Selama ratusan tahun, kerukunan umat beragama terlihat jelas ketika umat Buddha merayakan upacara keagamaan Waisak, tidak ada pertentangan dari warga lokal. Begitu juga saat warga lokal merayakan puasa, lebaran, dan perayaan keagaman lainnya, umat Buddha turut bersuka cita.
"Saat momen keagamaan, biasanya saling berbagi sedekah, entah itu beras atau makanan, bahkan uang," kata Pak Ateng.
Ada cerita unik lainnya, ketika terjadi letusan Gunung Anak Krakatau pada tahun 1882 yang mengakibatkan tsunami, warga sekitar menjadikan vihara sebagai tempat berlindung. Meski pun jarak dengan laut selat sunda sangat dekat, Vihara ini justru terlindung dari gelombang tsunami. Warga sekitar pun selamat dari amukan air bah Selat Sunda itu.
Bukan hanya itu saja, pada saat Banten dilanda wabah penyakit pes yang membunuh sepertiga penduduknya, warga Cina melakukan ritual keagaam mengusir wabah. Atas permintaan Sultan, diadakan ritual Patung Dewi Kwan Im diarak keliling kampung.
Ternyata setelah dilakukan arak-arakan wabah penyakit itu hilang. Penduduk di Banten pun bisa kembali melakukan aktivitas dan kegiatan secara normal. Tradisi mengarak Patung Dewi Kwan Im atau biasa disebut Gotong Petekong bermula dari ritual ini. Sayangnya, kini tradisi itu sudah tidak lagi dilaksanakan.
Sejarah mengajarkan kita, bahwa perbedaan keyakinan dan etnis menciptakan kekayaan budaya di Banten. Hingga kini perayaan keagamaan Islam dan Buddha tetap berjalan dan menghargai satu sama lain. Nilai-nilai toleransi yang sepatutnya dijadikan contoh untuk generasi saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H