"Anak-anak itu matanya udah tajam-tajam, seperti mau membunuh aja gitu."
Hati saya tersentak keras dengan ucapan semacam itu. Bagaimana bisa ada orang yang memandang demikian kepada anak-anak?
Apa mau dikata, benar adanya seperti itu. Rupanya yang melontarkan adalah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md yang dikutip dari berita di www.tempo.co, Jumat 10 Februari 2020.
Saya menyesali perkataan Pak Mahfud yang memberikan label  negatif kepada anak-anak Warga Negara Indonesia (WNI) di Suriah yang diduga terlibat jaringan teroris.Â
Sebelumnya Pak Mahfud juga mengungkapkan, sekitar 6 ribu WNI yang diidentifikasi sebagai teroris asing atau foreign terrorist fighters (FTF). Sementara sebanyak 187 di antaranya berada di Suriah, terdiri dari 31 pria, selebihnya perempuan dan anak-anak.
Sebagai orang tua yang memiliki anak-anak yang dicintainya, tidak selayaknya Pak Mahfud memberi label negatif seperti itu pada anak. Mereka hanya lahir dan dibesarkan di Suriah. Setiap hari yang dilihat adalah peperangan.
Pak Mahfud pasti paham dengan karakter anak, di mana kepribadiannya memang terbentuk dari kondisi lingkungannya. Situasi Suriah yang setiap hari perang. Warga disana hanya bisa berfikir bagaimana bisa bertahan menyelamatkan diri atau maju untuk melawan.
Entah apa yang menjadi indikator Pak Mahfud ketika menyebut, Mata anak-anak seperti ingin membunuh? Sebuah ungkapan yang memberikan konotasi buruk pada anak.
Lantas, apakah Pak Mahfud sudah menjumpai mereka secara langsung?
Jika pun Pak Mahfud bertemu anak-anak WNI di Suriah, seharusnya jiwa seorang ayah keluar. Pak Mahfud pun pasti berfikiri untuk melindungi dan membawa pulang ke Tanah Air untuk diberikan pendidikan yang baik.
Jika pun ada temuan anak-anak terindikasi terpapar paham terorisme, seharusnya ada strategi penanganan khusus anak yang dilakukan. Anak-anak tidak seharusnya disamakan dengan orang dewasa. Begitu juga dalam persidangan yang berlaku, seharunya ada hak istimewa bagi anak-anak.
Padahal itu hanya baru dugaan saja. Proses pengadilan pun belum digelar untuk membuktikan anak-anak itu bagian dari teroris atau bukan. Anak-anak juga belum tentu paham dengan teroris itu sendiri.
Melabelkan anak-anak sebagai teroris justru bisa membahayakan pada diri anak. Padahal mereka adalah anak Indonesia yang memiliki hak yang sama untuk diselamatkan oleh Negara Indonesia.
Teen Expert & Youth Speaker Josh Shipp yang dikutip dari empoweringparents.com, menyebutkan bahwa ketika seorang anak terus mendengar label negatif yang diberikan orang tua, maka anak akan mulai mempercayai label itu. Anak akan sibuk memikirkan label itu, lalu menilai dirinya seperti itu dan bahkan akan bersikap sesuai label yang  diterima.
Dari pada memberi label negatif, lebih baik memberi perhatian positif terhadap masa depan mereka. Memulangkan ke Indonesia jika menganggap Suriah sedang tidak aman. Memberi pendidikan yang baik untuk menghapus pikiran terhadap teroris.Â
Jangan memperlakukan anak-anak seperti orang dewasa. Mereka seperti sebuah gelas, jika tidak hati-hati membawanya maka akan pecah. Begitu juga memberlakukan pada anak, jika tidak diberikan perlindungan dan bimbingan yang baik, maka masa depannya akan rusak.
Menurut saya, memberikan label negatif pada anak adalah sebuah kejahatan untuk membunuh anak itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H