Karet bekas yang berasal dari alas karpet lantai juga bisa dijadikan APE. Dipotong berbagai bentuk, lalu digambar sesuai pola. Cara penggunannya adalah dengan dibasahi air. Ajaibnya, potongan karpet itu bisa menempel di papan air yang terbuat dari trisplek yang dilapisi wallpaper.
"Kami menyebutnya sebagai papan air. Anak-anak bebas menempelkan di mana saja. Di tembok pun bisa. Asalkan basah dan tidak perlu menggunakan lem. Jadi aman dan murah meriah," ungkap Ibu Diana.
Itu hanya sebagian kecil APE yang saya coba. Memasuki tiap ruang kelas yang hanya ada 2 lokal saja membuat saya kaya dengan imaginasi. Tidak ada ruang yang kosong, seluruh APE terpasang di dinding, menghiasi meja dan lemari. Berbagai bentuk, aneka warna, dan memiliki fungsi merangsang imajinasi anak. Jika waktu bisa mengembalikan saya di usia anak-anak, rasanya ini adalah pilihan sekolah yang pasti saya inginkan.
"Kami tidak membebankan anak-anak untuk menghafal. Tapi nyatanya, anak-anak sangat mudah untuk bisa menghitung dan membaca. Itu karena mereka dibebaskan bermain, meski pun tanpa disadari sambil belajar bentuk dan merekam apa yang dimainkan," kata Ibu Diana.
Menariknya, dari luas gedung minimalis, Ibu Diana bisa menempatkan sejumlah ruang fasilitas pendukung, seperti ruang kesehatan, perpustakaan, toilet, hingga dapur. Meskipun tidak memiliki lahan tanah lagi, sejumlah tanaman tetap bisa menghiasi di setiap tembok pagar yang tersusun di dalam pot bekas kemasan botol air mineral.
Ibu Diana menceritakan persoalan terbesar dalam perjalanan mengelola sekolah bukan hanya soal banjir. Demi memperjuangkan berlangsungnya sekolah ini, Ibu Diana yang memulai karier menjadi guru TK sejak tahun 1990 itu justru dihadapkan pada keputusan sulit untuk memilih menjadi PNS atau tetap melanjutkan mengelola sekolah yang dibangunnya.
"Saya dan suami, sama-sama diangkat PNS di tahun 2013, SK pengangkatan keluar setahun kemudian. Tapi kemudian saya lepas, melihat suami yang berangkat subuh dan pulang sore, rasanya saya tidak bisa. Saya pilih bertahan di sekolah sendiri, dan memiliki waktu lebih banyak untuk mengerus anak-anak saya," kata Ibu Diana.
Perempuan berhati besar itu hanya bermodalkan keyakinan, tetap percaya pada niat tulus memberikan akses pendidikan gratis bagi keluarga tidak mampu. Sekolah butuh manajemen pengelolaan yang baik. Ibu Diana tidak ingin sekolahnya bernasib dengan dua sekolah tempat dulu mengajar, kini sudah tutup hanya karena tidak bisa mengelolanya.
"Kunci sekolah tetap bertahan ada pada manajemen pengelolaan oprasional. Ini yang terus saya pelajari. Administrasi juga harus rapih, sehingga tidak ada kesulitas saat akreditasi nantinya," kata Ibu Diana.