Pedagang yang bebas berdagang pun kemudian menimbulkan masalah lain, yaitu sampah. Sampah sisa dagangan dilempar ke dalam sungai. Akibatnya aliran sungai penuh dengan tumpukan sampah.
"Lucu juga ketika orang dinas membuat jaring-jaring pelindung sungai yang nilai anggarannya besar itu. Jadinya sia-sia. Sampah masih bisa masuk sungai, kok, dari lubang-lubang jaring," kata Pakde Kardi.
Kesadaran pedagang memang kurang, ini karena tidak ada aturan yang jelas juga. Harusnya ada aturan semacam perda berupa denda kepada yang membuang sampah di sungai. Tidak perlu jaring, yang penting ada CCTV yang bisa melihat siapa saja yang membuang. Dari CCTV bisa kelihatan siapa yang membuang sampah ke sungai harus kena denda.
Masalah sampah tidak hanya pada aliran sungai, tapi juga terdapat penumpukan di berbagai tempat. Pengelolaan sampah yang juga buruk ini, akibatnya menimbulkan bau busuk. Pemandangan pasar jadi tidak menarik dan terkensan kumuh.
Selain sampah, penambah makin runyemnya pasar adalah ketidak jelasan adanya tempat parkir dan lalu lintas kendaraan yang bebas keluar masuk tidak sesuai dengan jalur.
Berbagai kendaraan penuh sesak di jalan, baik itu mobil ukuran besar yang sedang bongkar muatan, kendaraan pribadi dan kendaraan angkutan umum yang bebas parkir dimana saja.
Padahal fasilitas parkir sudah tersedia. Namun karena tidak ada ketegasan dari petugas yang mengatur lalu lintas, akhirnya jalan pun makin terlihat semerawutnya.
"Petugas Dishub yang tidak tegas untuk mengatur kendaraan dari  pintu masuk dan keluar. Kendaraan melawan arah pun dibiarkan. Akibatnya lalu lintas jadi macet," kata Pakde.
Dahulu sebenarnya sudah dibangun terminal untuk angkutan umum. Para sopir angkot bisa menunggu penumpang sesuai trayek perjalanan angkot. Namun sayangnya sekarang sudah tidak ada.