Gaya kepemimpinan, mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin, yang menyangkut kemampuannya dalam memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau bentuk tertentu. Pengertian gaya kepemimpinan yang demikian ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Davis dan Newstrom (1995). Keduanya menyatakan bahwa pola tindakan pemimpin secara keseluruhan seperti yang dipersepsikan atau diacu oleh bawahan tersebut dikenal sebagai gaya kepemimpinan.Â
Menurut Tjiptono (2006) gaya kepemimpinan adalah suatu cara yang digunakan pemimpin dalam berinteraksi dengan bawahannya. Sementara itu, pendapat lain menyebutkan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku (kata-kata dan tindakan-tindakan) dari seorang pemimpin yang dirasakan oleh orang lain (Hersey, 2004).
Gaya kepemimpinan adalah perilaku atau cara yang dipilih dan dipergunakan pemimpin dalam mempengaruhi pikiran, perasaan, sikap dan perilaku para anggota organisasi bawahannya (Nawawi, 2003). Hersey dan Blanchard (1992) berpendapat bahwa gaya kepemimpinan pada dasarnya merupakan perwujudan dari tiga komponen, yaitu pemimpin itu sendiri, bawahan, serta situasi di mana proses kepemimpinan tersebut diwujudkan. Pimpinan adalah seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan unjuk kerja maksimum yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan organisasi. Organisasi akan berjalan dengan baik jika pimpinan mempunyai kecakapan dalam bidangnya, dan setiap pimpinan mempunyai keterampilan yang berbeda, seperti keterampilan teknis, manusiawi dan konseptual.Â
Pemimpin-pemimpin kita, mulai dari Soekarno, Suharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, dan Jokowi memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda-beda. Sebagian masyarakat meninjau dari sisi baik, sebagian lainnya meninjaunya dari sisi buruk.Â
Presiden Soekarno, dikenal sebagai seorang seorang pembicara ulung yang bisa membangkitkan semangat nasionalisme rakyat. Beliau memiliki gaya kepemimpinan yang sangat populis, bertemperamen meledak-ledak, tidak jarang lembut, dan menyukai keindahan. Soekarno adalah tokoh yang berperan besar dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Soekarno memiliki andil dalam penyusunan Pancasila, perumusan konstitusi negara, serta pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melalui diplomasi yang dilakukannya di PBB, Indonesia mulai mendapatkan tempat dan pengakuan kedaulatan di mata internasional. Namun, sebagian masyarakat menilainya terlalu western, pro PKI, ceroboh, dan kurang hati-hati dalam mengambil keputusan. Kebijakannya yang banyak menuai kritik adalah penerbitan Dekrit Presiden, konsep Nasakom, sikapnya yang lunak terhadap PKI, juga pengangkatan dirinya sebagai Presiden Seumur Hidup yang dinilai inkonstitusional.
Presiden Suharto, dikenal sebagai bapak pembangunan. Gaya kepemimpinan Presiden Soeharto merupakan gabungan dari gaya kepemimpinan proaktif-ekstraktif dengan adaptif-antisipatif, yaitu gaya kepemimpinan yang mampu menangkap peluang dan melihat tantangan sebagai sesuatu yang berdampak positif serta mempunyai visi yang jauh ke depan dan sadar akan perlunya langkah-langkah penyesuaian. Ia berjasa atas pembangunan sekolah-sekolah, infrastruktur, fasilitas umum, dan pelayanan publik. Ia juga berjasa dalam pembangunan transportasi umum seperti PT. KAI, PT. PAL, PT. PINDAD. Bahkan, pada masa pemerintahannya, kita sempat memiliki industri pesawat terbang nasional. Namun, di sisi lain ia juga dikritik akan sikap diktator, penangkapan para aktivis HAM, pembunuhan massal tahun 1965, operasi militer di Aceh, dan keterlibatannya dalam kasus kolusi, korupsi, serta nepotisme.Â
Presiden BJ. Habibie memiliki gaya kepemimpinan dedikatif-fasilitatif, yang merupakan sendi dalam kepemimpinan demokratis. Pada masa pemerintahan BJ. Habibie, kebebasan pers dibuka lebar-lebar sehingga melahirkan demokratisasi yang lebih besar. Dalam penyelenggaraan negara, Habibie pada dasarnya merupakan seorang liberal karena latar belakang kehidupan dan pendidikan yang lama di dunia barat. Hanya dalam kurun waktu dua tahun, Habibie mampu mengatasi krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998. Gaya komunikasinya penuh spontanitas, meletup-letup, dan responsif terhadap perubahan. Walau memiliki reputasi yang sangat baik di kalangan internasional sebagai seorang peneliti, ia juga menuai kritikan karena keluguannya dalam berpolitik, termasuk sikapnya atas Timor-Timur.
Presiden Abdurrahman Wahid, atau akrab disapa Gus Dur, memiliki gaya kepemimpinan responsif-akomodatif, yang berusaha untuk mengagregasikan semua kepentingan yang beraneka ragam, yang diharapkan dapat dijadikan menjadi satu kesepakatan atau keputusan yang memiliki keabsahan. Gus Dur berjasa dalam penanaman kesadaran generasi muda akan perlunya menjunjung tinggi pluralisme dan toleransi terhadap perbedaan ras atau golongan. Dimasanya, rakyat mulai sadar akan pentingnya penghargaan akan etnis, termasuk etnis Tionghoa. Namun, ia juga banyak menuai kritik karena sifatnya yang berubah-ubah, ceplas-ceplos, dan dinilai agak ngawur. Kebijakannya untuk membekukan MPR dianggap inkonstitusional dan tidak prosedural.
Presiden Megawati Soekarno Putri, memiliki gaya kepemimpinan anti kekerasan. Dimasa pemerintahannya tidak terjadi banyak kasus besar atau konflik yang melibatkan massa. Ia memiliki andil dalam perbaikan fasilitas dan institusi kepolisian. Megawati merupakan sosok yang cukup demokratis, namun juga dikenal sebagai pribadi yang tertutup dan cepat emosional. Ia alergi pada kritik. Komunikasinya didominasi oleh keluhan dan uneg-uneg, nyaris tidak pernah menyentuh visi, misi, atau kebijakan publik yang ia ambil. Pemerintahan Megawati minim prestasi. Ia juga dikritik atas penjualan saham beberapa BUMN serta aset-aset penting negara.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, memiliki gaya kepemimpinan responsif, demokratis, dan proaktif. Kebebasan berpendapat dijunjung tinggi. Jika tadinya mengkritik pemerintah menjadi hal yang tabu, dimasa pemerintahannya tidak lagi. Â SBY berjasa dalam pendirian KPK serta perbaikan mutu pendidikan melalui sertifikasi guru, kenaikan anggaran, dan program LPDP. Presiden SBY memiliki andil besar dalam recovery Aceh pasca bencana tsunami yang menewaskan sekitar 280.000 orang pada tahun 2004. Kebijakan fiskal dan perekonomian yang diambil pada masa kepemimpinan SBY, membuat ekonomi Indonesia tumbuh menjadi nomor dua yang terkuat di Asia. Namun, pemerintahannya juga dikritik karena sikapnya yang dianggap peragu, lambat, dan terlalu defensif terhadap kritik.
Presiden Jokowi, dikenal memiliki gaya kepemimpinan yang pro rakyat. Ia berjasa dalam dalam pembangunan infrastruktur dan transparansi birokrasi. Banyak hal yang tadinya sulit diurus karena harus melewati birokrasi yang berbelit-belit, kini telah bisa dilakukan secara online. Pengembangan one data (BIG), kebijakan pendaftaran online untuk CPNS, pembayaran pajak, dan pengurusan imigrasi menciptakan birokrasi yang lebih bersih. Namun, ia juga menuai banyak kritik karena pemerintahannya yang terperangkap dalam politik oligarkis, tanggapannya mengenai isu-isu SARA, dan sikapnya yang cenderung lambat dan gamang dalam memberikan solusi atas masalah-masalah negara.
Perbedaan gaya kepemimpinan adalah hal yang wajar. Juga perbedaan cara memerintah dan pandangan dalam berpolitik. Demokrasi tentu menghormati perbedaan pandangan politik. Namun, demokrasi juga lebih memilih integrasi (persatuan), ketimbang disintegrasi (perpecahan). Betul kita memiliki kebebasan untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat. Namun, kebebasan itu juga tidak boleh memecah belah persatuan atau memperbesar kebencian antara pihak yang satu dengan pihak yang lain.
Pemimpin-pemimpin tersebut merupakan putra-putri terbaik bangsa. Namun seperti layaknya kita, mereka adalah manusia biasa yang memiliki berbagai keterbatasan.Â
Sebagai warga negara demokratis, kita bertanggungjawab untuk memberikan tanggapan dan kritik terhadap kebijakan publik yang dilakukan pemerintah. Namun, kebebasan itu harus sesuai dengan kaidah-kaidah atau norma hukum yang berlaku. Apakah tindakan mendukung pemimpin yang disukai, harus dengan menyebarkan berita bohong dan berbahaya? Apakah tindakan mendukung pemimpin yang disukai, harus dengan menjatuhkan reputasi pemimpin terdahulu? Apakah negative campaign atau bahkan black campaign dianggap baik dalam membentuk moral dan karakter generasi muda?
Jawabannya kembali pada diri sendiri, ingin menjadi seperti apakah kita?Â
Apakah kita ingin menanggapi gaya pemerintahan yang berbeda itu dengan hati dan kepala yang panas. Lalu sibuk menjejali kepala orang lain dengan rasa kebencian terhadap figur pimpinan tertentu? Â Perlu diingat bahwa rasa kebencian itu, sadar atau tidak nantinya justru akan menciptakan generasi dengan literasi politik yang rendah, generasi mudah percaya hoax dan berita bohong, generasi pembenci, serta generasi yang apatis terhadap politik. Bisakah Anda bayangkan bagaimana jika sepuluh atau dua puluh tahun mendatang, generasi muda pembenci yang mudah percaya hoax semacam ini lalu memimpin Indonesia?
Ataukah kita akan menanggapi perbedaan gaya kepemimpinan yang berbeda dengan kepala yang dingin. Tetap berbagi fakta-fakta (yang jauh dari kebohongan), memberikan saran yang membangun pada pemerintah sesuai dengan koridor hukum yang berlaku, serta memberikan pandangan-pandangan umum tentang pemimpin dengan dilandasi kesadaran bahwa setiap pemimpin (dengan segala kebaikan dan keburukannya) adalah putra-putri terbaik Indonesia, yang bagaimanapun tetap harus kita hormati. Harapannya, sepuluh atau dua puluh tahun mendatang, generasi muda Indonesia didominasi oleh orang-orang yang berpikiran terbuka "open minded" terhadap inovasi dan ide-ide baru, yang bisa belajar dari kesalahan yang dilakukan para pemimpin di masa lalu, namun tetap menghargai mereka sebagai sosok-sosok yang telah berkontribusi dalam pembangunan Indonesia sampai dengan hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H