Mahmudin, seorang nelayan dari Desa Pakuhaji, Tangerang, berdiri memandang lautan yang kini terasa asing. Ia menghela napas panjang, mengingat masa-masa ketika laut adalah sahabatnya.Â
Hari ini, sahabat itu berubah menjadi labirin yang membingungkan, terpenjara oleh pagar bambu sepanjang 30,16 kilometer.
"Laut itu kan terbuka, tidak boleh tertutup," katanya, dengan suara berat yang mencerminkan rasa frustasinya. Pagar itu telah merampas lebih dari sekadar ruang; ia telah mencuri kehidupannya.
Pagar bambu di tengah laut itu berdiri dari Desa Muncung hingga Pakuhaji, memutus akses para nelayan ke wilayah tangkapan ikan mereka. Dengan pintu-pintu kecil setiap 400 meter, struktur tersebut bukan sekadar penghalang fisik, tetapi simbol pengekangan yang penuh teka-teki.Â
Dibangun diam-diam sejak Juli 2024, pembuatannya melibatkan warga dengan upah rendah, dilakukan di tengah malam, jauh dari pantauan.
Namun, keberadaan pagar ini tidak memiliki dasar hukum. Investigasi Ombudsman RI dan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Banten mengonfirmasi bahwa pagar ini tak berizin. Hal ini memicu spekulasi, mulai dari upaya monopoli perikanan hingga dugaan aktivitas ilegal seperti penyelundupan.
Bagi Mahmudin, pagar ini adalah mimpi buruk. "Kami seperti maling di rumah sendiri," katanya. Nelayan harus mengarungi labirin hanya untuk menangkap ikan, mengorbankan waktu dan tenaga yang seharusnya digunakan untuk mencari nafkah.Â
Hasil tangkapan pun menurun drastis, menghantam perekonomian keluarga nelayan yang sudah rapuh.Selain nelayan, pembudi daya ikan dan lingkungan laut juga terkena dampak.Â
Aliran air laut terganggu, habitat biota laut rusak, dan risiko kecelakaan meningkat. Pagar ini bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga ancaman ekologis yang serius.
Nelayan seperti Mahmudin hanya bisa berharap pemerintah bertindak tegas. Mereka menuntut agar pagar tersebut segera dibongkar, sehingga laut kembali menjadi milik bersama. Namun, tanpa keberanian pemerintah dan tekanan publik, keadilan mungkin hanya menjadi mimpi bagi mereka.
Bagi Mahmudin, laut adalah sumber kehidupan. Kehilangan kebebasan di laut berarti kehilangan dirinya. Kisah ini bukan hanya tentang pagar bambu, tetapi juga tentang perjuangan manusia melawan ketidakadilan yang mengancam penghidupan dan identitas mereka.
Mahmudin yang mencari keadilan mengingatkan kita bahwa di balik setiap struktur yang tampak sederhana, terdapat cerita tentang ketidakadilan dan harapan akan kebebasan. Semoga suara nelayan seperti Mahmudin tidak tenggelam di tengah arus kepentingan yang lebih besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H