Jika memang ada pelanggaran hukum yang sama, seharusnya penegakan hukum dilakukan secara konsisten di semua tempat tanpa memandang besar kecilnya usaha. Situasi ini dikhawatirkan menimbulkan anggapan bahwa ada "pilih kasih" dalam pelaksanaan tugas Satpol PP Cilegon, di mana usaha kecil lebih rentan menjadi sasaran daripada usaha yang lebih besar.
Selain itu, publik mungkin mempertanyakan apakah ada faktor-faktor lain, seperti kepentingan ekonomi, politik, atau sosial yang mempengaruhi keputusan penegakan hukum?
Bukan rahasia umum lagi, sejumlah kafe seperti di kawasan Kelurahan Sukmajaya, Kecamatan Jombang terang-terangan menjual miras di dalam pitcher kaca yang tersaji di atas meja. Kafe-kafe ini mendapatkan perlakuan berbeda tanpa tersentuh razia. Padahal jika dasarnya ilegal, adakah kafe yang punya izin menjual miras di Cilegon?
Dugaan ketidaktegasan di tempat-tempat tertentu tidak hanya berpotensi mengikis kepercayaan masyarakat terhadap Satpol PP Cilegon, tetapi juga menciptakan kesan bahwa hukum tidak ditegakkan secara adil.
Harapannya, Satpol PP Cilegon harus memastikan bahwa penegakan hukum dilakukan secara transparan dan tidak pandang bulu, sehingga tidak ada kesan bahwa mereka hanya berani menindak warung jamu saja, tapi juga pada kafe-kafe yang bebas jual miras.
Razia yang dilakukan oleh Satpol PP Cilegon terhadap peredaran miras di warung jamu adalah langkah yang baik dalam menegakkan peraturan daerah. Namun, terkesan tebang pilih, terutama ketika kafe-kafe penjual miras dibiarkan saja.
Jadi penasaran, kapan Satpol PP Cilegon berani menegakan Perda Nomor 5 Tahun 2001 di kafe-kafe penjual miras?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H