Demi kemajuan ekonomi nasional, masyarakat rela berkorban tanah leluhur menjadi kawasan pabrik baja PT Krakatau Steel.
Cilegon kemudian berkembang dengan pesat. Pabrik-pabrik besar dibangun beserta berbagai fasilitas perumahan dan hiburan kala itu.Â
Satu yang tidak bisa diijinkan dibangun di Cilegon adalah gereja. Konflik larangan pembangunan gereja itu pun berhasil diredam dengan kesepakatan bersama dan dilegalkan dengan surat edaran Bupati Serang pada tahun 1975.
Umat kristiani yang bekerja di PT Krakatau Steel masih bisa beribadah di Kota Serang dengan fasilitas kendaraan bis yang disediakan perusahaan setiap hari minggu.
Meski tanpa gereja, Cilegon tumbuh dan berkembang dengan harmonis. Keberadaan industri besar mendatangkan warga negara asing dari berbagai negara. Begitu juga dengan para pegawai dari berbagai daerah di Indonesia yang membawa keyakinan agamanya.
Cilegon dengan kehidupan para santrinya, tidak pernah mencuat adanya konflik agama, etnis, atau pun suku bangsa lainnya. Para pendatang hidup harmonis dengan menghargai budaya lokal Cilegon yang islami.
Namun seiring berkembangnya Kota Cilegon sebagai objek vital industri nasional, makin beragam pula kehidupan masyarakatnya. Sehingga sekelompok masyarakat menginginkan adanya gereja di Kota Cilegon.
Masyarakat Cilegon dengan budaya lokal sebagai santri, masih memegang teguh amanah para ulama terdahulu. Namun keberagaman kehidupan masyarakat Cilegon yang modern menuntut arus perubahan dan hak beragama yang sama sebagai warga negara Indonesia.
Merunut sejarah kehidupan masyarakat Kota Cilegon, apakah pantas disematkan sebagai kota tidak toleran? Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H