Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Freelancer - Rahmatullah Safrai

Penikmat kopi di ruang sepi penuh buku || Humas || Penulis Skenario Film || Badan Otonom Media Center DPD KNPI Kota Cilegon

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Bising dan Debu: Ironi PLTU Suralaya Unit 9-10 yang Belum Resmi Beroprasi

18 Januari 2025   01:15 Diperbarui: 18 Januari 2025   15:42 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memandang cerobong-cerobong Pabrik PLTU Suralaya dari Bukit Teletubis Kampung Buah Dodol Suralaya (Foto Pram) 


Dari kejauhan, suasana pegunungan di Suralaya saat musim hujan selalu menghadirkan pemandangan yang memukau. Hamparan hijau yang segar dan rindang seperti lukisan hidup yang menawarkan ketenangan bagi siapa saja yang memandangnya.

Namun, keindahan ini seolah menjadi ilusi ketika mendekat. Di balik keheningan dan harmoni alam itu, terlihat bayang-bayang kesibukan industri yang perlahan mengubah wajah pegunungan di ujung utara Kota Cilegon.

Bukit-bukit diratakan, laut diurug, dan pabrik-pabrik baru terus berdiri menjulang. Kontras ini bukan hanya soal pemandangan, tetapi juga cerita tentang perjuangan alam melawan perubahan zaman.

Di antara hiruk-pikuk mesin dan polusi, warga yang hidup di pegunungan Suralaya berusaha tetap kuat, menyimpan jejak keindahan yang semakin tergerus.

Keindahan pegunungan itu, ketika dijejaki hingga atas, akan berbeda melihat ke bawah. Seperti kesunyian yang dulu menjadi ciri khas Kampung Kopi dan Kampung Buah Dodol yang kini terusik. Warga setempat hidup di bawah bayang-bayang kebisingan mesin Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya Unit 9 dan 10.

Ironisnya, meski pabrik belum beroperasi penuh, dampaknya sudah begitu nyata dirasakan.

"Suara bisingnya itu, Kang, seperti raungan yang nggak ada habisnya," keluh Wandi, pemuda setempat yang sudah cukup pusing mendengar deru mesin dari Pabrik yang berada di bawah kaki gunung itu.

Ia mengenang awal mula gangguan itu saat mesin-mesin pabrik mulai diuji coba. Sejak itu, katanya, kenyamanan warga terganggu. Lingkungan jadi tidak tenang. Mau protes juga tidak ada yang berani, kompensasi pun tidak pernah dirasakan.

"Lebih sakit hati, banyak pemuda yang tidak mendapatkan kesempatan kerja, setiap hari harus menonton cerobong-cerobong asap hitam. Sementara orang-orang jauh menjadi pekerjaannya, " ungkapnya lirih.

Kebisingan yang tak kenal waktu
Sejak mesin dinyalakan, suara meraung-raung seolah memecah kesunyian perkampungan yang berjarak hanya sekitar satu kilometer dari lokasi pabrik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun