Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Freelancer - Rahmatullah Safrai

Penikmat kopi di ruang sepi penuh buku || Humas || Penulis Skenario Film || Badan Otonom Media Center DPD KNPI Kota Cilegon

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Natal dan Aqidah yang Diperdebatkan

26 Desember 2019   01:24 Diperbarui: 26 Desember 2019   04:35 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiasan pohon natal (Foto: Pixabay)

"Selamat memperingati Natal," demikian kalimat yang saya kirimkan melalui pesan di media sosial. Dari sekian pesan yang saya kirim, ada yang menjawab dengan kalimat terkejutan. "Wah dapat ucapan. Gak nyangka asli," kata kawan saya.

Ditengah perdebatan, apakah boleh mengucapkan selamat natal atau haram? Saya memiliki keputusan tersendiri untuk mengucapkan selamat natal kepada orang terdekat. Tentu saja setelah mendapatkan literatur yang cukup sebagai pendukung.

Sebelum ramai-ramai membahas larangan ucapan natal, saya sebagai seorang muslim malah sudah sering mengucapakan "selamat natal" kepada umat kristiani di tiap tanggal 25 Desember.

Saya coba bercerita tentang latar belakang kehidupan sosial saya sejak kecil hingga dewasa saat ini. Terlahir di lingkungan perumahan di pinggiran Jakarta yang sudah pluralisme.

Kakek saya Betawi asli, punya tetangga keturunan Tionghoa dan pendatang dari Manado dan Medan yang memeluk kristen. Dari dulu, saat lebaran, imlek, dan natal, semua berjalan baik-baik saja. Saling mengucapkan selamat, mengirim makanan, bagi ampau, saling berkunjung. Itu semua berjalan hingga generasi Ayah dan kemudian saya lahir.

Ketika saya tumbuh dan semakin luas pergaulan sosial, rupanya makin beragam orang yang saya kenal. Wajar jika pada perayaan Natal atau pun Imlek, turut mengucapakan selamat.

Baru beberapa tahun belakangan ini saya mendapatkan banyak ganjalan pendapat soal larangan mengucapkan selamat natal. Alasannya karena menyangkut aqidah dan masuk pada menyamai ritual yang mereka lakukan.

Berhubung tidak ada ayat Al-quran dan hadits yang secara jelas melarang melakukan ucapan natal, kemudian muncul pendapat ulama atau ijtimah para ulama. Nah, disinilah ada ulama yang mengatakan membolehkan dan ada pula ulama yang melarang.

"Babeh, gimana kalo selama ini kita melakukan kesalahan besar," tanya saya pada Ayah beberapa tahun lalu. "Aqidah itu keyakinan, percaya sepenuhnya sama Allah. Ucapan hanya sebatas di mulut, kita juga tidak ikut-ikutan ke gereja atau ke vihara. Artinya, cukup menghormati sesama tetanga saja," kira-kira demikian jawaban Ayah saya saat itu.

Saat keluarga kami merayakan lebaran, para tetangga non muslim mengucapkan selamat lebaran. Mengirimkan paket bingkisan, mau tidak mau kita juga membalasnya. Saling mengirim bingkisan ini juga kemudian menjadi kebiasaan.

Lakum dinukum waliyadin (untukmu agamamu, dan untukku agamaku) yang terdapat dalam Surah Al-Kafirun ayat 6 menjadi pedoman dalam pergaulan antar umat beragama.

Secara praktek yang terjadi bertahun-tahun dengan tetangga non muslim, tiap melaksanakan prosesi ibadah memiliki privacy sendiri. Artinya jelas, kita tidak usah mengikuti apa yang menjadi prosesi ibadah selama natal atau pun saat pelaksanaan imlek.

Ucapan hanya sebagai bentuk media silaturahmi, dalam perayaan tentu akan menimbulkan suka cita bagi yang sedang melaksanakannya. Disini saya memahami tidak sama sekali masuk pada prosesi ibadah natal. Karena ramah tamah dan prosesi ibadah punya perbedaan.

Sesuai keyakinan saya saat lebaran, setelah salat ied, kemudian jadi ajang silaturahmi. Kemudian tetangga non muslim datang dan turut mencicipi hidangan. Apakah mereka ikut-ikutan dalam prosesi ibadah yang kami jalani? Tentu saja tidak, karena itu hanya kumpul-kumpul dalam suka cita hari raya saja.

Tahun lalu, saya mencoba untuk menahan diri tidak mengucapkan selamat natal kepada tetangga dan orang terdekat. Apa yang terjadi? Saya merasakan ada yang hilang dalam kehidupan sosial.

Saya tidak bisa mengukur, apakah rasa kehilangan ini membuktikan iman saya lemah? 

Tentu ada rasa bersalah dan tidak enak hati ketika berpapasan dengan tetangga dan kawan. Kehilangan bagian dari kemanusiaan yang selama ini terbangun dengan keberagamaan. Mencoba membatasi justru terkesan anti sosial.

Membangun kehidupan sosial yang baik tentu harus diawali dengan keterbukaan menerima keberagaman. Itu semua sudah saya alami sejak kecil. Rasanya jika setiap akhir Desember masi ada gejolak perdebatan, ini tidak adil dalam keseimbangan hidup ini.

Jika para ulama saja ada pro dan kontra--tentu bersumber pada pemikiran dan kajian yang mendalam, ini saja menciptakan keberagaman. Memilih mengikuti pendapat ulama yang pro, juga harus siap menghormati pendapat ulama lain yang tidak sejalan. Tidak perlu ada yang merasa benar dan menyalahkan.

Agama dan kemanusian adalah bagian yang tidak terpisahkan. Karena manusia yang beragama akan menjadikan hidup memahami arti dan lebih beradab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun