Seperti diberitakan di media (Republika, Merdeka, Kompas) tanggal 25 Januari 2017, Pemerintah melalui Kementerian Pertanian mengklaim bahwa harga beras Indonesia lebih murah dari negara lain seperti Thailand, Vietnam, dan India. Bahkan untuk mendukung pernyataan tersebut, Pemerintah mengirim tim ke berbagai negara untuk melakukan survei mengenai harga beras.
Menurut Kementerian Pertanian, harga beras di Vietnam tertinggi (per kilogram) yaitu sebesar Rp. 18.292 dan terendah sebesar Rp. 6.097, sehingga rata-ratanya menjadi Rp. 12.195. Harga Rp. 12.195 didapat Pemerintah dari hasil menjumlahkan harga tertinggi dan harga terendah lalu dibagi dua atau (Rp 18.292 + Rp 6.097) dibagi dua.
Cara menghitung semacam ini juga sama dengan bagaimana cara Pemerintah menghitung harga rata-rata beras Thailand dan India. Jadi harga tertinggi beras Thailand sebesar Rp. 10.837 dan harga terendahnya Rp. 10.585. Setelah dibagi dua menjadi Rp. 10.711. Sedangkan harga tertinggi beras di India sebesar Rp. 11.125 dan harga terendahnya Rp. 11.056. Sehingga setelah dibagi dua mendapatkan hasil Rp. 11.091. Harga tersebut masih lebih tinggi dari kisaran harga beras rata-rata di Indonesia yang mencapai Rp. 10.150, dimana harga tertinggi beras Indonesia sebesar Rp. 13.500 dan harga terendahnya Rp. 6.800.
Survei yang dilakukan oleh Pemerintah ini bisa dibilang tidak begitu jelas. Mengapa?Â
Pertama, untuk mengetahui rata-rata harga beras, seharusnya ada data mengenai berapa bobot beras yang diukur dan cakupannya. Jika yang disurvei hanya beras (yang kebetulan) harganya murah lalu di tempat lain harganya mahal maka survei ini tidak akan relevan lagi.
Kedua, kapan dilakukan survei tersebut? Apakah survei dilakukan secara bersamaan ataukah terpisah? Jika harga beras di Thailand bulan Januari lalu dibandingkan dengan harga beras Indonesia pada bulan Februari, tentunya survei ini menjadi kurang relevan. Harga beras tentunya akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, survei harus dilakukan secara bersamaan sehingga akan didapat hasil yang sesuai dengan kenyataan.
Ketiga, dimana survei tersebut dilakukan? Apakah dilakukan di supermarket, pasar tradional, ataukah random? Jika harga beras di pasar tradisional Indonesia lalu dibandingkan dengan harga beras di supermarket India, tentunya hasil survei ini menjadi kurang bisa dipercaya kebenarannya.
Keempat, tidak adanya kejelasan mengenai jenis beras yang disurvei. Apakah beras berkualitas rendah, medium, ataukah premium? Jika harga beras berkualitas premium di Vietnam lalu dibandingkan dengan harga beras berkualitas rendah di Indonesia, tentu hasilnya menjadi bias. Survei harus disertai dengan penjelasan mengenai jenis beras yang diukur.
Jadi sebetulnya Pemerintah tidak perlu mengirimkan tim untuk mensurvei harga beras jika yang didapat hanyalah data mengenai harga beras tertinggi dan terendah, lalu hasilnya dibagi dua. Harga tersebut bisa diketahui dari perwakilan konsulat masing-masing negara.Â
FAO merupakan badan pangan dunia yang memang mensurvei harga dari berbagai jenis komoditas bahan pangan. FAO secara periodik melakukan pemantauan harga komoditas pangan, termasuk beras. Data menganai harga rata-rata beras bisa didapat di website FAO.
Hal ini sejalan dengan harga beras yang dipublikasikan oleh Bank Dunia (World Bank). Dalam laporan Bank Dunia, harga beras di Indonesia berimbang dengan harga beras di Filipina tetapi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga beras di Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Myanmar.
Saya memahami bahwa Pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah memiliki itikad baik untuk melakukan survei harga beras di berbagai negara. Namun, jika merujuk data dan publikasi dari Badan Pusat Statistik, Bank Dunia, dan FAO dapat disimpulkan bahwa pernyataan Pemerintah soal harga beras Indonesia yang masih lebih murah dari Thailand, Vietnam, dan India ternyata tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H