Kelap-kelip lampu penerangan membuat suasana lebih terasa berbeda. Saat malam hari udara juga akan terasa lebih sejuk. Sangat cocok untuk bersantai dan menikmati malam setelah melaksanakan ziarah kubur di makam Sultan Banten.
Cahaya indah juga terlihat pada ciri khas masjid ini, yaitu menara yang bentuknya menyerupai micusuar. Menara setinggi 24 Meter masih mempertahankan keaslinya. Dibangun oleh arsitektur asal Belanda, Hendick Lucasz Cardeel. Lampu warna warni akan menerangi seluruh bagian menara ini.
Oh iya, masjid bersejarah dalam kejayaan Kesultanan Banten ini memiliki nilai akulturasi dari berbagai bangsa. Sejak awal pendiriannya, Sultan Banten telah melibatkan para arsitek terkemuka, seperti perancang kontruksi awal yang sangat kokoh berasal dari Kerajaan Majapahit, yaitu Raden Sepat. Pengalaman membangun masjid di Cirebon dan Demak memang sangat diandalkan.
Arsitek lainnya seperti Hendick Lucasz Cardeel, sempat membangun beberapa bagian masjid pada zaman Sultan Haji, seperti membuat pavilium dan menara. Ada sentuhan gaya Eropa dan Belanda kuno yang menghiasi ornamen masjid.
Arsitek lainnya berasal dari Cina juga dilibatkan untuk mendesain atap masjid. Tjek Ban Tjut membangun atap masjid mirip dengan pagoda Cina.
Masjid Agung Banten seolah mengajarkan kita arti keindahan dari berbagi kebudayaan. Masjid Agung Banten yang memiliki ciri seperti masjid di Pulau Jawa pada umumnya, namun jika dilihat lebih detail akan kaya dengan ornamen yang berasal dari Eropa, Cina, dan Arab. Hal ini selaras dengan kondisi Kesultanan Banten yang menjadi pusat perdagangan dunia di zamannya.
Sayang banget pada saat datang, pengunjung tidak bisa masuk ke dalam masjid untuk mengambil foto. Hal ini dikarenakan untuk mengantisipasi penyebaran virus corona. Tapi tidak apa-apa, ketika tidak banyak pengunjung, saya bisa lebih puas menikamati pemandangan indah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H