Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Freelancer - Rahmatullah Safrai

Penikmat kopi di ruang sepi penuh buku || Humas || Penulis Skenario Film || Badan Otonom Media Center DPD KNPI Kota Cilegon

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hadiana "Ratu Sampah" Pejuang Pendidikan Gratis di Jagakarsa

19 November 2019   21:26 Diperbarui: 19 November 2019   21:47 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu Diana juga lihai dalam membuat busana daur ulang. salah satunya manekin ini, baju adat Betawi dihiasi berbagai pernik dari sampah 

"Saya setiap selesai acara selalu mengutip sampah. Itulah kenapa saya disebut, Ratu Sampah," kata seorang ibu dengan santai menceritakan kisahnya.

Saya hanya menyimak dengan penuh penasaran. Di tengah gemuru rintik hujan yang menghujam atap asbes siang itu, saya menyimak dengan tenang, tidak mau sedikit pun ketinggalan cerita pengalaman aksi hidup baik Ibu Hadiana.

Sampah, mendengarnya saja sudah langsung menjurus pada barang bekas, kotor, bau, dan sumber penyakit. Namun  ditangan Sang Ratu, sampah disulap menjadi barang bernilai ekonomis.

"Gedung ini pun sebeneranya bekas. Lihat saja, kalau hujan begini, ya, pasti bocor," katanya sambil tertawa kecil.

Suasana semakin mencair seiring mendengar tetesan air yang menimpa langit-langit trisplek, berirama dengan tempo yang menderas. Di beberapa bagian langit-langit sudah terlihat basah dengan rembesan air hujan.

Atap bocor itu, bagian dari rumah mungil yang berada di antara hunian padat penduduk sebuah kampung di Kelurahan Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan.  Berdiri di atas lahan 80 meter, bangunan bekas rumah kontrakan itu dirubah menjadi Sekolah Kelompok Bermain Duren IV dan TK Islam Nur Rahmah.

Ngobrol santai bersama Ibu Diana di ruang guru
Ngobrol santai bersama Ibu Diana di ruang guru

Saya beralih menatap wajah perempaun yang akrab disapa Ibu Diana itu. Diusianya yang tidak lagi muda, namun memiliki semangat yang tidak pernah luntur dalam memperjuangkan akses pendidikan anak-anak miskin di lingkungannya. Tampak ceria, segar, dan tanpa beban.

"Saya tidak lagi bisa menangis, sudah ikhlas dengan segala kesusahan," kata ibu tiga anak itu dengan tegar.

Yah, hujan mengingatkan pada peristiwa banjir besar yang terjadi tahun 2007 silam. Hampir semua fasilitas sekolah yang sudah dipakai sejak awal berdiri di tahun 2004 telah habis terbawa arus banjir. Resiko rumah yang dijadikan sekolah dekat dengan aliran sungai.

Setelah banjir surut satu minggu kemudian, sekolah dipindahkan ke lokasi yang jauh dari banjir. Tepatnya di bekas rumah kontrakan milik orang tuanya. Kini rumah itu menjadi sekolah.

Tidak salah memang, istri Muhammad Satir ini menyebut sekolahnya sebagai sekolah daur ulang sampah. Bangunan yang digunakan bekas rumah kontrakan warisan orang tuanya nyaris tanpa banyak berubah. Fasilitas dan media pembelajaran atau Alat Peraga Edukasi (APE) juga memanfaatkan sampah.

Ruang guru, tempat saya dan Ibu Diana berbincang ini pun semuanya berasal dari pemanfaatkan barang bekas. Seperti meja, lemari, dan kursi merupakan barang bekas yang kemudian diperbaiki. Prinsip Ibu Diana, semua barang bekas bisa diperbaiki dengan modifikasi yang lebih baik.

"Ada yang menghibahkan, ada juga yang saya beli. Suami biasa yang membantu perbaiki. Alhamdulillah bisa memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana sekolah," ungkap Ibu Diana.

Tidak hanya itu saja, segala pernak-pernik yang menghiasi seluruh ruangan juga berasal dari daur ulang sampah. APE sebagai media pembelajaran memanfaatkan sampah. Ibu Diana juga melibatkan wali murid dalam pembuatan APE.

sejumlah koleksi APE tersimpan di ruang guru
sejumlah koleksi APE tersimpan di ruang guru

"Wali murid mau, kok, mengumpulkan plastik, botol-botol, dan apa saja. Kemudian nanti saya ajarkan cara yang simpel. Semua bisa membuatnya. Ini semua untuk belajar anak mereka," kata Ibu Diana.

APE buatan wali murid tidak hanya dipakai anak-anaknya saja, tetapi juga bisa dijual ke sekolah lain yang memesannya. Ibu Diana secara tidak langsung turut menggerakan ekonomi para wali murid.

Dalam proses belajar, anak murid juga dilibatkan dalam pembuatan APE. Guru hanya membuat bahan setenga jadi, kemudian anak-anak yang membuat bentuk sesuai arahan guru, namun tetap membebaskan anak berimajinasi.

"Kalo menempelkan benda-benda gitu, anak-anak pasti bisa. Kecuali yang sulit seperti menggunting sudah dilakukan oleh guru."

Ibu Diana membebaskan anak-anak bermain sampai bosen di jam sekolah. Justeru dengan memainkan APE tanpa disadari telah membentuk kemampuan dasar anak, seperti menghitung dan membaca.

Golden age yang dimiliki anak hingga usia 5 tahun berhasil dirangsang dengan baik. Imajinasi dan motorik anak terbentuk bersama praktek pembuatan APE.  Sampah-sampah yang dekat dengan kehidupan kita bahkan bisa bermanfaat untuk bahan pembelajaran.

Tangan terampil Ibu Diana sudah mumpuni menyulap berbagai sampah menjadi berbagai barang ekonomis. Selain digunakan untuk sekolah sendiri, APE juga dijual untuk menutupi biaya oprasional sekolah. Tidak jarang pula Ibu Diana berbagi ilmu pembuatan APE diberbagai tempat.

Ibu Diana kemudian mengajak saya untuk melihat-lihat koleksi APE yang dipasang  di setiap ruang.

Hujan sudah berhenti. Saat ke luar ruangan, tercium bau khas tanah yang lama tidak tersiram air hujan. Sejuk rasanya.

Di bagian depan sekolah terdapat pagar yang ditutup dengan hiasana mural, pohon edukasi yang berasal dari botol bekas, serta tanaman hidup yang tersusun menjadi lebih asri.

Ibu Diana juga lihai dalam membuat busana daur ulang. salah satunya manekin ini, baju adat Betawi dihiasi berbagai pernik dari sampah 
Ibu Diana juga lihai dalam membuat busana daur ulang. salah satunya manekin ini, baju adat Betawi dihiasi berbagai pernik dari sampah 

Ketika memasuki gerbang mungil itu, kita akan disambut dengan sepasang boneka manekin mengenakan pakaian adat Betawi. Semua yang menempel adalah karya busana yang berasal dari bahan-bahan sampah. Ini merupakan karya seni terbaik, bukan hanya pajangan, tapi setiap benda yang menempel rupanya bisa dijadikan media belajar.

"Ini kalung-kalung, tiap butirnya bisa dijadikan untuk belajar menghitung," kata Ibu Diana sambil memperagakan bagaiaman kalung yang terpasang digunakan untuk menghitung--seperti menggunakan sempoa.

Selain itu, buku besar yang biasa ada di perkantoran, yaitu bandex disulap menjadi buku bergambar. Surat-surat yang biasanya tersimpan, diganti dengan lembaran cerita yang terbuat dari karton dan ditempel gambar-gambar menarik. Hingga jadilah buku bergambar yang bisa  jadi media belajar anak-anak mengenal huruf.

"Karton di tengah kita tempelkan lakban. Anak-anak bisa menulis atau menggambar. Setelah selesai masi bisa dihapus lagi. Ini bandex setiap anak mendapatkan satu. Anak-anak senang mendapatkannya," kata Ibu Diana.

Buku cerita yang terbuat dari bekas bandex
Buku cerita yang terbuat dari bekas bandex

Karet bekas yang berasal dari alas karpet lantai juga bisa dijadikan APE. Dipotong berbagai bentuk, lalu digambar sesuai pola. Cara penggunannya adalah dengan dibasahi air. Ajaibnya, potongan karpet itu bisa menempel di papan air yang terbuat dari trisplek yang dilapisi wallpaper.

"Kami menyebutnya sebagai papan air. Anak-anak bebas menempelkan di mana saja. Di tembok pun bisa. Asalkan basah dan tidak perlu menggunakan lem. Jadi aman dan murah meriah," ungkap Ibu Diana.

Saat mencoba Papan Air yang menjadi mainan favorit anak-anak
Saat mencoba Papan Air yang menjadi mainan favorit anak-anak

Itu hanya sebagian kecil APE yang saya coba. Memasuki tiap ruang kelas yang hanya ada 2 lokal saja membuat saya kaya dengan imaginasi. Tidak ada ruang yang kosong, seluruh APE terpasang di dinding, menghiasi meja dan lemari. Berbagai bentuk, aneka warna, dan memiliki fungsi merangsang imajinasi anak. Jika waktu bisa mengembalikan saya di usia anak-anak, rasanya ini adalah pilihan sekolah yang pasti saya inginkan.

"Kami tidak membebankan anak-anak untuk menghafal. Tapi nyatanya, anak-anak sangat mudah untuk bisa menghitung dan membaca. Itu karena mereka dibebaskan bermain, meski pun tanpa disadari sambil belajar bentuk dan merekam apa yang dimainkan," kata Ibu Diana.

Menariknya, dari luas gedung minimalis, Ibu Diana bisa menempatkan sejumlah ruang fasilitas pendukung, seperti ruang kesehatan, perpustakaan, toilet, hingga dapur. Meskipun tidak memiliki lahan tanah lagi, sejumlah tanaman tetap bisa menghiasi di setiap tembok pagar yang tersusun di dalam pot bekas kemasan botol air mineral.

Ruang kelas TK yang kaya akan koleksi APE
Ruang kelas TK yang kaya akan koleksi APE

Ibu Diana menceritakan persoalan terbesar dalam perjalanan mengelola sekolah bukan hanya soal banjir. Demi memperjuangkan berlangsungnya sekolah ini, Ibu Diana yang memulai karier menjadi guru TK sejak tahun 1990 itu justru dihadapkan pada keputusan sulit untuk memilih menjadi PNS atau tetap melanjutkan mengelola sekolah yang dibangunnya.

"Saya dan suami, sama-sama diangkat PNS di tahun 2013, SK pengangkatan keluar setahun kemudian. Tapi kemudian saya lepas, melihat suami yang berangkat subuh dan pulang sore, rasanya saya tidak bisa. Saya pilih bertahan di sekolah sendiri, dan memiliki waktu lebih banyak untuk mengerus anak-anak saya," kata Ibu Diana.

Perempuan berhati besar itu hanya bermodalkan keyakinan, tetap percaya pada niat tulus memberikan akses pendidikan gratis bagi keluarga tidak mampu. Sekolah butuh manajemen pengelolaan yang baik. Ibu Diana tidak ingin sekolahnya bernasib dengan dua sekolah tempat dulu mengajar, kini sudah tutup hanya karena tidak bisa mengelolanya.

"Kunci sekolah tetap bertahan ada pada manajemen pengelolaan oprasional. Ini yang terus saya pelajari. Administrasi juga harus rapih, sehingga tidak ada kesulitas saat akreditasi nantinya," kata Ibu Diana.

Soal sekolah yang bisa menggeratiskan biaya untuk anak kurang mampu juga harus ditempuh dengan perjuangan tidak mudah. Ibu Diana dengan kreatifitasnya mampu menggerakan warga sekitar untuk mengembangkan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dengan usaha menjahit baju seragam PAUD/TK. Secara tidak langsung gerakan ekonomi untuk warga sekitar turut terbantu.

Selain itu, gerakan Bank Sampah juga turut berkontribusi dalam menghasilkan pendapatan dari sampah. Semua sampah bisa dikelola bersama. Wajar jika kemudian, Ibu Diana pernah mendapatkan penghargaan sebagai Ratu Daur Ulang Sampah.

"Subsidi BOP dari pemeritah dan hasil penjualan daur ulang sampah cukup untuk memenuhi kebutuhan sekolah, bahkan hingga seragam gratis untuk anak-anak," katanya.

Bagian depan sekolah
Bagian depan sekolah

Ibu Diana meninggalkan pesan yang luar biasa, berbuat baik bisa dimulai dengan hal kecil di lingkungan tempat tinggal. Peduli pada kondisi sosial masyarakat sekitar. Sehingga pencapaian saat ini membuktikan ketekunan Ibu Diana membuahkan hasil yang luar biasa.

Sosok aksi hidup baik Ibu Diana memang langkah di negara ini. Berkat semangatnya mampu menggerakan roda pendidikan dan perekonomian di tengah keterbatasan. Harapan Ibu Diana simpel, semua orang menjadi peduli dengan sampah yang bisa menjadi sejuta manfaat, namun ketika tidak peduli akan berakibat buruk pada lingkungaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun