Mohon tunggu...
Manik Sukoco
Manik Sukoco Mohon Tunggu... Akademisi -

Proud to be Indonesian.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengkaji Sistem Pemilu Elektronik

18 Maret 2017   00:00 Diperbarui: 18 Maret 2017   10:00 1990
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan ini kata e-voting mendadak sering diperbincangkan. Hal ini dikarenakan adanya wacana penerapan sistem Pemilu elektronik atau teknologi e-voting dalam Pemilu Presiden yang akan dilaksanakan pada tahun 2019. Alasannya, supaya Pemilu dapat dilaksanakan dengan biaya yang lebih terjangkau, lebih cepat, dan praktis. Namun, sebelum kita memberikan dukungan atau menolak ide tersebut, ada baiknya kita kaji dahulu, bagaimana penerapan e-voting di beberapa negara dan sistem elektronik seperti apakah yang dibutuhkan dalam pelaksanaan Pemilu di Indonesia.

Sistem pemilu elektronik atau dikenal dengan e-voting bukanlah hal yang baru di dunia. Sistem ini telah diterapkan di beberapa negara seperti: Belanda, Brazil, Irlandia, Filipina, dan Amerika. 

Belanda adalah salah satu negara pertama yang mengadopsi e-voting. Hal ini wajar mengingat Belanda terikat dengan Freedom of Information Act (FOIA). Dengan diberlakukannya e-voting di Belanda, data rekaman proses pemilihan umum akan lebih mudah didapatkan.

Untuk menerapkan e-voting, Belanda mengeluarkan perangkat hukum pada tahun 1965 terkait dengan pemanfaatan komputer dalam Pemilu. Adapun pengaplikasiannya baru dimulai pada akhir tahun 1980-an. Sejak tahun 1994, pemerintah Belanda telah aktif mensosialisasikan penggunaan e-voting. Penggunaan teknologi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dalam pelaksanaan Pemilu. Penerapan e-voting  pada saat itu, disandingkan dengan jargon-jargon kemudahan, efisiensi waktu, kecepatan perhitungan suara, dan penghematan anggaran.

Inisiasi pemanfaatan e-voting di Belanda dilakukan tanpa melalui mekanisme kajian publik dan hampir tidak ada bahasan mengenai kelayakan sistem jika ditinjau dari sisi keamanan maupun verifikasi. Diskusi akademis saat itu, lebih banyak berkutat pada aspek kegunaan dan kemudahan pelaksanaan e-voting. Walaupun pemerintah Belanda menerbitkan prasyarat sistem e-voting pada tahun 1994, standar sistemnya masih belum dijelaskan secara mendetail, termasuk juga bagaimana mekanisme kontrolnya. Bahkan pada tahun 1999, pemerintah daerah mengembangkan sendiri perangkat lunak untuk sistem e-voting yang digunakan dalam pemilihan lokal mereka.

Dalam Pemilu 2004, Belanda menerapkan sistem pemilihan melalui internet sehingga pemilih yang tinggal di luar negeri dapat berpartisipasi secara online. Pada tahun 2006, 90 persen suara pemilih dipungut menggunakan sistem elektronik. Menariknya, seluruh sistem pemilu elektronik yang digunakan Belanda, disediakan oleh dua perusahaan pengembang swasta domestik. Pemerintah daerah diharuskan membeli perangkat tersebut seharga € 5000 (berkisar Rp. 60 juta dengan nilai tukar saat itu) per buah, serta masih dibebani biaya tambahan untuk perawatan, penyimpanan, distribusi dan persiapan saat akan digunakan dalam sebuah pemilihan daerah.

Pada tahun 2006, muncul kampanye yang bertajuk wij vertrouwen stemcomputers niet (kami tidak percaya sistem pemilu elektronik). Saat itulah, pemerintah mulai memberikan perhatian terhadap isu-isu yang muncul. Hanya dalam hitungan minggu, terjadi pergeseran paradigma terkait pandangan masyarakat atas e-voting. Kampanye yang berlangsung saat itu, membeberkan begitu banyak celah keamanan dalam sistem e-voting sehingga September 2007, Komisi Penasehat Pemilihan Umum menerbitkan laporan kritis berjudul "Voting with Confidence”, yang mendorong Sekretaris Negara Urusan Dalam Negeri mencabut Regulation for Approval of Voting Machine 1997. Lalu pada tanggal 1 Oktober 2007, Pengadilan Negeri Amsterdam akhirnya mencabut semua sertifikasi sistem e-voting dan kembali ke sistem pemilihan manual pada Mei 2008. Proposal untuk pengembangan sistem e-voting baru, sejak saat itu selalu ditolak.

Filipina merupakan negara ASEAN yang sudah menerapkan e-voting secara nasional sejak Pemilu enam tahun lalu. E-voting diberlakukan karena Filipina punya sejarah buruk dalam kecurangan Pemilu.

Pada Pemilu 1986, Ferdinand Marcos terbukti melakukan kecurangan sehingga mulai tahun 2010, Filipina mengadopsi e-counting untuk tiga kali Pemilu dari tahun 2010, 2013, dan 2016. E-counting memungkinkan perhitungan suara yang lebih cepat daripada cara manual. 

Dari segi partisipasi pemilih, e-voting berperan besar dalam peningkatan partisipasi masyarakat. Sistem Pemilu Elektronik di Filipina berhasil meningkatkan partisipasi pemilih dari 74,99% pada tahun 2010 menjadi 77,57% pada tahun 2013, dan 81,62% pada tahun 2016.

Dari segi kecepatan, peningkatan kecepatan perolehan hasil Pemilu dengan penerapan e-voting sangatlah signifikan. Pada tahun 2010, hasil tidak resmi Pilpres dapat diketahui 2 jam setelah TPS ditutup. Padahal pada sistem Pemilu manual tahun 2004, hasil Pilpres baru diketahui setelah 40 hari. Kecepatan penghitungan suara ini mampu menurunkan angka konflik akibat Pemilu. Pasca Pemilu 2010, polisi Filipina mencatat insiden terkait Pemilu turun hingga 50% dibandingkan Pemilu 2004 dan turun 65% dibandingkan Pemilu 2007.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun