Hingga pagi kembali menghangat. Nina, dalam pikirannya ingin sekali bermain dan menikmati langsung cahaya matahari. Hingga larangan Ibu dilupakannya. Diam-diam, keberanian itu datang tibatiba. Nina keluar dari pintu kamarnya, meniti langkah hingga menemukan pintu keluar dengan semburat cahaya penuh.
Nina mendapatkan cahaya matahari. Kulit tubuhnya yang putih merasakan hangatnya cahaya matahari. Penuh syukur. Itulah dimana Nina merasakan bahagia. Hingga tanpa disadari. Kulit putih Nina berubah menjadi merah. Terasa terbakar. Nina menjerit kesakitan. Hingga cahaya menghilang bersama kelopak mata menutup.
Hari itu, hari dimana penuh penyesalan.
Nina tertidur begitu lama. Gelap. Hingga kulitnya yang merah terbakar berangsur kembali putih.
Pucat. Seperti tidak ada darah.
Hari tanpa jendela pun dimulai. Dibalik dinding berwarna putih, kesunyian hanya dihangatkan lampu neon yang tergantung.
Nina merasakan sepi. Tidak ada jendela, tidak ada warna alam yang bisa dilihatnya. Cahaya matahari tentu berbeda dengan lampu neon yang menyala.
Di balik selimut putih bermotif gari hitam, Nina selalu berdoa agar bisa kembali diberikan jendela kamarnya. Jendela itu seperti surga yang dimilikinya selain bersama Ibu. Jendela yang memberikan semangat penuh harapan. Jendela yang menawarkan kehidupan. Seperti daun-daun yang bergerak seirama hembusan angin.
"Ibu, berikan aku jendela," Nina merajuk.
"Jika kamu merindukan cahaya, tatap saja mata Ibu. Jika kamu butuh kehangatan, peluk saja ibu."
"Ibu, aku ingin cahaya matahari."