Demonisasi merupakan salah satu taktik pecah belah (devide et impera) yang berarti melebih-lebihkan keburukan atau kejahatan pihak tertentu sehingga sesuatu jadi tampak buruk luar biasa, jahat sempurna, tidak ada sedikitpun kebaikannya. Dengan taktik ini, emosi korban dipermainkan dan dipengaruhi agar sangat memuja pihak kawan dan sangat membenci pihak musuh.
Beberapa bulan yang lalu, tepatnya Bulan Oktober 2016, saya melihat ada salah seorang jurnalis, yang merupakan mantan pendukung dari pihak Prabowo, dan bermaksud melayangkan kritik mengenai 2 Tahun Pemerintahan Jokowi. Jurnalis ini lalu dikeroyok habis-habisan dan di-bully oleh pendukung fanatik Jokowi. Beberapa orang menyebutnya sebagai haters yang tidak produktif, dituduh belum move on dari Pilpres yang lalu, dan dianggap sinis terhadap segala kebijakan pemerintah hari ini. Adapun narasi kritiknya, sama sekali tidak digubris oleh para pendukung fanatik tersebut.
Fenomena demonisasi seperti di atas, kini mulai kita rasakan kembali karena Pilkada Jakarta akan segera digelar. Masyarakat kembali terbagi menjadi dua kutub besar. Semakin banyak seliweran ayat Al-Qur’an tentang pentingnya Gubernur Muslim untuk memimpin Jakarta, atau sebaliknya, siapa pun yang mengkritik Gubernur petahana adalah pendukung rasisme dan pro-koruptor. Kedua kelompok ini sama-sama melakukan demonisasi: pemilih gubernur petahana dicap pendukung kafir karena memilih non-muslim sebagai pemimpin, dan yang memilih calon gubernur selainnya akan dianggap anti-minoritas. Dua pilihan yang sangat tidak mengenakkan.
Tindakan fanatisme ini sama sekali tidak cocok untuk diterapkan pada masyarakat Indonesia yang multikultur. Pluralisme dan kemajemukan telah mewarnai bangsa ini, bahkan jauh sebelum Republik Indonesia terbentuk. Pada saat tokoh-tokoh bangsa merumuskan Pancasila, mereka memahami betul bahwa pluralisme telah ada, namun mereka memiliki kesadaran untuk bersatu dalam sebuah perbedaan, dan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Eli Susanti (2011), konsep pluralisme sendiri memiliki beberapa perspektif: sosial, budaya, maupun politik. Dalam perspektif sosial, pluralisme menangkal dominasi dan hegemoni kelompok atau aliran keagamaan tertentu. Pluralisme budaya mencegah hilangnya satu aliran budaya/agama karena dilenyapkan oleh aliran keagamaan arus utama yang hegemonis. Adapun pluralisme politik merupakan dasar bagi jaminan kebebasan untuk berkeyakinan dan berekspresi tanpa rasa takut akan ancaman kekerasan, karena adanya lembaga pengelola konflik kepentingan antaraliran keagamaan.
Negara kita adalah negara hukum, dimana konstitusi memberikan jaminan agar setiap warga masyarakat dilindungi, baik kewajiban maupun haknya, termasuk juga hak untuk berpikir, mengemukakan pendapat, memilih kepala daerah, atau partai politik yang sesuai dengan keinginan mereka. Kata "setiap warga negara" menunjukkan penghargaan negeri ini terhadap rakyat Indonesia yang multikultur.
Sebagaimana pendapat Budiman (1999), adanya kemajemukan sistem budaya dan masyarakat telah diakui sebagaimana tercermin dalam semboyan "Bhinneka Tunggal Ika". Kata Bhineka Tunggal Ika diadopsi sebagai salah satu upaya untuk memayungi keanekaragaman yang ada, serta strategi untuk mempersatukan berbagai kelompok masyarakat/etnik dalam suatu ikatan yang berorientasi masa depan. Paham “berbeda-beda namun tetap satu jua” dalam kenyataannya hanya indah untuk didengar dan diucapkan, namun amat sulit untuk diwujudkan, sebab secara konseptual paham tersebut sudah membawa suatu kontradiksi. Idealnya, ketunggal-ikaan tidak boleh mematikan kebhinekaan.
Penjajahan terjadi, ketika mayoritas atau sebagian warga, berubah menjadi pendukung fanatik penguasa, lalu menindas pihak yang menjadi minoritas. Penjajahan terjadi jika tidak ada ruang untuk sebuah perbedaan pandangan. Penjajahan terjadi, ketika warga yang fanatik membela penguasa secara membabi-buta, tanpa menelaah kembali, norma apa yang mungkin dilanggar. Buah dari sikap fanatik adalah intoleransi, yang bermuara pada kekerasan pada pihak yang memiliki pandangan politik berbeda.
Fanatisme terhadap agama, tokoh, atau partai politik tertentu, sangat membahayakan persatuan dan kesatuan nasional. Fanatisme membuat warga terpecah-belah, baik secara kesukuan, kedaerahan, atau keagamaan. Fanatisme membuat warga tidak bisa menerima kritik, karena bagi mereka tokoh/pandangan politiknya yang paling benar. Pada akhirnya, fanatisme mencederai nilai-nilai demokrasi.
Lalu bagaimana cara membebaskan diri dari fanatisme?
Untuk menghindari fanatisme politik, maka kita harus memiliki kemerdekaan berpikir. Kemerdekaan berpikir adalah kemampuan untuk mempertimbangkan segala sesuatu secara jernih dan mandiri.
Orang yang bebas dari tekanan politik kekuasaan, akan mampu menggunakan logikanya untuk mempertimbangkan fakta dan realita, serta menarik kesimpulan yang masuk akal.
Kemandirian berpikir merupakan pondasi awal dari toleransi. Seseorang dengan pemikiran yang bebas dan independen, bisa melihat kebaikan dari sisi yang berbeda-beda.