Mohon tunggu...
Manik Sukoco
Manik Sukoco Mohon Tunggu... Akademisi -

Proud to be Indonesian.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Banjir dan Pilkada Jakarta

22 Februari 2017   04:07 Diperbarui: 25 Februari 2017   08:00 1424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
54 titik terjadinya banjir (Sumber: petabencana.id).

Cukup lucu jika melihat hubungan antara fenomena banjir dengan Pilkada Jakarta. Mengapa? Karena sebenarnya banjir tidak memiliki hubungan (secara langsung) dengan momen Pilkada Jakarta. Isu ini menjadi terhubung karena perkembangan dinamika politik yang terjadi di masyarakat. 

Banjir adalah keniscayaan di Jakarta.

Polemik banjir adalah hal yang bisa dikatakan klasik di DKI Jakarta. Banjir telah menjadi semacam agenda tahunan dari Pemerintah DKI. Setiap musim hujan tiba, saya selalu melihat tayangan berita di berbagai stasiun televisi yang meliput tentang banjir di Jakarta. Ketika hujan masih tidak terlalu lebat, rakyat berusaha semampunya untuk membendung genangan air dengan karung-karung berisi pasir dan mulai bersiap untuk menyelamatkan harta benda yang mereka miliki. 

Setelah genangan air meninggi, dan karung-karung pasir tersebut tidak lagi mampu menahan air, maka rakyat mulai mengungsi. Tim penyelamat lalu berdatangan ke lokasi terjadinya banjir. Mereka bekerja bersama-sama rakyat untuk menolong para korban banjir. Pengungsian dilakukan menggunakan perahu-perahu karet secara bergotong-royong. Tidak jarang dalam proses evakuasi korban banjir, tim penyelamat harus terseret arus atau tersengat aliran listrik. Kadang pula kecelakaan itu menelan korban jiwa.

Tidak cukup sampai disitu, ketika banjir tiba, tak jarang beberapa orang warga tertinggal di lokasi banjir. Mereka harus menyelamatkan diri di atap-atap rumah atau bangunan-bangunan yang lebih tinggi. Sementara korban banjir yang telah berhasil diselamatkan, seringkali mengalami berbagai kesulitan di pengungsian. Kesulitan para pengungsi biasanya terkait dengan keterlambatan penyaluran bahan makanan, selimut, tenda, hingga obat-obatan. Menjalarnya penyakit di pengungsian juga menjadi ancaman tersendiri bagi para korban banjir ini.

Beda halnya dengan anak-anak. Secara umum, dunia anak adalah dunia yang penuh dengan kegembiraan. Beberapa diantara mereka justru senang ketika musim hujan tiba. Karena alasan banjir, beberapa sekolah terpaksa harus diliburkan. Libur sekolah membuat mereka dapat menghabiskan waktu bersama dengan kelompoknya. Sebagian anak-anak ini justru menikmati bencana dengan bermain batang pohon pisang dan bersenda gurau di tengah kepungan banjir. Bagi mereka, apapun yang terjadi di sekeliling, suka cita selalu saja ada.

Adapun kerugian material akibat banjir tak terhitung lagi banyaknya. Rumah-rumah terendam, mobil-mobil, juga pusat-pusat perbelanjaan. Praktis roda perekonomian di beberapa titik banjir harus terhenti. Kantor-kantor terpaksa tutup sementara. Aktivitas masyarakat terganggu. Harta benda, dokumen-dokumen penting, dan tanaman-tanaman hijau lenyap atau rusak. Belum lagi gardu listrik yang kadang roboh dan memperparah bencana. 

Penyebab Banjir

Menurut data yang dirilis Urban Poor Connection (UPC) tahun 2017, setidaknya ada 8 penyebab banjir di Jakarta yaitu:

  1. Limpasan air dari Bogor. Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi kebun atau rumah pribadi - seringkali dibangun secara ilegal - mengakibatkan limpasan hujan tidak terserap ke dalam tanah sehingga air mengalir langsung ke hilir.
  2. Limpasan air dari Depok. Populasi Depok tumbuh dengan pesat seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan tempat tinggal terjangkau bagi penduduk Jakarta. 20% penduduk Depok adalah pekerja di Jakarta. Lebih banyak rumah berarti lebih sedikit tanah yang dapat menyerap air, sehingga limpasan air mengalir lebih cepat dari hilir ke hulu.
  3. Sampah. Jakarta memproduksi sekitar 7.000 ton sampah setiap hari. Sebagian masyarakat masih memiliki kebiasaan yang buruk untuk membuang limbah sampah ke sungai. Sampah perkotaan di sungai dan selokan dapat menyumbat pintu air dan infrastruktur kota lain yang dibutuhkan dalam mengontrol banjir.
  4. Waduk. Waduk dan danau berperan vital dalam pencegahan banjir selama musim hujan dan penyimpanan air selama musim kering. Terdapat sekitar 800 waduk pada jaman Belanda yang jumlahnya kini telah menyusut menjadi sekitar 200 waduk. Kabupaten Bogor memiliki 95 dam, Kota Bogor memiliki 6 waduk, Kota Depok 20 dam, Kabupaten Tangerang 37 dam, Kota Tangerang 8 waduk, Kabupaten Bekasi 14 dam, Kota Bekasi 4 waduk, dan DKI Jakarta dengan 16 dam. 80% waduk kini dalam kondisi rusak, terlalu dangkal, atau telah diubah menjadi area perumahan. Akibatnya 5 juta orang tidak memiliki akses terhadap air bersih.
  5. Penurunan muka tanah. Penurunan muka tanah mungkin memiliki pengaruh terbesar terhadap resiko banjir di masa depan. 40% Jakarta kini tenggelam 3-10 cm per tahun akibat pengambilan air tanah yang berlebihan. Banyak industri, perusahaan, dan pengembang mengambil air tanah secara ilegal. Akibatnya, pada tahun 2010, Jakarta mengalami penurunan muka tanah sebesar 4,1 meter jika dibandingkan dengan data pada tahun 1974.
  6. Rawa yang mengering. Sebagian besar Jakarta dahulu merupakan daerah rawa yang kini telah dikeringkan dan ditutupi dengan permukaan yang tidak dapat menyerap air seperti jalan dan rumah. Jumlah rawa di Jakarta menyusut sekitar 84% dari jumlah rawa di Jakarta pada tahun 1970.
  7. Perubahan iklim. 40% kawasan Jakarta berada di bawah permukaan air laut dan menghadapi resiko peningkatan muka air laut (hingga 500 mm per tahun 2050) serta diperparah dengan curah hujan. Hujan ekstrem (seperti saat banjir tahun 2014) lebih sering terjadi. 
  8. Ombak tinggi. Selisih maksimum antara air pasang dan surut bisa mencapai 1,1 meter. Ombak pasang yang bertepatan dengan musim hujan dapat menembus tanggul laut dan menyebabkan banjir ekstrem (seperti pada tahun 2007 ketika setengah dari kawasan Jakarta terendam banjir).

Delapan alasan mengapa Jakarta banjir (Sumber: UPC, 2017).
Delapan alasan mengapa Jakarta banjir (Sumber: UPC, 2017).

Solusi Banjir

Untuk mengatasi masalah banjir, Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama mengeluarkan berbagai kebijakan yang menuai pro dan kontra diantaranya: 

  1. Normalisasi. Normalisasi dilakukan Pemerintah dengan sodetan dan betonisasi. Sodetan adalah penggantian tepi sungai alami dengan semen sehingga mengakibatkan peningkatan kecepatan limpasan air ke hilir. Sedangkan betonisasi dilakukan dengan menuangkan semen di sepanjang sungai untuk mencegah penyerapan air. Kebijakan ini dianggap mampu mengancam ketersediaan air tanah untuk penduduk lokal. Hingga saat ini, 47% atau 9 km Sungai Ciliwung telah dinormalisasi dari 19 km yang direncanakan. Dalam upaya normalisasi ini, pemerintah harus menggusur lebih dari 2600 keluarga (33% jumlah total penggusuran selama tahun 2015).
  2. Zona hijau. Pemerintah menetapkan beberapa kawasan zona hijau untuk meningkatkan penyerapan air. Kebijakan zona hijau juga menuntut pemerintah untuk melakukan penggusuran. Pada tahun 2014, sebanyak 4.667 keluarga direlokasi ke 25 tempat. Lalu pada tahun 2015, sebanyak 8.145 keluarga direlokasi ke 113 tempat di Jakarta.
  3. Reklamasi. Pemerintah juga membuat pulau artificial untuk membatasi aliran air dari 13 sungai di Jakarta ke dalam laut. Kebijakan ini ditentang habis-habisan oleh para penggiat lingkungan seperti WALHI dan Greenpeace karena mengakibatkan terkumpulnya sampah dan toksin di air laut. Reklamasi membatasi akses nelayan terhadap laut dan mengakibatkan ketinggian muka air laut yang lebih tinggi sehingga meningkatkan resiko banjir. Reklamasi juga memiliki dampak buruk terhadap lingkungan dan perikanan.

Sedangkan solusi ideal dari penanggulangan banjir sebagaimana yang dipublikasikan oleh Urban Poor Connection (UPC) tahun 2017 mencakup 5 hal antara lain:

  1. Peningkatan area penyerapan air. Pembangunan rumah baru dan perubahan penggunaan lahan dimonitor untuk melindungi daerah penyerapan air (yang membantu air terserap ke dalam tanah). Daerah alami - seperti hutan pinggir sungai dan danau-danau - serta waduk dirawat untuk menangkap air dan mengisi kembali air tanah. Penduduk dapat mengumpulkan dan mendaur ulang air hujan untuk kebutuhan rumah tangga. Perubahan penggunaan lahan tidak diperlukan dan penggusuran dikurangi.
  2. Tidak ada reklamasi. Reklamasi Teluk Jakarta tidak lagi menghalangi aliran sungai ke laut dan nelayan tetap memiliki akses penuh terhadap teluk dan sumber daya laut. Tanggul pantai dan sungai Jakarta diperkuat sehingga resiko banjir berkurang. Dengan tidak adanya reklamasi, kualitas air di Teluk Jakarta akan meningkat karena sungai mengikuti gravitasi ke laut. Tanpa pengadaan reklamasi, Pemerintah dapat menghemat hingga 500 milyar per tahun.
  3. Pengurangan pompa air tanah. Infrastruktur pipa air kini melayani area perumahan, bisnis, dan kebutuhan industri. Limbah non kakus dapat didaur ulang. Karena sedimennya secara alami penuh dengan air, penurunan tanah di Jakarta akan melambat. Dengan area tenggelam yang lebih kecil, resiko banjir dapat dikurangi dan rumah serta bisnis menjadi lebih aman seiring waktu. 
  4. Naturalisasi. Sungai tidak lagi diluruskan dan praktik penggunaan semen di sepanjang pinggir sungai dihentikan. Pinggir sungai secara alami menyerap air sehingga memperlambat aliran, memungkinkan air tanah untuk terisi kembali dan mengurangi resiko banjir.
  5. Pengelolaan limbah. Jakarta memiliki fasilitas pengelolaan limbah yang meningkatkan kualitas air di Teluk Jakarta (hanya 2% dari air limbah yang dikelola pada tahun 2016). Dengan sistem pengelolaan yang lebih baik, sungai akan menjadi bersih dan kualitas air di sepanjang pesisir akan meningkat. Komunitas kecil seperti kampung, dapat mengelola sendiri sampah mereka untuk mengurangi penumpukan sampah serta membersihkan sungai.

Solusi banjir menurut Urban Poor Connection (Sumber: UPC, 2017).
Solusi banjir menurut Urban Poor Connection (Sumber: UPC, 2017).

Hubungan Banjir dengan Pilkada DKI?

Terlepas dari berbagai pro dan kontra kebijakan publik yang dikeluarkan Pemerintah, rakyat menyadari bahwa semua kebijakan tersebut dilakukan untuk kepentingan yang mulia yaitu mengatasi banjir. Dampak positif dari kebijakan-kebijakan tersebut adalah: 1) Perumahan kumuh menjadi berkurang, 2) Kota menjadi lebih bersih, demikian pula sungai. 

Pemberlakuan kebijakan normalisasi, zona hijau, dan reklamasi membuat banjir di Jakarta tidak lagi separah dulu. Menarik disini ketika kita menghubungkannya dengan momen Pilkada DKI.

Pilkada DKI adalah Pilkada yang paling dinamis jika ditinjau dari segi politik. Berbagai isu bermunculan pada momen Pilkada, mulai dari isu penistaan agama, pelanggaran Undang-Undang, isu rasial, black campaign, pembelian hak suara, tweet war, perbedaan hasil survei, debat calon gubernur, cyberbullying, beredarnya KTP dan NPWP palsu, isu penyadapan, berbagai aksi demo, perbedaan pandangan pakar hukum, sampai pada pernyataan Antasari Azhar. Selain menimbulkan kehebohan di masyarakat, Pilkada DKI juga menimbulkan kehebohan di dunia maya. Setiap hari netizen saling berdebat di jejaring sosial untuk mensukseskan calonnya melalui cara-cara yang paling santun sampai dengan yang paling banal. 

Putaran pertama Pilkada akhirnya usai dan musim penghujan pun tiba. Belajar pada pengalaman tahun 2016 dimana banjir dapat diatasi penyebarannya, maka pendukung Gubernur Petahana mulai sesumbar. Mereka mengangkat topik banjir untuk mempromosikan Pasangan Calon Gubernur mereka di jejaring sosial. Netizen pendukung Gubernur Petahana memiliki pendapat beraneka ragam seperti, "Sudah beberapa hari hujan, kok tidak ada banjir?" atau "Jakarta belum banjir ya..." sembari menyebarkan foto-foto perbandingan antara Jakarta sebelum dinormalisasi dengan sesudah dinormalisasi. Tentunya perbedaan kondisi Jakarta menjadi sangat mencolok karena kini sudah tidak ada lagi rumah-rumah kumuh di daerah bantaran sungai, sehingga keadaannya menjadi jauh lebih bersih.

Hujan merata lalu terjadi di Jakarta. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Hanya berselang 1-2 hari setelah topik ini diangkat oleh tim sukses Pasangan Calon Gubernur Petahana Ahok-Djarot, banjir terjadi di Jakarta. 

Banjir di jalan tol (Sumber: Media Indonesia).
Banjir di jalan tol (Sumber: Media Indonesia).
Tidak tanggung-tanggung, banjir terjadi di 54 titik sekaligus, Jakarta Selatan (11 titik), Jakarta Timur (29 titik), dan Jakarta Utara (14 titik). Kemarin (21/02/2017) terdapat sebanyak 401 laporan mengenai banjir di Jakarta dan sekitarnya. Dilaporkan ribuan rumah dan jalan terendam banjir dengan ketinggian bervariasi 10 -150 centimeter.

54 titik terjadinya banjir (Sumber: petabencana.id).
54 titik terjadinya banjir (Sumber: petabencana.id).
Pro dan kontra dari program penanggulangan banjir oleh Gubernur Petahana yang sebelumnya sudah mereda, lalu diangkat kembali oleh pendukung pasangan calon yang lain. Perang pun lalu terjadi diantara para netizen pendukung kedua Pasangan Calon Gubernur. 

Dari segi politik, pengangkatan topik banjir ini jelas salah momentum. Bahkan Denny JA, pimpinan lembaga penyelenggara polling Pilkada Denny JA World, mengeluarkan pernyataan bahwa isu ini berpotensi untuk mempengaruhi perolehan suara elektoral Pasangan Calon dalam Pilkada Putaran II nanti. 

Tak lama berselang, tim sukses Gubernur Petahana lalu mengeluarkan pernyataan bahwa mengangkat isu bencana banjir adalah hal yang tidak tepat. Masyarakat Jakarta seharusnya lebih fokus untuk membantu korban bencana dibandingkan dengan mengangkat kembali isu-isu mengenai penanggulangan banjir. Namun, nasi telah menjadi bubur. Topik ini sudah terlanjur menjadi viral. Rakyat yang sebelumnya tidak memahami tentang efek dari normalisasi, zona hijau, atau reklamasi kini menjadi paham karena gencarnya pertarungan netizen di jejaring sosial. 

Sejauh mana topik banjir ini akan berpengaruh terhadap pemilihan elektoral? Tidak bisa dipastikan secara jelas. 

Dari kejadian ini dapat ditarik dua kesimpulan: 1) Tim sukses pasangan calon Gubernur harus lebih berhati-hati untuk memilih topik yang tepat dalam momen Pilkada Jakarta. Hal ini penting karena selisih suara antara dua kandidat pasangan calon tidak begitu jauh. Kesalahan memilih topik bahasan dapat mempengaruhi (sedikit atau banyak) pandangan masyarakat terhadap pasangan calon yang didukung, 2) Polemik banjir Jakarta memang merupakan hal yang rumit dan pelik, sehingga membutuhkan penanganan secara integral dalam jangka waktu yang lama. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama serta dukungan dari berbagai elemen masyarakat. Harapannya, akan tercapai kebijakan publik ideal yang dapat diterapkan untuk mengurangi resiko banjir di Jakarta, dengan tetap memelihara kualitas hutan, sungai, pantai, dan komunitasnya. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun