Perkenalan saya dengan Pakde serasa membuka realita kehidupan Pasar Keranggot Cilegon yang penuh carut marut.
Katanya, Pasar Keranggot menjadi pasar traditional terbesar di Asia Tenggara. Namun besaran luas pasar tidak sebanding dengan pengelolaan yang berkelas.
Pakde menceritakan jika saat ini Pemerintah Kota Cilegon tidak bisa mengelola pasar dengan baik. "Pasar ini semerawut, gak keurus, dan semaunya," kata Pakde yang sudah berjualan di Pasar Kranggot sejak awal berdiri.
Beberapa persoalan klasik yang tidak bisa ditangani adalah penertiban pedagang. Pemerintah sebenarnya sudah membuat auning yang lokasinya masuk ke dalam pasar. Namun, para pedagang memilih meninggalkan auning dan pindah ke depan, yaitu berderet di pinggir jalan.
"Ini sebenaranya pembuatan auning yang tidak tepat. Pedagang kemudian memilih maju ke depan pasar, itu karena jika di auning tidak ada orang datang mau beli. Akses jalan kotor membuat banyak orang malas datang," kata Pakde.
Sekarang anggaran pembangunan auning jadi sia-sia, karena mementingkan proyek pembangunan tanpa adanya rencana keberlangsungan pemberdayaan pedagang.
Seiring berjalannya waktu, pedagang yang berjualan di emperan jalan pun tidak bisa ditertibkan lagi. Menambah carut marut kondisi pasar. Apalagi di pasar ini tidak ada kejelasan terkait pengelompokan jenis dagangan, sehingga semua menyatu.
Kendati demikian, setiap hari ada petugas narik iuran kepada pedagang. Bisa sampai berkali-kali dalam sehari. Artinya, meski pun melanggar aturan asalkan bayar iuran, pedagang akan tetap berjualan.
"Setiap hari pedagang ditarik iuran dua ribu rupiah. Terus aja gitu berulang-ulang sepanjang hari. Entah uangnya masuk ke mana?" kata Pakde.