Perempuan memang selalu ingin dimengerti. Lantas apakah pria benar-benar memahami?
Urusan rumah tangga, saling mengerti dan memahami antara suami dan istri menjadi pondasi yang ditanampakan dalam menjaga harmonisasi. Tanpanya, rumah tangga bisa terasa hampah dan terancam runtuh.
Seperti yang dialami rekan kerja saya, seorang ibu muda yang memilih untuk mengajukan perceraian kepada suaminya. Setelah tiga tahun bersama  dan mendapatkan seorang putra, di meja pengadilan semua akan berakhir.
"Aku ketahuan selama ini melakukan orgasme palsu," katanya ketika mencoba membuka diri dengan persoalan yang dihadapinya. Saya dan Ibu Siva di ruang kerja merasa tersentak dengan pengakuannya.
Perempuan itu adalah staf yang paling riang di kantor. Keramahan dan keceriaan membuat seisi kantor menyukainya. Ia juga partner kerja yang sangat koopratif dalam menyelesaikan tugas kantor.
"Aneh ya, kedengarannya?" katanya mencoba tegar dan menahan air mata. Ibu Siva langsung memberikan pelukan.
"Selama ini kita bukan tidak peduli dengan perubahan yang kamu alami. Mungkin ini saatnya kita bisa saling bicara untuk meringankan beban yang kamu hadapi," kata Ibu Siva dengan kelembuatannya.
Ia kemudian menangis dengan kencangnya. Saya kemudian mengunci ruang kantor agar tidak ada yang masuk ke dalam ruang bagian Humas. Persoalan sensitif semacam ini butuh ruang privasi lebih.
Setelah merasa cukup melepaskan air mata, perempuan lulusan Ilmu Komunikasi itu kemudian bercerita. Sejak melahirkan buah hati dua tahun lalu, ada perubahan yang dialami saat bercinta dengan suaminya. Persoalan yang disebabkan kondisi tubuh yang kelelahan mengurus bayi dan tetap bekerja usai masa cuti habis.
Rupanya, meski pun sarjana komunikasi, bicara masalah bercinta masi sulit dilakukan. Dalam kondisi tubuh yang lelah, suami tetap ingin dilayani. Melakukan orgasme palsu kemudian dilakukan demi memberi kenyamanan pada suami. Sayangnya apa yang dilakukan secara berulang-ulang itu justeru bukan solusi.
Hingga pada akhirnya suami sadar, orgasme yang dilakukan istrinya ternyata palsu. Namun bukannya memperbaiki komunikasi bercinta, suami menganggap istrinya melakukan dusta. Hubungan rumah tangga mereka pun tinggal menunggu waktu di persidangan.
"Aku salah karena terlalu mengalah," Â katanya lirih.
Persoalan orgasme palsu, istri saya pun pernah mengalaminya. Pada saat putra kami berusia enam bulan, di mana sedang aktif bergerak dan kuat menyusu, membuat kondisi tubuh istri kelelahan.
Di usia pernikahan ke dua tahun, persoalan bercinta harusnya sudah saling peka antar pasangan. Saat itu saya merasakan betul sejumlah perubahan pada istri saat bercinta, yaitu nafas stabil dan suara rintihan yang tidak biasanya.
Menyadari itu semua, saya mencoba bertanya baik-baik kepada istri, tentu saja saat istri dalam kondisi yang baik juga. Istri kemudian mengatakan jika saat bercinta tidak bisa menikmatinya. Kondisi tubuh sudah cukup lelah mengurus anak dan pekerjaan rumah lainnya, membuat kondisi tubuh hanya ingin istirahat untuk melepaskan lelah.
Persoalan orgasme palsu saat bercinta mungkin dialami juga oleh banyak pasangan. Seharusnya bercinta menjadi aktivitas yang saling mendapatkan kepuasan.
Saya kemudian menurunkan ego, tiap kali ingin bercinta selalu menanyakan kesiapan istri. Jika kelelahan menjadi faktor utama, sepertinya suami juga harus paham dengan pekerjaan rumah yang dilakukan istri, caranya dengan membantu menyelesaikan pekerjaannya.
Tidak ada salahnya jika sebelum berangkat kerja mencuci semua baju. Sementara istri menyiapkan sarapan. Sepulangnya kerja, mengasu anak bisa dilakukan oleh suami, sedangkan istri bisa istirahat atau mengerjakan apa yang disukainya.
Jalan-jalan sore bersama istri dan anak pun bisa dilakukan meski hanya sekedar keliling komplek. Mengajak istri makan di tempat favorit saat awal menikah pun bisa dilakukan untuk membangun kemesraan seperti dulu.
Oh iya, urusan bercinta juga dibutuhkan tubuh rilex. Memberikan pijatan kecil ke istri juga bisa dijadikan sebagi pemanasan. Saya biasa melakukan pijatan di pundak dan punggung saat istri sedang menyusui anak. Perhatian sekecil apa pun pada istri akan berdampak pada kebahagiaan.
Belajar dari pengalaman, jangan memaksakan bercinta dalam kondisi salah satu pasangan tidak baik. Istri bisa mengatakan dengan baik jika tidak siap. Begitu juga suami yang harus memahami istri.
Memberikan pijatan kecil, ciuman, sentuhan, gombalan mesrah, dan pelukan bisa jadi alternatif untuk bisa menjaga keharmonisan keluarga. Seiring bertambah usia pernikahan, secara naluri akan mengetahui kesiapan untuk berhubungan. Begitu juga memahami cara lain untuk memberi kepuasan tanpa harus melakukan hubungan seksual.
Apa yang dialami oleh rekan kerja saya ini, bisa jadi tidak terbangun komunikasi antar suami dan istri. Pembiaran yang dilakukan berulang hanya akan menimbulkan efek negatif yang tidak akan mendapatkan solusi.
Wahai para suami, cobalah turunkan ego dan memahami istrimu. Begitu juga istri, ada kalanya suami juga sedang tidak dalam kondisi baik untuk bercinta. Sejatinya kualitas kepuasan tidak bisa diselesaikan pada orgasme palsu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H