Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Freelancer - Rahmatullah Safrai

Penikmat kopi di ruang sepi penuh buku || Humas || Penulis Skenario Film || Badan Otonom Media Center DPD KNPI Kota Cilegon

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Maman dan Jamlekon

29 November 2019   12:00 Diperbarui: 29 November 2019   12:44 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jamlekon, makan dulu ya," kata Maman seraya menyuapi monyet peliharaannya dengan sebuah pisang yang sudah dikupas kulitnya. Maka dengan senang hati Jamlekon melahap buah pisang yang menjadi makanan kegemarannya. Jamlekon yang kelaperan ingin nambah, tangannya pun meraih pisang ambon sesisir yang dipegang Maman. Maman segera menarik kebelakang tangannya---menyembunyikan pisang di belakang punggungnya.

"Tunggu dulu, gue juga laper, Kon. Geu makan dulu, abis itu gantian elu lagi. Oke!" Maman memperingatkan. Ia pun memotel sebuah pisang dan mengupas kulitnya. Buah pisang yang siap meluncur kemulut tiba-tiba disaut tangan berbulu Jamlekon. Secepatnya Jamlekon melahap pisang yang disambetnya itu, membuat Maman jadi sebel.

Saking cintanya sama Jamlekon, Maman membuatkan sebuah rumah berukuran 1 X 0,5 meter yang terbuat dari telisprek yang diletakan di atas pohon jengkol tua, yang tumbuh di halaman depan rumahnya.

Maman memiliki keinginan seandainya Jamlekon bisa tinggal di dalam rumahnya, atau di kamarnya juga boleh. Biar lebih asik nonton tv sekeluarga, biasannya sih nonton sinetron kesukaan Emak, atau nonton dangdutan yang gak pernah dilewatkan Bapak, kalo Maman sendiri maniak full film Bollywood. Tapi sayang keinginan itu gak boleh sama Emak dan Bapak.

Saking asiknya, Maman dan Jamlekon makan bareng sesisir pisang ambon sambil nagkring di dahan pohon Jengkol yang tingginnya sampe 5 meteran setiap hari.

Sembarang membuang kulit pisang ke bawah. Bapak yang mau berangkat ke kebun jengkol pun terpeleset, gara-gara menginjak kulit pisang yang tergeletak di atas tanah. Bapak terjerambak ke tanah. Pinggangnya berasa sakit.

"Adu!... adu!.... pinggang Bapak sakit...." rintih Bapak yang kesakitan. 

Bapak merintih kesakitan gak di denger Maman, ya iyalah secara lubang telinga Maman di supel sama handset Ipot, lagi dengerin lagu india kegemarannya.

"Ya Allah, Bapak...." Jerit Ibu sambil berhambur keluar rumah menunju Bapak yang masih duduk tanpa bisa berdiri sendiri. Ibu membantu Bapak berdiri dengan hati-hati. Bapak menahan sakit di pinggangnya. 

"Maman... heh! Apa kupingmu itu budeg, sampe-sampe Bapakmu berteriak-teriak kesakitan kamu gak denger, hah!" Emak berteriak-teriak sambil menadahkan kepalanya ke atas pohon jengkol. 

Maman tidak merespon, cuek aja. Malah asik suap-suapan makan pisang bareng Jamlekon.

Ibu yang jengkel mengambil sandal jepitnya. Ibu mengambil ancang-ancang membidik sendal jepit ke arah muka Maman. Sandal jepit pun meluncur dan tepat mengenai pipi kiri anaknya itu.

Maman kaget ada sendal jepit mencium pipinya. Jamlekon yang juga kaget jadi ketakutan dan langsung masuk ke dalam rumahnya. Sebutir pisang jatuh mengenai peci miring Bapak.

"Anak sialan!" Bapak sudah sangat geram sekali.

Maman mencopot benda yang menyumpel kupingnya itu. Barulah Maman mendengar keributan di bawah.

"Ada apa sih ribut-ribut?" tanya Maman tanpa berdosa.

"Ada sunami di gunung Semeru," kata Emak.

"Masa iya di gunung ada sunami?" Maman tampak memikirkannya.

"Yang gak ada, tolol! Yang ada juga Bapak kamu kepeleset kulit pisang."

"Makannya hati-hati dong, Pak, pake mata kalo jalan," Maman malah menggurui, membuat kedua orangtuannya jadi tambah jengkel.

"Sontoloyo, anak gendeng. Udah salah malah menggurui," gerutu Bapak sambil dibantu berjalan sama Emak.

"I'am sorry, Mom, Dead...." Maman nyengir persis kaya Jamlekon girang di kasih pisang ambon.

Emak mengurut pinggang Bapak di atas bale di beranda rumah. Mereka lagi memikirkan tentang anaknya yang semakin hari kok tingkah lakunya nggak jauh berbeda sama Jamlekon.

Tidak seperti anak-anak tetangga yang bergaul dengan sesama anak manusia, sedangkan Maman sama seekor monyet---alasannya sih biar beda makanya bergaul sama Jamlekon, jangan heran kalo tingkah lakunnya mirip-mirip Jamlekon gitu. Hanya Jamlekon sahabat setia yang bisa menemaninnya sepanjang waktu.

Pertemanan itu berawal dari Gunung Gede saat Maman dalam perjalanan pulang kemping. Maman melihat di atas tanah ada seekor anak monyet terluka. Maman yang gak tega ngeliatnya lekas mengobati, memberinya petadin dan memperban luka. 

Karena gak tega meninggalkan anak monyet itu, Maman pun akhirnya membawanya pulang. Mengurusnya hingga kini dan diberinya sebuah nama Jamlekon, nama belakang Maman -- Maman Jamlekon.

Kalo kisah dari Emak beda lagi. Emak jadi inget 20 tahun yang lalu, saat bulan pertama mengandung Maman. Saking bahagianya mereka karena selama 10 tahun pernikahan baru bisa perut Emak jadi mesin produksi hasil jerih payahnya sepanjang malam sama Bapak. 

Emak emang gak terlalu rewel saat ngidam. Tapi tiba-tiba saja Emak ngidam pengen nonton pergelaran drama tari wayang orang yang menceritakan kisah romantis Rama dan Sinta. 

Sebenarnya sih Emak hanya pengen lihat Agus, salah satu aktor ganteng idolanya itu. Emak gak cerita pengen ketemu Agus yang pernah ditaksirnya, (tapi si Bapak keburu ngelamar duluan) kalo Bapak tahu kan bisa cemburu berat. 

Maka malam itu mereka datang ke sebuah tempat pementasan drama tari itu.
Emak nunggu-nunggu sang Rama yang biasannya diperankan oleh Agus, tapi lama menunggu malah yang menjadi Rama buka si Agus, tetapi orang lain yang gak seganteng Agus. Tapi Emak tetap menunggu. 

Sampai kemudian Hanuman si kerah putih keluar. Ternyata yang jadi Hanuman itu adalah si Agus. Karena udah ngefans banget, biar pun jadi sesosok kera, Agus tetap saja gagah di mata Emak. Mungkin karena itu kali ya kini anak semata wayang yang dilahirkannya berkelakuan mirip Hanuman dan lebih akrab bersahabat dengan bangsa wanara.

Maman turun juga dari pohon jengkol. Ia berjalan sambil makan pisang menuju beranda rumah. Sambil pula garuk-garuk rambut kepalanya yang penuh ketombe, persis kaya Jamlekon.

Emak dan Bapak hanya bisa memirit dada. Mencoba ikhlas dan bersabar menghadapi anak semata wayangnnya itu. Biar pun kelakuannya seperti itu mereka tetap sayang---sayang gak ada anak yang lain dan sayang pula hanya Maman generasi pewaris kebon jengkol keluarga yang berdiri sejak zaman penjajahan.

"Masya allah, Man. Kamu tuh ya, jam segini tampang kamu awur-awuran," kata Ibu.

"Emang aku dedek pakan ayam awur-awuran," sela Maman. Kemudian ia duduk di bangku. Kedua kakinya ikut naik, jadinya nagkring persis bangsa wanara di atas pohon.

"Man, Kamu itu sudah gede. Kamu harus merubah kelakuanmu menjadi lebih baik. Supaya ada anak gadis yang menyukai kamu,"kata Bsapak sambil menahan nyeri.

"Man, bagaimana pun kita sebagai orangtua, pengen melihat kamu segera menikah. Kita pengen punya cucu yang bisa kami timang-timang," kata Emak yang sudah sangat merindukan kehadiran tangis bayi seorang cucu yang kelak menjadi pewaris kebon jengkol dikemudian hari.

"Ya, Emak. Kalo pengen nimang-nimang kan ada Jamlekon. Sekolah aja belum lulus kok keburu di suruh nikah. Baru juga sweet seventin, " Maman celetuk berkata.

Tangannya sudah gak lagi garuk-garuk rambut kepala. Berpindah ke terowongan hidung, jari telunjuknya sibuk ngupil.

"Maksud Emak, harusnya kamu sudah punya pacar, kek, kaya si Sobri tu."

"Man, Bapak jadi ragu, kamu masih normal, kan?" tanya Bapak, kesannya menyepelekan kejantanan putranya itu.

"Eh si Bapak! Perlu bukti? Pejantat tulen nich! Buat apa disunat pake sembilu! Aqikah dua ekor kambing jantan!" Maman menegaskan jati dirinya..

"Kalo normal, kenapa semua anak gadis yang kita kenalkan semuannya gak kamu suka? Sudah dua puluh satu orang loh, Man. Setelah kami seleksi secara ketat dan mengadakan audisi ditujuh kelurahan yang diikuti sepuluh ribu gadis. Semuanya diatas standar para model ibu kota, setara Luna Maya yang jadi model iklan barengan sama monyet itu. Kita gak sembarangan memilih, sesuai standar tiga B. Bodi bohai, Bisa bebenah rumah, Bisa masak jengkol."

"Iya, tapi mereka itu gak ada yang cocok pas orentasi penjajakan. Aku juga ada standar tiga B plus satu B: Bisa manjat pohon jengkol, Bisa nyuapi pisang untuk Jamlekon, Bisa bersahabat dengan Jamlekon, terus punya monyet betina yang bisa dijodohkan sama Jamlekon."

"Astagfirullah, ampun ya Allah. Man, kalau keinginan kamu begini, sampai lebaran monyet juga gak ada yang mau sama kamu!" Bapak serasa sudah putus asa. "Kalau kamu terus-terusan begini dan gak kawin-kawin, terus nanti siapa generasi penerus pewaris perkebunan jengkol keluarga kita."

"Bapak, Emak, jangan khawatir. Maman pasti kawin nanti. Jangan dipikirin. Kalau Allah sudah kun fa yakun, jodoh nanti dateng sendiri."

"Tapi kalo tanpa ikhtiar sampai nunggu kapan, Man?"

Maman sudah selesai memandikan Jamlekon sore itu. Mereka berdua pun berniat jalan-jalan keliling kampung. Sang Hanuman ingin mengembara dalam pencarian cinta.

Ketika di perempatan jalan kampung, Maman berpapasan dengan tiga orang gadis cantik. Tapi mereka pada ketakutan melihat Jamlekon yang bertengger di pundak kiri Maman. Mereka pun pada ngacir, padahal Maman pengen kenalan. Maman sejenak berpikir setelah beberapa kali mendekati para gadis, semuanya pada kabur, "cewek di kampung sini gak pada asik."

Lalu tak seberapa lama Maman melihat ada keramaian di lapangan bola. Dari suara musiknya seperti ada topeng monyet. Apa pun yang berhubungan dengan monyet pasti Maman suka, maka iya pun langsung meluncur ke lokasi.

Maman mengambil posisi yang bisa melihat pertunjukan topeng monyet dengan jelas. Maman girang dan tepuk tangan melihat pertunjukan seru seekor monyet di tengah lapangan. Malah Maman meniru gaya sang artis monyet itu yang lagi pakai payung pergi ke pasar.

Tiba-tiba saja Jamlekon meloncat ke tengah lapangan. Jamlekon menghampiri seekor monyet yang sedang beraksi di tengah lapangan itu. Jamleko terlihat seperti ingi berdekatan dengan monyet itu. Maman bergegas mengambil Jamlekon. Hingga membuat pertunjukan menjadi terganggu. Monyet itu jadi lari dan jamlekon mengejarnya, Maman ikut ngejar Jamlekon.

"Hah! Minggir! Kamu sudah merusak show, Jameilah!" kata sesosok yang wajahnya tertutup topi lebar itu. Dialah sang tuan monyet itu.

Pas Maman menoleh, sosok berkemeja panjang kotak-kotak itu melepaskan topinya. Wajah Maman terpesona, ternyata sosok dibalik topi itu adalah seorang cewek berparas ayu, persis seperti artis Bollywood. Maman terperanga dibuatnya. Seolah kecantikannya melepaskan ribuan anak panah cinta yang menghujam hati Maman.

Cewek itu menghapiri Maman. Diketoknya kepala Maman dengan topinya. Maman menjadi keget, musnah sudah lamunannya. Hati Maman semakin bergejolak. Begitu deg-degan menghadapi cewek itu.

"Mau kamu apa ngerusak acara show Jameilah?" ia bertanya.

"Ma...maaf... gue gak sengaja. Jamlekon lepas dan menghampiri monyet elu," Maman berkata dengan kata yang terbatah. 

Maman mencari-cari Jamlekon, cewek itu juga mencari monyetnya. 2 monyet itu menghilang. Di areal pertunjukan show Jameilah sudah tak ada. Pertunjukan pun berakhir dengan bayaknya protes dari para penonton. Maman dan Cewek itu mencari-cari peliharaannya masing-masing.

"Ini gara-gara elu, Jameilah ngilang!" cewek itu menyalahkan Maman. "Pasti kamu mau menculik Jameilah, ya?" tuduh cewek itu.

"Sembarangan nuduh, emang muka gue tampang garong," kata Maman tak mau dituduh macam-macam.

"Garong sih tidak, tapi ada bakat tampang kriminal."

"Gini-gini juga hati selembut agar-agar tau."

Maman dan cewek itu kaget menemukan Jamlekon dan Jameilah yang sedang berduaan di atas pohon mangga. Mereka seolah sedang berpacaran. Maman yang melihatnya jadi tersenyum. Jamelekon sudah menemukan jodohnya.

"Ini sebuah pertanda baik," gumamnya. Cewek penuh pesona sang Dewi itu pun mendengarkannya.

"Maksud elu apa? elu pikir, Jamlekon dan Jamielah saling jatuh cinta?" cewek itu menebak dengan benar seperti apa yang sedang dipikirkan Maman.

"Bukan hanya itu saja, tuannya pun sepertinya sama-sama kesamber geledeg cinta. love yu...love yu-an gitu," kata Maman dengan malu-malu. 

Rona pipi cewek itu memerah, tersenyum malu-malu, tersanjung dengan perkataan Maman yang romantis tapi norak.

"Masa sih?"

"Iya, gue yakin itu."

"Nama gue Mumun, Bang," dengan malu-malu Mumun memperkenalkan diri sambil mengajak Maman bersalaman.

"Gue Maman."

"Nama Kita hampir sama, ya. Monyet gue namanya Jamealah. Terus monyet Abang, Jamlekon."

"Jodoh kali ya, kita. pas buat lop yu-lop yu-an gitu," kata Maman sambil senyum-senyum. Lalu pundaknya menyenggol pundak Mumun. Pipi Mumun merona karena malu.

"Bapak... Emak..." teriak Maman dari teras rumah. Emak dan Bapak yang denger langsung ke luar dari kamar. Berhambur menemui anak semata wayangnnya itu.

"Mana?" tanya Emak yang penasaran. Bapak juga sama penasarannya.

Maman mengacungkan jempolnya untuk mengarahkan petunjuk. Diputernya jempol itu ke kiri, 90 derajat. Bapak dan Emak melotot bulet melihat ada Jamielah berdiri di samping Maman.

"Kok monyet, Man?" tanya Bapak dan Emak serempak. Maman menggelengkan kepala. Bapak dan Emak jadi lega sejenak, tapi tetep penasaran. Lalu jempol tangan Maman kembali bergerak kebelakangnya, membentuk sudut 180 derajat. Mata Bapak dan Emak kembali melotot lagi. Ada gadis cantik berdiri di belakang Maman yang tersenyum manis.

"Wah cantik ya, Man? Mirip Dewi Sinta. Siapa namanya?"

"Ya, cantiklah. Namanya itu Mumun," Maman menunjuk sekor monyet yang sedang berduaan dengan Jamlekon, "Yang itu calon menantu juga, calon istrinya Jamlekon. Namanya Jameilah, peliharaannya Mumun. Mumun dan Jamielah itu kerjanya sebagai penyelenggara konser topeng monyet kalo lagi liburan sekolah aja."

"Apa, Man? pacarmu, monyet juga?" kata Bapak salah ngomong. "Maksud Bapak, suka monyet juga?"

"Iyalah, Pak. Kan udah Maman bilang, kalau Maman hanya cinta sama cewek yang juga suka sama monyet. Udah deh mending Bapak dan Emak siap-siap nikahin kita berdua setelah lulus sekolah nanti. Pesen 2 pasang baju pengantinnya ya. Buat Maman dan Mumun. Satunya lagi untuk Jameilah dan Jamlekon. Mas kawinya cukup setandan pisang aja. Oke?"

Bapak dan Emak hanya terbengong. Membayangkan seandainya ada banyak keturunan Maman dan Jamlekon yang terlahir di rumah itu. Senewen tidak bisa membedakan anak manusia dan bangsa wanara.


Cilegon, 13 Februari 2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun