"Sudah banyak buku antologi, kapan bikin novel? " kata Mas Gola Gong di akhir acara peluncuran dan diskusi Buku Rehat Sejenak di pertengahan Ramadan kemarin.
Ini perkataan yang bukan main-main dari seorang guru. Merujuk ke Kitab Ta'lm al-Muta'allim Tharq at-Ta'allum, omongan guru wajib didengar dan dilaksanakan.
Gola Gong, selanjutnya saya sebut Mas Gong adalah orang terpenting dalam hudup saya. Menjadi guru yang mendidik dengan literasi dan menasehati  layaknya sahabat.
Awal tahun 2004 menjadi momen pertemua  pertama saya ketika datang ke Rumah Dunia, di Kota Serang. Hujan yang baru berhenti sore itu, perjumpaan pertama dengan penulis buku fenomenal Balada si Roy .
Mas Gong, saat itu masih muda dan gagah. Berambut gondrong yang lagi disibukan sebagai penulis Skenario dan masih bekerja di RCTI.
Sementara saya hanya anak kampung dari pinggiran Kota Cilegon. Usia 16 tahun dan datang ke Rumah Dunia terkadang masih berseragam Madrasah Aliyah.
Kelas menulis Rumah Dunia angkatan ke-5 menjadi kegiatan rutin di akhir pekan. Setahun dua tahun di Rumah Dunia, tidak ada karya satu pun lolos ke media. Tapi di masa itu juga banyak belajar banyak tentang organisasi, kerelawanan, dan kemampun berdiskusi.
Sebab keterlambatan saya menulis adalah banyak typoo, apalagi penggunaan huruf G, A, dan H yang sering tertinggal tanpa di sadari. Ini pun menjadi pertanyaan besar, kenapa bisa terjadi? Bahkan hingga saat ini pun masih saja terjadi.
Napak Tilas Menjadi Penulis
Lalu, pecah telur ketika mengikuti sayembara penulisan cerpen nasional di tahun 2007. Cerpen berjudul "Boneka Gajah yang Bisa Bertelur" mendapatkan penghargaan juara ketiga, mengalahkan ribuan cerpen lainnya dari penulis seluruh Indonesia.