Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Freelancer - Rahmatullah Safrai

Penikmat kopi di ruang sepi penuh buku || Humas || Penulis Skenario Film || Badan Otonom Media Center DPD KNPI Kota Cilegon

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bulan Luka

25 November 2019   15:51 Diperbarui: 28 November 2019   08:50 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: citizen.co.za

Bulan bukan Malaikat dari surga, tapi Malaikat dari rahim suci sang Dewi sebagai buah kasihnya dengan seorang iblis. 

Karena cinta ia melawan dengan kekuatan kepakan sayap hingga terluka dan patah. Tak sudi melihat Ibunya tersiksa dengan luka di tubuh, merembaskan aliran air mata di sudut matanya yang bengap, menjadi seorang penipu dengan ketegaran demi keutuhan sebuah keluarga. 

Hanya karena pengorbanan cinta. Jeratnya tak mampu merobek lingkaran takdir. Dengan makna cinta yang dipertanyakan. Dengan harapan yang terlapis kabut ketidak pastian.

"Kita harus melawan," katanya suatu waktu, yang merasa hatinya hancur melihat ibunya terpuruk tak berdaya.

"Tidak! Kita harus tetap bertahan," kata Ibu dengan mencoba tegar, meski ia merasakan betapa berat sakit yang dideritanya.

"Sampai kapan?"

"Sampai semuanya berakhir dengan kedamaian."

Entah kapan ada pertobatan dari segala amarah. Yang selalu dicabik kekejaman. Menancapkan kuku-kuku beracun dengan cabikan yang mengahancurkan tubuh. 

Hanya dengan tameng kekutan cinta. Yang tak mampu menghalang setiap amarah yang keji. Sang Ibu penuh kasih mencoba bertahan. Mengharap suami tercintanya kembali menjadi lelaki lembut yang penuh kasih.

Setiap malam ia selalu memandang langit. Mengaduhkan diri yang kesakitan. Mengobati luka yang perih. Mencoba menterjemahkan arti kekuatan cinta Ibu yang begitu gamang untuk dipertahankan. 

Hanya karena ia yang melahirkannya, membuatnya berontak sebagai pejuang yang lelah dengan pertahanan seribu dalil. Menunggu akhir kehidupan yang begitu misterius.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun