor dengan tambahan sampah kota di dalamnya. UU Pengelolaan Sampah No.18 tahun 2008 Pasal 29 ayat 1 (g) menyatakan bahwa dilarang untuk membakar sampah yang tidak layak teknis. Karakteristik sampah Indonesia didominasi oleh sampah organik (67%) dengan kelembaban tinggi, bernilai kalor rendah, dan tidak layak bakar. Membakar sampah yang basah akan membutuhkan BBM atau batubara dalam jumlah yang besar. Saat batubara atau BBM ditambahkan ke dalam tungku pembakar sampah, emisi dan lepasan dari instalasi insinerator berpotensi mengandung racun dan zatÂ-zat pencemar yang bersifat persisten.
Perlu dipikirkan tentang dampak negatif pengelolaan sampah ini pada generasi masa datang dan generasi sekarang. Peningkatan emisi CO2, lepasan senyawa berbahaya, ancaman krisis sumberdaya alam, dan krisis energi. Perlu juga ada perhatian tentang peningkatan kualitas hidup yang sesuai dengan asas keberlanjutan sebagaimana tertuang pada UU No.18 tahun 2008. Pada UU tersebut dikatakan bahwa pengelolaan sampah dilakukan dengan menggunakan metode dan teknik yang ramah lingkungan sehingga tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan, baik pada generasi masa kini maupun pada generasi yang akan datang. Pengelolaan sampah menggunakan teknologi thermal akan meningkatkan emisi karbon, konsumsi bahan mentah, serta pemborosan energi yang tidak sesuai dengan amanat UU No.18 tahun 2008.
Konversi sampah sebagai sumber daya energi ada pada tingkat terakhir dalam hirarki pengelolaan sampah. Pengelolaan sampah yang didorong di seluruh dunia saat ini, adalah adalah pengurangan (waste prevention), desain ramah lingkungan (green design), dan daur ulang atau konversi materi dalam kerangka pendekatan zero waste yang mengintegrasikan konsep keberlanjutan produksi dan konsumsi (sustainability). Pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang jelas terkait dengan pengelolaan sampah nasional, termasuk prioritas daur ulang sampah menjadi sumberdaya material lainnya, sebelum membuat kebijakan konversi energi di tempat pembuangan akhir.
Pemerintah daerah perlu didorong untuk membuat kebijakan pengurangan timbunan sampah, meningkatkan daur ulang, pengomposan, meningkatkan efektifitas maupun efisiensi pengangkutan sampah, dan memperbaiki pengolahan sampah di TPA. Idealnya harus ada pemilahan sampah, pengolahan sampah organik, dan proses daur ulang sedekat mungkin dengan kawasan sampah. Persentase sampah yang diangkut dan dikelola di TPA, juga harus ditargetkan menurun. Upaya-Âupaya di atas sejalan dengan pendekatan zero waste yang dianut di seluruh dunia dan lebih ramah iklim, karena menghasilkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) lebih rendah dari praktik yang ada selama ini.
Hasil studi kelayakan di Kota Bandung yang mengatakan bahwa komponen utama sampah di Kota Bandung adalah sampah organik, bukanlah alasan yang tepat untuk pembangunan PLTSa. Sampah organik ini, sebaiknya justru dijadikan sebagai kompos melalui proses composting. Proses composting dapat dilakukan secara sederhana. Saat inipun, pengomposan telah dilakukan warga Bandung, diantaranya di RW 13 Sadang Serang yang telah memberdayakan sekitar 100 kepala keluarga untuk melakukan proses pengomposan sampah organik. Kompos yang dihasilkan dapat digunakan untuk meningkatkan kesuburan tanah di pekarangan rumah, untuk tanaman di taman kota, dan perkebunan kayu keras seperti yang dikelola Perhutani. Kompos ini bahkan dapat digunakan untuk lahan pertanian tanaman pangan atau sayuran.
Pengelolaan sampah semestinya dilakukan secara terpadu dengan melibatkan prinsip 3 R yaitu: reduce, reuse, dan recycle. Prinsip ini telah disepakati dan dilakukan di seluruh dunia. Pertama, reduce dilakukan dengan mengurangi sampah kota. Salah satu cara untuk menguranginya adalah memastikan bahwa sayuran yang dibawa oleh padagang dari luar kota merupakan sayuran yang sudah bersih. Ini dapat dimungkinkan dengan pemberlakuan peraturan daerah, atau minimal dengan peraturan walikota. Dengan cara ini, sampah pasar dapat dikurangi dengan drastis volumenya, sehingga beban masyarakat dan Pemkot berkurang. Kedua, reuse dapat dilakukan dengan pemisahan/pemilihan antara sampah yang bisa digunakan kembali dengan yang tidak. Limbah plastik, lempengan besi, bekas ban, atau karton diusahakan untuk dapat digunakan kembali. Ketiga, recycle dapat dilakukan dengan mendaur ulang limbah sampah. Hal ini tentunya membutuhkan kebijakan yang kreatif dari Pemda, misalnya dengan menggalang partisipasi dan komunitas masyarakat sebagaimana yang telah dilakukan di kota-kota besar dunia seperti di Seattle, San Francisco, dan Oakland.
Untuk mendirikan sebuah PLTSa, sebuah kota harus memiliki track record yang baik selama beberapa tahun dalam mengelola sampah kota. Sayangnya kota yang menjadi tempat pembangunan PLTSa, seperti Bandung, tidak memiliki track record yang baik dalam pengelolaan sampah. Sampah kota hanya diangkut ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) yang merupakan tempat penumpukan sampah dan bukan merupakan sanitary landfill.
Ditinjau dari segi ekonomi, investasi negara untuk membangun pembangkit listrik tenaga sampah paling tinggi dibandingkan dengan investasi pembangkitan energi dari sumber daya lainnya. Harga listrik yang berasal dari pembangkit energi dari sampah yang diproses dengan teknologi kotor ini, bahkan mengalahkan sumber energi lain yang lebih ramah lingkungan. Seharusnya, Pemerintah mempertimbangkan pendayagunaan sumber energi terbarukan yang lebih ekonomis, seperti angin dan matahari.
Pendanaan APBN untuk pembangunan PLTSa menunjukkan bahwa kebijakan ini bertentangan dengan asas keadilan karena bias keberpihakan pada pengusaha besar. Padahal, di daerah-daerah juga sudah ada pelaku usaha yang mengelola sampah dalam skala kecil. Asas keadilan mengharuskan pemerintah memberikan dukungan yang adil kepada semua pelaku usaha maupun masyarakat. Tidak ada dasar yang kuat bahwa pelaku usaha teknologi thermal akan berkontribusi lebih baik dalam pengelolaan sampah dibandingkan dengan pelaku usaha jenis teknologi pengelolaan sampah skala kecil maupun berbagai inisiatif masyarakat.Â
Tadinya Presiden sempat mengeluarkan Perpres No.18/2016 tentang Percepatan Pembangunan PLTSa di 7 kota. Namun, Perpres ini telah digugat oleh 15 individu serta 6 LSM ke Mahkamah Agung dan pada tanggal 2 November 2016, Perpres ini telah dibatalkan. Gugatan ini dikabulkan MA karena dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Pembatalan Perpres No.18/2016 seharusnya memberi pelajaran pada pembuat kebijakan agar mempersiapkan perangkat pengendalian potensi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan dari pengelolaan sampah di Indonesia agar berwawasan lingkungan, mendorong pemilahan sampah di sumber, minimisasi sampah, daur ulang dan circular economy serta mengadopsi pendekatan zero waste. Harapannya, pemerintah segera menyusun Strategi Nasional Pengelolaan Sampah yang terintegrasi dan menyeluruh.
Namun, bukannya menyusun strategi pengelolaan sampah yang terintegrasi dan ramah lingkungan, pembangunan PLTSa Thermal ini tetap saja dilanjutkan. Apakah pembangunan PLTSa Thermal di 7 kota akan sama ironisnya seperti pembangunan Pabrik Semen Rembang? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H