"Setalah Jalan Lingkar Selatan dikorupsi, jangan-jangan Jalan Lingkar Utara juga," kata seorang teman yang menulis di status whatsaps.
Saya jadi tertarik untuk membalas pesan itu. "Ada apa, lur? Kenceng amat."
"Kelakuan pejabat Cilegon, Lur. Ada bekas Kepala Dinas masuk penjara karena korupsi. Sudah terlalu banyak koruptor, ampun," kata teman saya.
Saya sebenarnya sudah tahu apa yang dimaksud, beritanya sudah menyebar di sejumlah media online. Bekas Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Cilegon kini menjadi tahanan Kejaksaan Tinggi Banten. Pak Nana Sulaksana diduga tersangkut kasus  korupsi proyek pembangunan Jalan Lingkar Selatan (JLS) pada tahun 2013 lalu.
Pak Nana bersama dua orang kontraktor, Dhony Sudrajat dan Syachrul, keduanya ditahan karena sudah memenuhi syarat formil dan materil. Kejati kemudian melakukan tahap 2 ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Cilegon.
Jaksa menetapkan ketiganya sebagai tersangka setelah menemukan kerugian negara Rp 1,3 miliar. Temuan ini justeru berawal dari penyelidikan ambruknya jembatan di KM 8 arah Anyer pada tahun 2018 lalu.
Setelah diselidiki, proyek pembangunan JLS Cilegon yang dikerjakan oleh PT Respati Jaya Pratama diduga mengalami ketidaksesuaian dalam volume pekerjaan. Pengerjaan proyek ini dilakukan pada tahun 2013 dengan besaran anggaran Rp 14 miliar.
Rupanya, penetapan Pak Nana sebagai pejabat adalah yang kedua kalinya di tahun 2020 ini. Sebelumnya, awal Juli, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Dinas Pekerjaan Umum Kota Cilegon, Pak Bakhrudin lebih dulu divonis bersalah merugikan keuangan negara sebesar Rp900 juta lebih atas kegagalan pembangunan yang mengakibatkan jalan roboh.
Pada saat itu anggaran proyek pembangunan lapis beton JLS senilai Rp 12,7 miliar pada 2014. Pak Bakhrudin kemudian diganjar 2,6 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan.
Sementara baru Pak Nana dan Pak Bakhrudin yang merasakan pesakitan. Namun jangan salah, penyidikan dugaan penyalahgunaan proyek pembangunan JLS masih terus dikembangkan. Ada kemungkinan praktik semacan ini terstruktur dan harus menemukan aktor intelektualnya.
Pembangunan JLS
Sejarah pembangunan JLS terbilang cukup lama dengan anggaran mengucur deras. Dimulai tahun 2001 hingga 2002 untuk pembebasan lahan seluas 63.548 hektare dengan total biaya Rp32 miliar.
Tahun 2003 sudah mulai pembangunan kontruksi dengan penyiapan badan jalan, pembuatan jembatan hingga pengerasan jalan sampai pengaspalan jalan. Wali Kota Cilegon Tb Aat Safaat yang saat itu menjabat, menyebutkan hingga realisasi pembangunan JLS sampai tahun anggaran 2009 sebesar Rp159.324.202.700 (sumber fesebuk banten news)
Sayangnya, JLS yang kemudian diresmikan 1 Januari 2010 tidak bertahan lama. Kondisinya memburuk seiring penggunaan JLS dilewati kendaraan berat. Aspal mengelupas dan membentuk banyak lubang. JLS jadi tidak layak untuk dilintasi kendaraan.
Kondisi yang makin memburuk ini kemudian mendapatkan suntikan dana segar. Perbaikan JLS tahun 2011, Provinsi Banten menyumbang Rp20 miliar diperuntuhkan untuk pekerjaan konstruksi beton 1,6 kilometer. Sedangkan Cilegon dari APBD sebesar Rp 3 miliar untuk pembangunan penunjang seperti saluran air.
Selanjutnya, anggaran perbaikan JLS terus mengalir, diantaranya untuk proyek-proyek yang menjadi temuan korupsi di atas.
JLS Berubah Nama Jalan Aat-Rusli
Setelah melewati waktu panjang, JLS kemudian berganti nama menjadi Jalan Aat-Rusli. Walikota Cilegon Edi Ariadi meresmikan Jalan Aaat-Rusli pada Riung Mumpulung Hari Ulang Tahun (HUT) ke-20 Kota Cilegon, 27 April 2019.
Nama Aat Rusli diambil dari nama depan mantan pasangan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Cilegon periode 2005-2010 yaitu Tb Aat Syafa'at dan Rusli Ridwan. Mereka dinilai sebagai sosok yang mempunyai kontribusi besar pada pembangunan di Kota Cilegon.
Mengingat sedang membahas korupsi pembangunan JLS, rupanya nama yang resmi digunakan juga tersandung korupsi. Â Almarhum Pak Aat dinyatakan korupsi pembangunan Dermaga Trestle Kubangsari oleh KPK pada April 2012.
Almarhum Pak Aat disebut merugikan negara sekitar Rp 11,5 miliar atas perbuatannya melakukan rekayasa pemenang lelang dan menggelembungkan harga pembangunan dermaga.Â
Vonis hukuman penjara selama 3 tahun 6 bulan harus diterimanya, serta diwajibkan membayar denda Rp 400 juta dan membayar uang pengganti Rp 7,5 miliar.
Bagaimana dengan JLU?
Setelah menyelesaikan pembangunan JLS, Pemkot Cilegon juga membangun Jalan Lingkar Utara (JLU). Di tahun 2020, dikutip dari detakbanten.com, alokasi anggaran pembebasan lahan disiapkan Pemkot Cilegon sebesar Rp48 miliar. Pembangunan badan jalan dianggarkan sebesar Rp16 miliar dan disokong Dana Alokasi Khusus (DAK) Pusat.
Saat ini, pembangunan baru di tiga keluarahan saja. Itu pun kondisinya tidak terawat dan terbengkalai.
Entah bagaimana nasib JLU selanjutnya? Pemilihan Kepala Daerah Kota Cilegon yang akan berlangsung 9 Desember nanti, tentu akan bertanggungjawab meneruskan pembangunan mega proyek itu. Semoga siapa pun nanti yang terpilih bisa membawa pembangunan Kota Cilegon lebih baik dan terbebas dari praktik korupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H