Mohon tunggu...
Manik Sukoco
Manik Sukoco Mohon Tunggu... Akademisi -

Proud to be Indonesian.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Membaca Kunjungan DPR ke Jerman dan Meksiko

18 Maret 2017   11:56 Diperbarui: 21 Maret 2017   23:32 900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kunjungan kerja DPR (Sumber: Media Indonesia).

Menurut Titi, e-voting pada akhirnya hanya diperuntukkan bagi disabilitas dan pemilih di luar negeri, tidak untuk Pemilu federalnya secara umum. Pembelajaran yang diambil dari luar negeri tersebut semestinya menjadi peringatan bagi pemerintah dan DPR dalam memutuskan penerapan e-voting untuk Pemilu di Indonesia.

Partono Samino, Tenaga Ahli Tim Kajian Teknologi Kepemiluan KPU RI, mengatakan bahwa sebelum memutuskan pemanfaatan teknologi pemilu (e-voting), perlu dipertimbangkan sedikitnya empat hal, yaitu: 1) kondisi sosial-politik, 2) kepercayaan publik, 3) kondisi ekonomi, dan 4) kesiapan teknis.

Ditinjau dari aspek sosial-politik, pemilu elektronik atau e-voting diprediksi akan mengurangi perayaan demokrasi. Padahal di sisi lain, Pemilu manual di Indonesia telah dinilai oleh dunia internasional sebagai Pemilu paling transparan di dunia.

Ditinjau dari aspek ekonomi, negara mesti melakukan kajian strategis terhadap anggaran yang dibutuhkan untuk melaksanakan e-voting. Di Brazil, meskipun e-voting dinilai berhasil, namun biaya pengadaan dan perawatan untuk mesin e-voting yang sangat besar mendapat kritikan keras dari masyarakat.

Ditinjau dari aspek kepercayaan publik, menurut Partono, masyarakat Indonesia belum mempercayai pemilu dengan pemanfaatan teknologi informasi. Masyarakat banyak yang belum memahami bagaimana cara teknologi bekerja sehingga mudah diprovokasi. Penggunaan e-voting dikhawatirkan akan menimbulkan konflik baru.

Sistem hitung KPU dalam momen Pilkada serentak kemarin, sempat mati dua kali di hari pemungutan suara. Ketika menyala dua jam kemudian, perolehan hasil suara berubah. Lalu ramai masyarakat menilai bahwa ada manipulasi suara.

Ditinjau dari aspek teknis, ketersediaan infrastruktur dan kesiapan mesin e-voting mesti dipastikan. Di Indonesia, terdapat 97 kabupaten/kota yang belum mendapatkan akses internet. Bahkan, tak semua daerah memiliki infrastruktur listrik yang baik. Tempat untuk menampung dan merawat mesin e-voting pun mesti dipikirkan.

Perlu ditegaskan kembali ketergesaan dalam mengeluarkan kebijakan publik, tidak boleh terjadi. Termasuk pula ketergesaan dalam menentukan apakah bangsa ini akan menggunakan sistem elektronik (e-voting) dalam Pemilu 2019 nanti. 

Untuk sebuah safety-critical system dengan tingkat resiko yang sangat tinggi seperti e-voting, ketergesaan adalah kehancuran.

Jangan sampai kita termakan jargon-jargon kemudahan, efisiensi waktu, dan kecepatan perhitungan suara tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu, sejauhmana kesiapan negara untuk menerapkan e-voting. 

Walau telah mempelajari sistem e-voting secara kilat selama 6 hari dengan mengunjungi Jerman dan Meksiko, semoga DPR masih mau membuka diri terhadap perlunya pengkajian secara menyeluruh terkait wacana penerapan e-voting di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun