Mohon tunggu...
Manik Sukoco
Manik Sukoco Mohon Tunggu... Akademisi -

Proud to be Indonesian.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Dunia yang Dimulai dari Kata "Saya"

8 Februari 2017   07:09 Diperbarui: 17 Februari 2017   19:19 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi (Mei, 2010 – Basecamp Himafo).

Hidup itu seperti sebuah petualangan, segala sesuatu yang melekat padanya, serba mengejutkan. Tidak ada yang pernah tahu jawaban yang pasti dari pertanyaan bagaimana dan mengapa.

Untuk langit.
Untuk bumi.
Untuk hidup.
Dan untuk semua hal-hal mencengangkan yang terjadi di atasnya.

Sebuah dunia yang dimulai dengan kata "saya".

S a y a

Saya adalah anak biasa, tumbuh di lingkungan biasa, dan berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja.

Dari sejak pertama kali saya menangis, sampai beberapa tahun kemudian, saya tidak menjelma menjadi siapa-siapa. Tidak berubah -dalam skala besar- untuk menjadi apapun seperti yang terjadi pada Peter Parker, Adolf Hitler, Michael Owen, atau anak-anak lainnya, yang bumi menjadi gegap-gempita atas kelahirannya.

Saya tetap menjadi anak itu, yang bisa anda temui dalam keadaan kucel dan belum selesai kuliah. Rambut saya cenderung ikal, karena saya jarang bersisir. Mata saya bulat dan coklat, seperti gundu yang terbuat dari tanah liat.

Saya memaksakan diri untuk tetap tidak memasang lempengan lensa untuk membantu penglihatan saya, karena saya tidak ingin terlihat lebih culun dari Harry Potter. Badan saya biasa-biasa saja, tidak atletis sama sekali. 

Sebenarnya saya benci sarapan. Sarapan membuat otak saya mogok. Energi pagi saya bersumber dari bergelas-gelas kafein yang diperoleh dari kopi.

Itulah penampakan saya, jika ada orang memandang saya dalam 30 detik.

Lebih lama dari itu, orang cenderung menganggap saya menyebalkan, egois, dan terlalu banyak bercanda. Isi rongga tengkorak saya lebih berat di kanan, mungkin. Itulah satu-satunya penjelasan mengapa bertahun-tahun kuliah, saya tidak mendapat apa-apa selain bingung dan perasaan mau muntah.

Saya sangat membenci sesuatu yang rutin dan dipaksakan. Saya membenci semua sistem yang ada di dunia ini; fanatisme pada religi, politik, keteraturan berbahasa, dan tata-cara kesopanan. Atau hal-hal semacam itu. Saya lebih menyukai kesederhanaan dan kekacauan tanpa pola; kalau kita guncangkan air panas, gula, dan kopi tanpa aturan, toh akhirnya jadi sebuah keteraturan juga, yaitu kopi yang sangat nikmat. 

Biarpun demikian, saya menolak jika saya dimasukkan ke dalam daftar para pemberontak. Saya bukan orang-orang yang suka bergerombol di jalan-jalan dan mengucapkan kata-kata tidak senonoh, memaki para penguasa, atau anarki. Bagi saya, mereka cuma sekumpulan orang terjepit - yang kebetulan tolol.

Saya sangat menghindari hal-hal yang bersifat pasti. Ilmu pasti, adalah salah satu contohnya. Saya sangat menghormati orang-orang yang mencintai dan berkecimpung di dalam bidang ini. Tapi menurut saya, yang pasti di dunia ini adalah detik ini. Selebihnya hanyalah dugaan. Banyak orang mengira, saya ini sangatlah tertutup untuk beberapa hal yang menyangkut hidup saya. Padahal perkiraan itu, salah sama sekali. Saya hanya tidak ingin dunia melihat saya sebagai orang yang lebih aneh lagi, karena percayalah, anda tidak akan pernah mengerti rasanya dipanggil dengan sebutan "mahluk mars bersandal jepit"

Hobi saya terutama adalah sikat gigi dan membaca. Dua hal berbeda yang bisa saya rasakan diantara dua kegiatan itu, adalah antara kecintaan pada kesendirian dan kebencian yang mendalam. Setelah selesai melakukan ritual mandi dan mulai menyikat gigi, saya selalu berfikir betapa bersihnya saya ini. Setelahnya, saya merasa sangat berani untuk bertempur demi penghidupan di hari itu. Tapi ketika bercermin, saya melihat diri saya yang lain, terperangkap disana. Meronta untuk keluar dan bergabung bersama dirinya yang bebas ini. Akhirnya, saya berlalu setelah meludahi cermin.

Saya sangat senang mencampuradukkan apapun. Kenyataan ini bisa dilihat dari keberagaman benda yang berada di kamar saya. Buku, kamera, gitar, laptop, charger temannya teman saya, gelas kopi yang tumpah, pakaian kotor, dan beratus-ratus gulungan kertas. Semua itu memberikan sensasi yang sangat hidup. 

Ada banyak hal yang tidak saya mengerti dan tidak ingin saya mengerti di dunia ini. Salah satunya adalah mengapa orang selalu berfikir apa yang "banyak" itu benar dan apa yang "sedikit" itu salah. 

Tuhan itu hanya satu dan Dia pasti benar adanya. Pendosa jumlahnya milyaran, apa mereka juga mau disebut sebagai golongan orang-orang benar? Bingung kan? Sama, saya juga. 

Satu dari sedikit saja hal yang saya yakin selain Tuhan itu ada, bahwa yang namanya kebenaran itu tidak ada. Hanya kesalahan yang ada. 

Kebenaran hanyalah salah satu sisi khayal manusia yang takut terhadap api neraka.

Apa sih yang benar di dunia ini? Apapun kebenaran itu, pasti ada satu cacat di dalamnya yang memberikan celah buat orang mengatakan bahwa itu salah. Sedang yang namanya kesalahan tetap kesalahan. Tidak peduli betapa nilai kandungan kebenaran yang ada di dalamnya.

Setiap hari saya bernafas dan berjalan dengan hal-hal semacam itu. Saya tidak gila. Hanya saja sedikit dari simpul otak saya, memberikan jalan pikiran yang berbeda dari kebanyakan orang.

Susah kan, jadi manusia?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun