Mohon tunggu...
Manik Sukoco
Manik Sukoco Mohon Tunggu... Akademisi -

Proud to be Indonesian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Maraknya Spanduk Tolak Penista Agama

26 Februari 2017   19:16 Diperbarui: 27 Februari 2017   08:00 2759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagaimana yang diberitakan di Kumparan pada 25/2/2017, masyarakat (termasuk saya) dikagetkan dengan munculnya spanduk bertuliskan "Tolak Salatkan Pembela Penista Agama". Tidak tanggung-tanggung, spanduk ini dilaporkan sudah muncul di tiga tempat di Jakarta: Setiabudi, Cakung, dan Kalibata.

Penista_2_xvvbhb.jpg
Penista_2_xvvbhb.jpg
Penista_3_z2mkoi.jpg
Penista_3_z2mkoi.jpg
Sebelum menelisik lebih jauh, mari kita kaji lagi apa itu penistaan agama, bagaimana sih perjalanan masalah penistaan agama, dan kaitannya dengan kebebasan berekspresi di Indonesia.

Apa itu penistaan agama?

Secara umum penistaan (penodaan agama) diartikan sebagai penentangan hal-hal yang dianggap suci atau yang tidak boleh diserang (tabu) yaitu, simbol-simbol agama/pemimpin agama/kitab suci agama. Bentuk penodaan agama pada umumnya adalah perkataan atau tulisan yang menentang ketuhanan terhadap agama-agama yang mapan.

Namun secara hukum, tidak ada definisi atau pengertian yang jelas mengenai penistaan agama. Baik dalam Pasal 1 UU PNPS maupun Pasal 156A KUHP (pasal penodaan agama) juga tidak memberikan definisi ataupun penjelasan yang jelas soal penodaan agama. Tidak adanya definisi atau penjelasan yang jelas menurut Undang-Undang membuat pasal penodaan agama ini multitafsir, dan tidak memberikan kepastian hukum (pasal karet). Tidak jelasnya konsep penodaan agama dalam peraturan perundang-undangan membuatnya rentan disalahgunakan (misus).

Bagaimana perjalanan mengenai masalah penistaan agama di Indonesia?

Penistaan agama di Indonesia dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum (perbuatan tercela). Landasan hukumnya adalah Pasal 156A KUHP. Pasal yang ditambahkan pada tahun 1969 atas perintah UU Nomor 1/PNPS/1965 ini memiliki nilai politis yang amat kuat. Target awalnya adalah untuk membatasi aliran-aliran kebatinan/kepercayaan yang terutama bersaing dengan kekuatan politik Islam pada tahun 1950 dan 1960an.

Di era Orde Baru sampai awal reformasi dari tahun 1965 hingga tahun 2000, pasal 156A hanya dipakai 10 kali. Namun dalam 15 tahun terakhir (2000-2015) telah digunakan pada lebih dari 50 kasus. Dengan pelaku terbanyaknya mengaku beragama Kristen 61 orang dan Islam 49 orang (aliran kepercayaan 4 orang dan tidak diketahui 6 orang).

Apakah setelah reformasi ada makin banyak para penoda agama atau orang-orang yang sesat? Atau ada penjelasan lain dengan melihat transisi politik pada 1998? Tidak bisa dipastikan.

Yang jelas pasal-pasal kriminal serupa di banyak negara lain tentang “penodaan”, “penistaan”, atau “blasphemy”, biasanya memang menggabungkan dua tujuan sekaligus: tujuan penjagaan kemurnian agama dan tujuan politik. 

Dalam perkembangannya, Pasal 156A KUHP ini telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi sebanyak 2 kali dan penistaan agama telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai delik pidana yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, dan karenanya masih bisa diterapkan dan menjerat siapapun yang diduga melakukannya. 

Aturan pokok yang umumnya digunakan dalam kasus penodaan agama adalah UU Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama) serta Pasal 156A KUHP.

Pasal 1 UU PNPS menyatakan Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu."

Pasal 156A KUHP ayat (1) menyatakan “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a) yang pada pokoknya bersifat bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Bagaimanakah kebebasan berserikat di Indonesia?

Kebebasan berekspresi atau kebebasan berbicara (freedom of speech) adalah kebebasan yang mengacu pada sebuah hak untuk berbicara secara bebas tanpa adanya tindakan sensor atau pembatasan akan tetapi dalam hal ini tidak termasuk dalam hal untuk menyebarkan kebencianKebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat di Indonesia dijamin dan dilindungi oleh konstitusi.

Setidaknya ada empat instrumen hukum yang memberi kerangka umum pada kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia. Pertama, Pasal Pasal 28E ayat (2) UUD 1945. Kedua, Pasal 23 ayat (2) UU HAM. Ketiga, Pasal 18 dan 19 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia 1948 (DUHAM). Keempat, Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (UU Sipol).

Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.

Pasal 23 ayat 2 UU HAM berbunyi: Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.”

Pasal 18 DUHAM berbunyi: Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.”

Pasal 19 DUHAM berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas.”

Pasal 18 ayat (1) UU Sipol berbunyi: Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.”

Maraknya Spanduk Tolak Penista Agama

Munculnya spanduk bertuliskan "Tolak Salatkan Pembela Penista Agama" di beberapa tempat tentunya cukup mengejutkan. Namun, menurut pandangan saya, secara hukum spanduk ini tidak bisa dikategorikan sebagai kegiatan melanggar hukum karena:

  1. Pada spanduk tersebut tidak disebutkan nama. Jadi, penista agama yang dimaksud pada spanduk tersebut bisa berarti siapa saja dan pembela penista agama pada spanduk tersebut juga bisa berarti siapa saja. Jadi spanduk ini sebenarnya tidak secara spesifik menyerang seseorang.
  2. Menimbang bahwa penistaan agama merupakan tindakan yang tercela menurut UU No. 1 PNPS dan 156A KUHP. Jadi, pemasangan spanduk ini sebagai salah satu tindakan pencegahan supaya masyarakat (penganut agama tertentu) tidak melakukan tindakan penistaan terhadap agama.
  3. Dilihat dari lokasi pemasangan yang ditempatkan di rumah ibadah, saya rasa spanduk itu ditujukan hanya kepada penganut agama tertentu dalam kaitannya dengan pelaksanaan keyakinan (agama) tersebut. Jadi, hal ini sah-sah saja dan diperbolehkan sebagai bagian dari kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia. 

Namun, jika mengaitkannya dengan dinamika perkembangan politik belakangan ini, masalahnya menjadi lain.  Seperti kita ketahui bersama, bahwa belakangan ini masyarakat dihebohkan dengan dugaan penistaan agama oleh terdakwa Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama yang masih berlangsung di pengadilan.

Pakar hukum Universitas Padjajaran Prof. Romli Atmasasmita, Guru Besar Fakultas Hukum UII Yogyakarta Prof. Mahfud MD, Guru Besar Hukum Tata Negara UGM Denny Indrayana, Profesor Hukum Pidana UGM Eddy Hiariej, dan Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Undip Prof. Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa pemerintah seharusnya memberhentikan sementara Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama yang telah berstatus terdakwa. Namun, pemerintah tetap bersikukuh untuk tidak memberhentikan sementara Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama yang telah berstatus terdakwa.

Hal ini lalu memicu respon dari masyarakat. Pemerintah dianggap telah berlaku tidak adil dan lalai dalam menegakkan hukum. Kritikan gencar ditujukan kepada pemerintah di sosial media. Tak cukup sampai disitu, demo dilakukan secara masif dan berjilid-jilid. Berbagai pakar hukum dan elit terlibat. Polemik politik sampai berujung pada munculnya gugatan PTUN, bergulirnya usulan hak angket DPR, sampai pada campur tangan MA. Namun, pemerintah tetap kukuh pada pendiriannya.

Sikap "cuek" yang ditunjukkan pemerintah dalam menyikapi demo yang dilakukan dengan jumlah besar dan berulang-ulang, membuat rakyat semakin "frustasi". Sindiran-sindiran serta pernyataan-pernyataan sarkastik di jejaring sosial sudah tak terhitung banyaknya. Kondisi sosial politik ini lalu dianggap oleh pemerintah sebagai "demokrasi kebablasan". 

Bagaimana seseorang bisa menghentikan asap, bila api yang sedang berkobar-kobar tidak dipadamkan?

Tidak adanya penegakan hukum yang dirasa adil oleh masyarakat lalu diekspresikan dengan pemasangan spanduk di berbagai tempat. Seperti yang dikatakan oleh Hidayat Nur Wahid di media (25/2/2017), "Itu ekspresi akar rumput yang bisa terjadi demikian karena hukum tak dilaksanakan apa adanya. Mereka sudah tahu info tentang posisi dari hukum tentang penistaan agama, tapi tidak segera diberlakukan sanksi hukum."

Jadi, ini bukan masalah SARA yang lalu berkembang di masyarakat dengan tujuan untuk merongrong kebijakan pemerintah. Tindakan pemasangan spanduk itu muncul sebagai respon dari tidak adanya penegakan hukum yang dinilai adil oleh masyarakat dalam kasus Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama. Suara rakyat tidak bisa dibendung. Pemerintah harus tanggap untuk menyikapi masalah ini, karena bukan tidak mungkin jika aksi-aksi perlawanan rakyat akan semakin tidak terkendali dan berujung pada hancurnya ikatan persaudaraan sebangsa dan setanah air. Rakyat menginginkan keadilan. Rakyat mendambakan penegakan hukum. Disinilah sebenarnya akar permasalahannya.

Negeri ini harus berbenah. Sebagaimana prinsip Cicero, Ubi Societas Ibi Ius, di mana ada masyarakat, di sana ada hukum. Peraturan perundang-undangan tidak dibuat hanya untuk dijadikan "hiasan dinding". Peraturan ada untuk ditegakkan. Penegakan hukum bertujuan untuk mewujudkan peraturan hukum demi terciptanya ketertiban dan keadilan masyarakat. Sudah seharusnya, jika Badan atau Pejabat Pemerintah menjalankan apa yang tertera dalam peraturan hukum (pasal-pasal hukum material) sehingga terwujud penegakan hukum di masyarakat. Hal ini mutlak dilakukan demi terciptanya ketertiban dan keadilan masyarakat.

Ketiadaan penegakan hukum dapat mengakibatkan kehidupan masyarakat yang kacau (chaos). Negara Indonesia sebagai negara modern yang menganut sistem demokrasi konstitusional, telah memiliki sejumlah peraturan perundangan, lembaga-lembaga hukum, dan aparatur penegak hukum. Namun, untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, upaya penegakan hukum harus selalu dilakukan secara terus menerus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun