Perayaan Waisak oleh umat Buddha bisa tetap harmonis dengan warga lokal yang sedang melaksanakan ibadah puasa. Pemandangan ini bisa dilihat dari aktifitas di masing-masing tempat ibadah, Vihara Avalokitesvara dan Masjid Agung di Kawasan Banten Lama. Nilai-nilai toleransi yang tetap terjaga sejak abad ke-16 hingga saat ini.
Keberadaan agama buddha dan tempat ibadahnya ini tidak lepas dari peran Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Setelah terjadi pernikahan dengan putri kaisar Cina bernama Putri Ong Tien, Sunan Gunung Jati memberikan kebebasan kepada para pengikut Putri Ong Tien untuk bermukim dan mendirikan tempat ibadah di sebelah utara Masjid Agung Banten.
Berdasarkan cerita dalam buku Ragam Pusaka Budaya Banten (2005) latar belakang sejarah pendidiran vihara dihubungkan dengan cerita masyarakat setempat. Pada zaman dahulu ada rombongan dari Cina singga ke Banten sebelum melanjutkan perjalanan ke Tuban. Sayangnya ketika singgah di Banten terjadi persiteruan dengan warga setempat.
Perseteruan itu kemudian menjadi perkelahian. Rombongan Cina yang dipimpin oleh Putri Ong Tien mengalami kekalahan. Berawal dari persiteruan kemudian menjadi cinta. Sunan Gunung Jati  menjadikan Putri Oang Tien sebagai istri.
Putri Oang Tien kemudian memeluk islam dan hidup bersama Sunan Gunung Jati di Cirebon sampai masa akhir hayatnya. Sementara para pengikutnya terbelah menjadi dua, ada yang memeluk islam, ada yang tetap mempertahankan keyakinan Buddha. Mereka mendirikan pemukiman di sebalah utara Masjid Agung Banten yang dikenal sebagai Pecinan atau Kampung Cina.
Keberadaan umat Buddha ini kemudian dibangun Vihara Avalokitesvara yang dimulai sejak 1542, tepatnya di Desa Dermayon dekat dengan Masjid Agung Banten. Namun, pada tahun 1774 vihara dipindahkan ke Kawasan Pamarican hingga sekarang. Pemberian nama Avalokitesvara berasal dari bahasa Sanskerta, artinya untuk Dewi Kwan Im yang diyakini suka menolong manusia dari berbagai kesulitan.
Seiring berjalannya waktu, terjadi percampuran perkawinan dan budaya warga pendatang dari Cina dan warga lokal. Hingga kini bukti sejarah bisa dilihat dengan keberadaan Masjid Tinggi Cina yang kondisinya sudah tidak utuh dan menyisahkan mimbar dan menara saja. Bukti lainnya adalah Vihara Avalokitesvara yang kini masih terawat dan dijadikan tempat ibadan.
Vihara Avalokitesvara disebut juga sebagai Klenteng Tri Darma, karena vihara ini melayani tiga kepercayaan umat sekaligus, yaitu Kong Hu Cu, Taoisme, dan Buddha. Â Berdiri di atas tanah seluas 10 hektare, vihara ini bisa dikunjungi oleh siapa pun, termasuk para wisatawan yang sekedar ingin berkunjung untuk menikmati keindahannya.
Perayaan upacara keagamaan seperti Waisak setiap tahun dilaksanakan di Vihara ini. Di tengah pandemi covid-19, perayaan dibatasi dan tidak seramai seperti biasanya. Meski begitu, segala perayaan keagamaan Islam dan Budha, warga selalu terlibat bersama dan saling menghargai.
Ketua Pembina Yayasan Vihara Avalokitesvara Sutanta Ateng dalam suatu kesempatan bercerita, dahulu pendatang dari Cina banyak mengajarkan warga lokal tentang ilmu pertanian, perdagangan, dan pengobatan. Inilah yang kemudian keberadaanya diterima oleh warga lokal. Bahkan sampai terjadi pernikahan antar keduanya. Hubungan menjadi erat karena ada ikatan keluarga.
Selama ratusan tahun, kerukunan umat beragama terlihat jelas ketika umat Buddha merayakan upacara keagamaan Waisak, tidak ada pertentangan dari warga lokal. Begitu juga saat warga lokal merayakan puasa, lebaran, dan perayaan keagaman lainnya, umat Buddha turut bersuka cita.
"Saat momen keagamaan, biasanya saling berbagi sedekah, entah itu beras atau makanan, bahkan uang," kata Pak Ateng.
Ada cerita unik lainnya, ketika terjadi letusan Gunung Anak Krakatau pada tahun 1882 yang mengakibatkan tsunami, warga sekitar menjadikan vihara sebagai tempat berlindung. Meski pun jarak dengan laut selat sunda sangat dekat, Vihara ini justru terlindung dari gelombang tsunami. Warga sekitar pun selamat dari amukan air bah Selat Sunda itu.
Bukan hanya itu saja, pada saat Banten dilanda wabah penyakit pes yang membunuh sepertiga penduduknya, warga Cina melakukan ritual keagaam mengusir wabah. Atas permintaan Sultan, diadakan ritual Patung Dewi Kwan Im diarak keliling kampung.
Ternyata setelah dilakukan arak-arakan wabah penyakit itu hilang. Penduduk di Banten pun bisa kembali melakukan aktivitas dan kegiatan secara normal. Tradisi mengarak Patung Dewi Kwan Im atau biasa disebut Gotong Petekong bermula dari ritual ini. Sayangnya, kini tradisi itu sudah tidak lagi dilaksanakan.
Sejarah mengajarkan kita, bahwa perbedaan keyakinan dan etnis menciptakan kekayaan budaya di Banten. Hingga kini perayaan keagamaan Islam dan Buddha tetap berjalan dan menghargai satu sama lain. Nilai-nilai toleransi yang sepatutnya dijadikan contoh untuk generasi saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H