Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Freelancer - Rahmatullah Safrai

Penikmat kopi di ruang sepi penuh buku || Humas || Penulis Skenario Film || Badan Otonom Media Center DPD KNPI Kota Cilegon

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bulan Luka

25 November 2019   15:51 Diperbarui: 28 November 2019   08:50 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: citizen.co.za

Hingga pukulan sekeras apapun tidak pernah lagi terasa, biarlah asin dan anyirnya darah segar mengalir. Kelopak mata Bulan tak bisa bertahan hingga menutup dengan aliran air mata yang mendarah. Menuju lorong kedamain seperti yang pernah dikatakan Ibunya.

Ia merasa tubuhnya melayang. Tingggi. Mendekati purnama. Bulan ingin kembali ke asal kehidupannya. Meninggalkan semuanya. Ibu yang terpuruk. Ada sang Ayah yang bersujud tanpa tahu apa artinya---semoga itu penyesalan. Ketika tumbal tubuh Bulan melayang dalam iringan air mata ibu yang membuyar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun