Banjir di Kota Serang dan Kabupaten Serang baru saja surut. Pertama di abad ini, banjir besar yang hampir merata di Ibu Kota Provinsi Banten itu terjadi pada 1 Maret lalu.
Kawasan Masjid Agung Banten Lama dan komplek pemakaman para Sultan Banten turut tenggelam. Peristiwa banjir yang tidak biasa terjadi hingga ke tempat kramat yang setiap hari dikunjungi ribuan peziarah.
Banjir datang merendam dan menghancurkan. Sejumlah korban hanyut. Kemudian kepala daerah meninjau. Spekulasi dugaan penyebab banjir pun dinarasikan dengan klise.
Ada yang mengatakan bahwa akibat dari pembangunan Bendungan Sindangheula yang belum lama ini diresmikan oleh Presiden Joko Widodo.
Ada pula yang selalu mengkambinghitamkan sampah dan penyempitan aliran sungai Cibanten penyebab banjir.
Tidak ada narasi dari Kepala Daerah yang menyadari bahwa ada campur tangan kerusakan alam yang besar terjadi di Banten. Terutama wilayah serapan air, yaitu pegunungan dan hutan di hulu.
Secara hukum alam, jika kondisi hutan masih normal maka curah hujan ditangkap oleh akar-akar pohon dan disimpan.
Jika pohon-pohon berkurang, maka berkurang juga jumlah resapan air hujan. Sehingga ketika curah hujan tinggi di hulu, air akan meluncur bebas ke hilir.
Jika kita mau bermuhasabah diri dan alam yang menjadi tempat tinggal kita, jawaban sebab akibat ketidak seimbangan alam sudah tertuang dalam Kitab Suci Al-Qur'an dalam Surat Ar-rum: 41-42.
Artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah (Muhammad), “Bepergianlah di bumi lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).”