Wawan sadar, penghasilan dari produksi genteng tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Butuh proses yang lama dari pencetakan genteng hingga masuk ke dalam tungku kobongan.
"Kapasitas Kobongan hanya bisa memuat sembilan ribu saja. Itu juga butuh proses satu bulan untuk bisa terkumpul, atau jika masuk musim hujan akan lebih lama lagi," katanya.
Membayangkan biaya produksi dan hasil penjualan rasanya sulit untuk dipahami. Wawan sendiri mengaku berat dalam pembelian tanah dan ongkos kirim dari serang. Sementara pembongkaran hasil pembakaran genteng cukup lama.
Harga satuan genteng saat ini Rp700. Sementara kapasitas pembakaran genteng hanya cukup 9.000 saja. Itu pun jika dibongkar, ada yang gagal karena gosong dan pecah bisa mencapai 1.000. Genteng yang layak jual sekitar 8.000. Artinya, dalam satu bulan hanya mampu menghasilkan pendapatan sekitar Rp5.600.000.Â
"Ya, gimana lagi. Jika dihitung-hitung cukup buat makan saja masih kurang," kata Wawan.
"Saya akui, genteng dari Lampung itu lebih bagus dan halus, kelihatan dari warnanya yang merahnya rata," kata Wawan.
Perkembangan kerangka baja untuk kontruksi atap rumah pun membuat genteng tidak lagi dilirik. Inilah alasan kenapa banyak pengrajin meninggalkan Gubug Lio dan membuka usaha lainnya.
"Sejak dulu, sama sekali kita tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah, dalam bentuk apa pun itu. Apalagi perlindungan kesejahteraan para pengrajinnya," kata Wawan.