Dahulu, ketika teknologi dan media sosial tidak secanggih sekarang, menjadi penulis itu tidak bisa instan. Warnet hanya ada di kota. Perjuangan berat untuk bisa layak muat di sejumlah media cetak nasional.
Proses menulis selanjutnya harus belajar teknik kepenulisan dari para penulis terkenal. Membaca buku lebih banyak. Mempelajari kriteria media yang memuat karya cerpen.
Saat itu, ada tiga penulis yang kemudian menjadi kiblat dalam proses kreatif yang saya alami. Menceritakan detail karakter, seting tempat dan waktu, bisa belajar dari buku-buku karya Mas Gola Gong.
Sedangkan memberi bumbu rasa dalam tulisan bisa belajar dari karya Asma Nadia. Serta membuat alur cerita yang simpel dan kalimat penuh makna dari karya Gus Tf Sakai.
Memasuki tahun 2009, keberadaan halaman sastra di Koran Radar Banten menjadi nafas segar bagi para penulis muda. Koran terbesar di Banten inilah, banyak cerpen dan puisi kemudian dimuat. Penulisan esai dirambah ketika ada halaman Gagasan di Koran Banten Raya. Ini menjadi titik dimana perjuangan panjang selama ini telah menuai hasilnya.
Proses panjang mengasah kemampuan menulis. Dari Mas Gong banyak kesempatan emas telah diberikan. Tahun 2010 pertama kali terlibat menjadi co-writer Mas Gong dalam penulisan Skenario FTV di SinemaArt. Menjadi titik awal karier dalam penulisan skenario film.
Masih penasaran dengan tantangan, 2013 kemudian menjadi wartawan di Koran Banten Pos. Karier terpanjang hingga saat ini setelah menjejaki berbagai perusahaan media dan kini menghantarkan menjadi Humas dan Media di Kampus Al-Khairiyah Cilegon.
Saat menjadi wartawan, sejujurnya sempat membunuh kreatifitas menulis sastra. Kesibukan menjadi wartawan yang ditargetkan mendapatkan sejumlah berita dan menjalankan proyeksi liputan, membuat tidak bisa lagi berpikir menulis novel.
Tantangan Menulis Novel
Kembali pada cerita di awal, ketika diminta Mas Gong untuk menulis Novel, kilas balik belasan tahun terasa jadi nafas panjang yang berubah pendek dan dalam
"Ya, Insya Allah, " jawab saya.