Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Freelancer - Rahmatullah Safrai

Penikmat kopi di ruang sepi penuh buku || Humas || Penulis Skenario Film || Badan Otonom Media Center DPD KNPI Kota Cilegon

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Generasi Gagal Move On, Apa Bisa Bangkit?

20 Mei 2020   20:12 Diperbarui: 20 Mei 2020   20:11 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari kebangkitan Nasional rutin diperingati setiap tanggal 20 mei. Menjadi momen awal munculnya jiwa nasionalisme dari generasi muda yang tergabung dalam organisasi Boedi Oetomo.

Di tahun 1908 saat itu, para pelajar sudah memiliki kesadaran untuk membangun persatuan tanah air yang tengah dalam penjajahan Belanda.

Boedi Oetomi menggambarkan peran generasi mudah yang memiliki visi yang kuat, didukung ilmu dan pengetahuan. Mereka sadar hanya dengan persatuan dan kesatuan cita-cita kemerdekaan dapat diraih.

Satu abad lebih Boedi Oetomo sudah berlalu, apakah masih ada semangat bangkit dari para milenial saat ini?

Setiap zaman memiliki kehidupan dan tantangannya tersendiri. Namun apa pun situasinya, setiap zaman akan menghadapi permasalahan yang membutuhkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Saat ini kita dalam situasi yang sedang tidak baik-baik saja. Pandemi covid-19 yang muncul di awal tahun 2020 itu belum bisa dikendalikan. Begitu juga yang terjadi di Indonesia, masalah yang ditimbulkan berdampak pada seluruh sektor kehidupan.

Sudah dua bulan pemberlakukan kerja dan sekolah di rumah saja untuk memutus mata rantai penyebaran covid-19. Sayangnya generasi kita saat ini begitu bebal, ribuan nyawa melayang pun tidak dijadikan pelajaran berharga.

Kita berada di generasi yang sukar untuk move on. Terlalu asik bermain dengan dunianya sendiri. Terlalu bangga dengan materi yang dimiliki. Terlalu naif dalam mengeluh dan menyalahkan situasi yang tidak menguntungkan.

Contoh generasi yang susah move on adalah mereka yang tidak lagi menggunakan akal sehat dalam berbuat. Ego pribadi lebih diutamakan hanya untuk sebuah kebebasan tanpa berfikir dampak yang muncul untuk lingkungannya.

Bertahan di rumah aja sulit untuk diterapkan. Padahal dengan begitu bisa memutus mata rantai penyebaran virus yang belum ada obatnya itu.

Saya pun termasuk orang yang paling bosan mendengar kata covid-19 atau virus corona. Sebuah kata yang sudah mengurung kita di rumah dan harus menjalani hidup baru yang dipaksa untuk normal. Tidak gampang memang, namun di rumah saja menjadi jalan terbaik untuk menyelamatkan diri dan keluarga.

Namun sayangnya, waktu yang terus berlalu tanpa ada kabar kurva pandemi covid-19 segera berakhir. Kemudian muncul banyak sosok yang senang menjunjung sifat egois dan merasa hebat dengan berkeliaran di luar rumah. Menantang maut di tengah pandemi.

Jalan-jalan kembali penuh oleh orang mudik menuju kampung halaman. Pusat perbelanjaan kembali ramai dengan orang-orang berburu baju baru untuk lebaran. PSBB tidak ada artinya lagi.

Tingkah konyol pun merasupi dunia maya. Generasi muda lebih suka ngeprank ditengah bencana kemanusiaan yang membuat kita sebal. Belum lagi influenser yang bebas berbicara tanpa disaring di media sosial yang kemudian membuat gaduh.

Dua bulan bertahan di rumah aja bisa menjadi bosan. Kangen mall, bioskop, sekolah, kampus, jalan-jalan, dan aktifitas lainnya. Ini wajar! Cukup dengan akal yang sehat kita bisa menjadikan ini semua sebagai pelajaran bertahan hidup.

Sayangnya, di rumah aja tidak membuat generasi susah move on itu mampu menyadari arti penting kehidupan dan masa depan. Momen puasa tidak dimanfaatkan untuk bermuhasabah diri dan mendekatkan diri kepada Allah. Padahal di rumah aja juga bisa membangun diri menjadi produktif dan berkualitas dengan kreatifitas yang diciptkan.

Di Hari Kebangkitan Nasional ini seharunya menyadarkan kita akan pentingnya bersama-sama bangkit memutus mata rantai penyebaran virus corona. Hanya butuh beberapa minggu bertahan di rumah, tanpa perang grilia bertahun-tahun seperti para pejuang kemerdekaan bangsa ini.

Kita memang tidak bisa move on dari kerinduan akrifitas seperti biasanya. Kita hanya butuh waktu sebentar untuk menahan rindu agar bisa kembali menjelajah ke mana saja.

Tahan dulu jangan keluar rumah. Kita tidak merasa sendiri jika sama-sama melalukan hal yang sama. Ini bisa kita lakukan sebagai penghargaan kepada para pejuang kesehatan, yaitu tenaga medis yang sudah mengabdi dalam merawat para pasien.

Para tenaga medis ikut terkurung di rumah sakit dengan alat pelindung diri seperti astronot. Mereka juga capek dan panas. Nyawa jadi taruhannya. Kita hanya cukup di rumah aja bisa bebas bersantai dan bisa menyelamatkan diri dari serangan virus.

Ayolah, Indonesia akan bangkit melawan virus corona dengan peran kita yang patuh akan aturan. Di rumah aja adalah sebuah perjuangan dan bernilai kemanusian dengan harkat tertinggi.

Berharap esok kita terbangun dari kesadaran untuk menata hidup lebih baik. Saat ini cukup di rumah saja, meskipun lebaran sebentar lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun