Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Freelancer - Rahmatullah Safrai

Penikmat kopi di ruang sepi penuh buku || Humas || Penulis Skenario Film || Badan Otonom Media Center DPD KNPI Kota Cilegon

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dulu Kota Santri, Usia 24 Tahun Cilegon Jadi Kota Tidak Toleran

27 April 2023   05:50 Diperbarui: 27 April 2023   05:52 772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid Agung Nurul Ikhlas jadi Icon Kota Cilegon (foto Instagram @aep_komo)

Selamat ulang tahun Kota Cilegon ke-24. Dahulu dikenal sebagai kota santri dan kota baja, kini memiliki label baru sebagai kota tidak toleran di Indonesia.

Predikat rangking satu kota tidak toleran dengan skor 3,227 dirilis Setara Institute pada 6 April 2023 lalu. Setara melibatkan 94 kota di Indonesia. Ada 4 variabel penilaian, diantaranya adalah regulasi pemerintah kota, regulasi sosial, tindak pemerintah, dan demografi sosio keagamaan.

Cilegon menempati posisi paling buncit menggantikan Kota Depok menjadi kota tidak toleran di tahun 2023. Hal ini disebabkan oleh persoalan penolakan pembangunan gereja yang sempat memanas pada September 2022 lalu.

Akibat persoalan penolakan pembangunan gereja oleh elemen masyarakat dan juga melibatkan Wali Kota Cilegon, di Twitter seumur-umur nama Cilegon Tranding Topik di media sosial.

Ketidak kemampuan kepala daerah yang bijak dalam mengatasi persoalan ini, persoalan penolakan gereja akan terus memercikan api potensi konflik. 

Jika kembali melihat sejarah di tahun 1888, meletusnya peristiwa perjuangan "Geger Cilegon" juga disebabkan oleh sensitivitas agama. Dimana pejabat penjajah Belanda melarang adanya adzan dan sholawat di Masjid.

Para ulama dan santri yang sudah jengah dengan perlakukan para penjajah kemudian bersatu untuk melakukan perang. Peristiwa berdarah itu berakhir tragis. Kekalahan menyebabkan banyak ulama gugur, ada yang tewas dalam perang, ada juga penangkapan para ulama dan dihukum gantung.

Belum lagi ratusan ulama yang tertangkap diasingkan ke berbagai pulau paling timur Indonesia. Peristiwa yang sangat menyakitkan bagi masyarakat Kota Cilegon.

Seiring perkembangan waktu, pasca kemerdekaan NKRI, daerah pesisir paling ujung barat pulau Jawa itu berubah wajah di tahun 1960. Daerah agraris berubah menjadi kawasan industri nasional dengan produksi unggulan baja.

Ribuan rumah digusur dengan sebutan bedol desa. Entah berapa ratus bangunan masjid, Mushola, pesantren, dan madrasah juga harus dipindahkan. Warga terdampak dialihkan ketempat baru dengan ganti rugi tidak seberapa.

Demi kemajuan ekonomi nasional, masyarakat rela berkorban tanah leluhur menjadi kawasan pabrik baja PT Krakatau Steel.

Cilegon kemudian berkembang dengan pesat. Pabrik-pabrik besar dibangun beserta berbagai fasilitas perumahan dan hiburan kala itu. 

Satu yang tidak bisa diijinkan dibangun di Cilegon adalah gereja. Konflik larangan pembangunan gereja itu pun berhasil diredam dengan kesepakatan bersama dan dilegalkan dengan surat edaran Bupati Serang pada tahun 1975.

Umat kristiani yang bekerja di PT Krakatau Steel masih bisa beribadah di Kota Serang dengan fasilitas kendaraan bis yang disediakan perusahaan setiap hari minggu.

Meski tanpa gereja, Cilegon tumbuh dan berkembang dengan harmonis. Keberadaan industri besar mendatangkan warga negara asing dari berbagai negara. Begitu juga dengan para pegawai dari berbagai daerah di Indonesia yang membawa keyakinan agamanya.

Cilegon dengan kehidupan para santrinya, tidak pernah mencuat adanya konflik agama, etnis, atau pun suku bangsa lainnya. Para pendatang hidup harmonis dengan menghargai budaya lokal Cilegon yang islami.

Namun seiring berkembangnya Kota Cilegon sebagai objek vital industri nasional, makin beragam pula kehidupan masyarakatnya. Sehingga sekelompok masyarakat menginginkan adanya gereja di Kota Cilegon.

Masyarakat Cilegon dengan budaya lokal sebagai santri, masih memegang teguh amanah para ulama terdahulu. Namun keberagaman kehidupan masyarakat Cilegon yang modern menuntut arus perubahan dan hak beragama yang sama sebagai warga negara Indonesia.

Merunut sejarah kehidupan masyarakat Kota Cilegon, apakah pantas disematkan sebagai kota tidak toleran?  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun