Terhitung sejak tanggal 1 Maret 2017, pelanggan listrik dengan daya 900VA yang termasuk dalam kategori Rumah Tangga Mampu (RTM) kembali terkena dampak pencabutan subsidi listrik. Pencabutan subsidi ini merupakan kali yang kedua sesudah pada Januari 2017, para pelanggan telah mengalami pencabutan subsidi listrik tahap pertama.Â
Jumlah pelanggan listrik yang mengalami pencabutan subsidi yaitu sebesar 18,9 juta rumah tangga. Kenaikan ini direncanakan akan berlangsung sebanyak 4 tahap, masing-masing tahap sebesar 32%.
Jawa Barat adalah propinsi dengan jumlah pelanggan terbesar yang mengalami pencabutan subsidi listrik ini yaitu sebanyak 3,8 juta pelanggan, lalu disusul dengan Jawa Timur sebanyak 3,4 juta pelanggan, dan Jateng/DIY sebanyak 2,8 juta pelanggan. Menurut data yang dirilis oleh Katadata, ada sekitar 400 ribu pelanggan listrik dengan daya 900VA yang dikategorikan miskin masih bisa merasakan subsidi.
Sebetulnya rakyat yang merasa keberatan dengan kenaikan tarif ini, dapat mengajukan keberatan atas pencabutan subsidi listrik melalui kelurahan. PLN telah memfasilitasi layanan pengaduan dan melanjutkannya ke kabupaten atau pusat. Namun sampai saat ini, belum ada kejelasan mengenai kepastian penerimaan pengaduan, demikian juga mengenai lamanya proses yang dibutuhkan dalam mengurus pengaduan.
Kenaikan tarif listrik ini jelas memicu inflasi. Setelah dilakukan pencabutan subsidi tahap pertama, pada bulan Februari Badan Pusat Statistik mencatat kenaikan inflasi sebesar 0,23%. Inflasi ini didominasi oleh kenaikan harga yang ditetapkan oleh pemerintah (administered prices). Kenaikan harga di sektor perumahan, listrik, air, bahan bakar, dan gas memiliki sumbangsih 0,17% terhadap inflasi. Penyumbang terbesar inflasi adalah pencabutan subsidi listrik bagi pengguna daya 900VA yaitu sebesar 0,11%.
Saya memahami jika maksud pemerintah untuk menaikkan harga listrik ini bukanlah tidak baik. Pemerataan pembangunan infrastruktur adalah hal yang juga penting untuk dilakukan. Namun hendaknya, dalam membuat suatu kebijakan, pemerintah tidak hanya melihat suatu permasalahan secara parsial (sebagian) namun juga universal (menyeluruh).
Saya ingin memberikan pembaca sudut pandang yang lain. Laporan Oxfam Indonesia dan International NGO Forum on Indonesia DevelopÂment (lNFID) pada 23/02/2017, menguak kondisi ketimpangan ekonomi Indonesia yang cukup memprihatinkan. Dalam laporan tersebut disampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia memang cukup stabil dan proporsi masyarakat yang hidup dalam kemiskinan ekstrim telah berkurang menjadi sekitar 8 persen. Namun, pertumbuhan ekonomi itu belum diimbangi dengan pembagian pendapatan yang lebih merata.Â
Oxfam mencatat bahwa kekayaan empat orang terkaya di Indonesia setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin. Laporan Oxfam juga menguak fakta yang mencengangkan. 1 persen orang terkaya di Indonesia, menguasai 49 persen total kekayaan seluruh rakyat Indonesia, dan dibutuhkan 22 tahun untuk menghabiskan harta kekayaan 1 orang terkaya Indonesia dengan belanja mencapai 1 Miliar per hari. Agenda pemerataan kesenjangan ekonomi merupakan hal yang mendesak. Pemerintah telah menyatakan komitmennya dalam mengurangi kesenjangan di Indonesia.
Sejak tahun 2016, pemerintah juga menerapkan kebijakan tax amnesty (pengampunan pajak). Pengampunan pajak merupakan penghapusan tarif pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan dengan cara mengungkapkan harta kekayaan yang dimiliki. Dengan adanya kebijakan ini, pengusaha-pengusaha kaya di Indonesia melakukan deklarasi harta kekayaan. Lucunya, tiga dari empat orang terkaya di Indonesia juga meminta pengampunan pajak.
Langkah pemerintah untuk memberikan pengampunan pajak bagi orang terkaya dengan belanja mencapai 1 Miliar per hari, menjadi sangat kontras jika dihubungkan dengan kebijakan pencabutan subsidi listrik bagi 8,24 juta pengguna listrik dengan daya 450VA dan 18,9 juta pengguna listrik dengan daya 900VA. Apalagi jika kita menghubungkannya dengan upaya pemerintah untuk mengurangi ketimpangan ekonomi. Dengan kebijakan-kebijakan ini, orang kaya tetap saja kaya, sedangkan orang miskin bertambah miskin.
Sekarang pertanyaannya, "Apakah menaikkan tarif listrik sebesar 136% bagi pengguna listrik 450VA dan 128% bagi pengguna listrik 900VA adalah langkah TEPAT SASARAN untuk mengurangi kesenjangan ekonomi?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H